Alamat :

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KANTOR WILAYAH JAWA TENGAH RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS IIB JEPARA Jl. A. Yani No. 04 Tlp./Fax 0291591008 - website http://rutanjepara.blogspot.com/- http://kprutanjepara.blogspot.com/ - email : rutanjepara@yahoo.co.id - rutanjepara@gmail.com - kprutanjepara@gmail.com

Sabtu, 24 Juli 2010

SEKILAS PANDANG RUTAN KLAS IIB JEPARA

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
KANTOR WILAYAH JAWA TENGAH
RUMAH TAHANAN NEGARA
KLAS IIB JEPARA

Jl. Ahmad Yani No. 4 Jepara
Telepon : (0291) 591008
Fax : (0291) 591008



VISI: pemulihan kesatuan hubungan hidup,kehidupan dan penghidupan dengan menjunjung tinggi prinsip pengayoman kepada masyarakat dan invidu
MISI : mengoptimalkan pelaksanaan perawatan tahanan,pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan dan pengelolaan benda/barang sitaan negara dalam rangka penegakan hukum dan hak asasi manusia


SEJARAH SISTEM PEMASYARAKATAN

Sistem kepenjaraan yang menekankan pada unsur penjeraan dan menggunakan titik tolak pandangannya terhadap narapidana sebagai individu semata-mata dipandang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. bagi bangsa Indonesia pemikiran – pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar pada aspek penjeraan belaka, tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial telah melahirkan suatu system pembinaan terhadap pelanggaran hukum yang dikenal sebagai Sistem Pemasyarakatan. Gagasan pemasyarakatan pertama kali dicetuskan oleh Dr. Saharjo, SH, pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugrahan gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu hukum oleh Universitas Indonesia, antara lain dikemukakan bahwa : dibawah pohon beringin pengayoman telah kami tetapkan untuk menjadi penyuluh bagi petugas dalam membina narapidana, maka tujuan pidana penjara kami rumuskan : disamping menimbulkan rasa derita pada narapidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna. Dengan singkat tujuan pidana penjara adalah Pemasyarakatan.’
Gagasan tersebut kemudian diformulasikan lebih lanjut sebagai suatu sistem pembinaan terhadap narapidana di Indonesia menggantikan system kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 dalam konverensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung. Pemasyarakatan dalam Konverensi ini dinyatakan sebagai suatu system pembinaan narapidana dan merupakan pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatandalam kapasitasnya sebagai individu, anggota masyarakat, maupun makluk Tuhan. Sebagai dasar pembinaan dari system Pemasyarakatan adalah Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan :

1.Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2.Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.
3.Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat.
4.Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
5.Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6.Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan dimasyarakat dan yangmenunjang usaha peningkatan produksi.
7.Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.
8.Narapidana dan anak didik sebagai orang – orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.
9.Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu satunya derita yang dialaminya.
10.Disediakan dan dipupuk sarana – sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, koreksi dan edukatif dalam system Pemasyarakatan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan system pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dengan undang – undang ini maka semakin kokoh usaha – usaha mewujudkan suatu system pemasyarakatan yang bersumber dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
UU No. 12 Tahun 1995, menyatakan bahwa system pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman persamaan perlakukan dan pelayanan pendidikan penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu – satunya derita serta terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang – orang tertentu. Konsep ini pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari konsep dasar sebagaimana termuat dalam 10 prinsip pemasyarakatan.


SEJARAH SINGKAT RUTAN KLAS IIB JEPARA

Rumah Tahanan Negara Klas IIB Jepara merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis ( UPT ) di bidang Pemasyarakatan termasuk dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah yang beralokasi di jalan Ahmad Yani No. 4 Jepara yang berdiri tahun 1830. Yang dulu dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Jepara , dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.04.PR-07.03. Tahun 1985, tanggal 20 September 1985. Menjadi Rumah Tahanan Negara Klas IIB Jepara. Dengan kapasitas hunian 195 orang.
A.FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN
Menyiapkan WBP agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. ( Ps. 3 UU No. 12 Tahun 1995 ).

B.PEMBINAAN KEPRIBADIAAN
1.Pengajian Al-Qur’an setiap hari Kamis
2.Perayaan hari besar Islam dengan ceramah dari Depag
3.Sholat Jum’at, Dhuhur dan Ashar berjamaah di Masjid At-Taubah
4.Kebaktian yang beragama Nasrani setiap hari Senin dan Kamis
5.Upacara bendera setiap tgl. 17 Agustus dan hari besar nasional
6.Latihan bola volley dan tenis meja setiap hari Jum’at
7.Pemeliharaan taman luar dan dalam Rutan setiap hari.

F. PEMBINAAN KEMANDIRIAN
1. Pembuatan Meubelair
2. Penanaman sayur di dalam Rutan
3. Kerajinan Tangan
4. Bengkel Las.

TAHAP – TAHAP PEMBINAAN SISTEM PEMASYARAKATAN :

1.Pembinaan tahab awal, adalah kegiatan masa pengamatan , penelitian dan pengenalan lingkungan, untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan bersatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 ( sepertiga) dari masa pemidananya . pembinaan pada tahab ini masih dilakukan dalam Lapas dan pengawasannya maksimum ( maximum security ).

2.pembinaan tahab lanjutan, merupakan kegiatan lanjutan dari program pembinaan kepribadian dan kemandirian sampai dengan penentuan perencanaan dan pelaksanaan program assimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dan pengawasannya sudah memasuki tahap medium security. Tahap kedua dimulai sejak berakirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidanya, dan pada tahap ini pengawasan kepada narapidana memasuki tahap minimum security. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap assimilasi dan selanjutnya dapat diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan bersarat dengan pengawasan minimum security.

3.Pembinaan tahap akhir, adalah kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yangdimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yangmemenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan klien pemasyarakatan.

Pembimbingan adalah pemeberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan terhadap Tuhan Yang maha Esa , intelektual, sikap dan profesionalis, kesehatan jasmani dan klein pemasyarakatan.


RUTAN KLAS IIB DAN TUGAS POKOKNYA TERDIRI DARI :
a.Sub. Seksi Pelayanan Tahanan mempunyai tugas melakukan pengadministrasian dan perawatan, mempersiapkan pemberian bantuan hukum dan penyuluhan serta memberikan bimbingan kegiatan bagi tahanan.
b.Sub. Seksi Pengelolaan Rutan mempunyai tugas melakukan pengurusan Keuangan, Perlengkapan, rumah tangga dan Kepegawaian di lingkungan RUTAN.
c.Kesatuan Pengamanan RUTAN mempunyai tugas memelihara Keamanan dan Ketertiban RUTAN.
d.Petugas Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan surat menyurat dan Kearsipan.


P E N U T U P

Pelaksanaan system pemasyarakatan pada hakekatnya juga merupakan upaya untuk membangun manusia Indonesia seluruhnya, sehingga dalam kontek ini pemasyarakatan memiliki peranan yang sangat setrategis dalam rangka pembinaan sumber daya manusia . Paelaksanaan pembinaan WBP secara operasional merupakan penjabaran lebih lanjut dari amanat Undang – Undang pemasyarakatan yang memerlukan setrategi yang tepat dan dilaksanakan secara terpadu mulai dari unit operasional sampai pada tingkat penentu kebijakan dengan melibatkan seluruh potensi yang ada ditengah-tengah masyarakat, mengingat bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang simultan dan terpadu dalam rangka pencapaian sasaran dalam system pemasyarakatan, yang dalam operasionalnya diwujudkan melalui keterpaduan antara WBP, petugas dan masyarakat.

SEJARAH SISTEM PEMASYARAKATAN

SEJARAH SISTEM PEMASYARAKATAN
KATA PENGANTAR


Dengan menucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa bahwa hanya karena ridho-Nyalah akhirnya buku Sejarah Pemasyarakatan (Dari Kepenjaraan ke Pemasyarakatan) ini dapat diterbitkan.
Saya selaku Pimpinan Proyek Penyempurnaan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak/Saudara R.P. Bahruddin Soerjobroto (Pensiunan Direktur Direktorat Pemasyarakatan) sebagai sumber utama, Saudara Romli Atmasasmita, S.H., L.L.M., (Dosen Fakultas Hukum Umpad Bandung) dari segi ilmiahnya, Saudara Drs. Chodri Alamsyah Boer, Karo Perencanaan Departemen Kehakiman yang membantu kelancaran penerbitan buku ini, dan segenap anggota Tim Penyusun Sejarah Pemasyarakatan, yang telah secara tekin dan ikhlas menyumbangkan tenaga dan pikirannya sampai terbitnya Buku Sejarah Pemasyarakatan ini. Sudah barang tentu sesuatu di dunia, termasuk Buku Sejarah Pemasyarakatan ini belumlah/tidaklah sempurna; hal ini dikarenakan kurangnya data/informasi yang tersedia. Tetapi dengan sudah beraninya menyusun dan menerbitkan Buku Sejarah Pemasyarakatan ini Saya yakin bahwa walaupun belum sempurna, sudah dapat memberikan gambaran yang cukup memadai tentang bagaimana perkembangan kepenjaraan (perlakuan terhadap terpidana) khususnya di Indonesia sampai lahirnya pemasyarakatan (Sistem Pemasyarakatan) di Indonesia.

Akhirnya mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi segenap Petugas Pemasyarakatan khususnya dan anggota masyarakat yang berminat pada umumnya.


Jakarta, 27 April 1983
Pimpinan Proyek Penyempurnaan
Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan

Ttd

( Drs. R. Soegondo )






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
SAMBUTAN
PENDAHULUAN

BAGIAN KESATU:
PELAKSANAAN PIDANA HILANG KEMERDEKAAN DI INDONESIA SEBELUM PROKLAMASI KEMER-DEKAAN R.I. (1872–1945)

BAB I : Periode Kerja Paksa di Indonesia (1872–1905)
BAB II : Pelaksanaan Pidana di Indonesia menjelang berlakunya “Wetboek van Strafrecht voor Ned. Indie” (KUHP) 1918; (Periode “Penjara-penjara Sentral Wilayah”; 1905–1921)
BAB III : Pelaksanaan Pidana di Indonesia seletah berlakunya “Wetboek van Strafrecht voor Ned. Indie” (KUHP) 1918; (Periode Kepen-jaraan Hindia Belanda; 1921–1942)
BAB IV : Pelaksanaan Pidana di Indonesia dalam periode pendudukan Bala-tentara Jepang (1942–1945)

BAGIAN KEDIA:
KEPENJARAAN REPUBLIK INDO-NESIA; PERJUANGAN KEMERDE-KAAN DAN KARAKTERISASI KE-PENJARAAN NASIONAL (1945–1863)

BAB I : Periode Kepenjaraan R.I Ke I (1945–1950)
BAB II : Periode Kepenjaraan R.I Ke II (1950–1960)
BAB III : Periode Kepenjaraan R.I Ke III (1960–1963)

BAGIAN KETIGA:
ZAMAN PEMASYARAKATAN (1963–1981)

BAB I : Periode Pemasyarakatan ke I (1963–1966) Lahirnya Sistim Pemasyarakatan)
BAB II : Periode Pemasyarakatan ke II (1966–1975) (Periode Bina Tuna Warga)
BAB III : Periode Pemasyarakatan ke III (1975-1981) (Kembali ke Pemasyarakatan)
MENTERI KEHAKIMAN
REPUBLIK INDONESIA


KATA SAMBUTAN

Penerbitan buku “Sejarah Kepenjaraan di Indonesia” saya sambut dengan gembira, oleh karena usaha ini akan banyak memberikan manfaat bagi kalangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan khususnya dan Departemen Kehakiman pada umumnya.

Kepada Sdr. Direktur Jenderal Pemasyarakatan maupun Pimpinan Proyek Penyempurnaan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan saya sampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih saya.

Semoga bermanfaat adanya.

Jakarta, 19 Agustus 1983
MENTERI KEHAKIMAN,
S A M B U T A N


Dengan memanjatkan segala puja dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Saya sambut dengan gembira diterbitkannya Buku Sejarah Pemasyarakatan (Dari Kepenjaraan ke Pemasyarakatan) ini, yang akan memperkaya pustaka mengenai pemasyarakatan.

Pekerjaan Penyusunan Sejarah Pemasyarakatan yang telah sejak lama menjadi hasrat yang terpendam dan idam-idaman di kalangan Pemasyarakatan itu, sama sekali bukanlah suatu pekerjaan yang ringan dan mudah. Melainkan sebaliknya adalah suatu pekerjaan yang teramat berat dan rumit, yang membutuhkan ketekunan dan kesungguhan di dakam penanganannya. Berkat kerja keras dan semangat pengabdian yang pantang menyerah dari para penyusunnya itu, alhamdulilah apa yang tadinya hamper hanya merupakan impian atau khayalan itu akhirnya dapat juga terjelma dalan suatu kenyataan.

Dari Buku Sejarah Pemasyarakatan ini akan dapat kita telusuri dan pelajari perkembangan system perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia dari masa ke masa, sesuai dengan taraf kesadaran hokum dan perkembangan pandangan bangsa kita tentang nilai manusia dan kemanusiaan dalam hubungannya dengan manusia terpidana dan aspirasi bangsa kita akan arti dan cita-cita kemerdekaan bangsa dan negara. Dengan demikian, sekaligus juga akan lebih jelas terungkapkan apa yang telah melatarbelakangi lahirnya Sistem Pemasyarakatan dan tujuan yang hendak kita capai dengan system yang tengah kita kembangkan sekarang ini.

Dengan mempelajari sejarah (dalam hal ini Sejarah Pemasyarakatan), maka kita akan dapat mengetahui sampai sejauh manakah perjalanan sejarah yang telah kita tempuh saat ini, dan ke arah mana kita harus melangkah. Kemudian kita akan dapat pula bertanya pada diri kita sendiri: apakah yang telah kita dharma baktikan kepada Bangsa dan Negara selama ini?

Dari pengalaman sejarah itu kita dapat merenungkan kembali pengalaman kita, untuk kemudian melayangkan pandangan ke masa depan seperti yang kita dambakan. Dengan demikian maka di satu pihak kita melihat keadaan sekarang sebagai hasil perjuangan masa lampau, dan dilain pihak kita melihat keadaan sekarang ini secara kritis untuk kita kembangkan secara kreatif menuju pandangan dan idam-idaman mengenai masa depan. Dengan menyadari masih adanya kekurangan dan kelemahan, khususnya di bidang Pemasyarakatan, dan dengan menyadari perlunya terus diadakannya perbaikan dan penyempurnaan kita memang telah dan akan selalu berusaha.

Perjalanan yang akan kita tempuh masih panjang, tujuan yang ingin kita capai juga masih jauh. Untuk mencapainya maka kita semua tanpa kecuali harus bekerja keras dengan tidak mengenal lelah. Dan yang penting adalah agar kita dalam perjalanan dan kerja keras yang memakan waktu panjang itu selalu dapat mencapai kemajuan secara tahap demi tahap. Yang juga penting adalah bahwa setiap waktu selalu berusaha untuk memerbaiki apa yang masih perlu dan mungkin diperbaiki, agar hari ini lebih baik dari kemarin dan semoga hari esok lebih baik dari hari ini.

Dengan harapan-harapan itu, sekali lagi Saya sambut dengan gembira diterbitkannya Buku Sejarah Pemasyarakatan ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoinya, dengan senantiasa akan menyertai kita di dalam penunaian dan penyempurnaan pengabdian kita.



Jakarta, 27 April 1983
DIREKTUR JENDERAL PEMASYARAKATAN

ttd.

AHMAD ARIF, S.H., M.P.A.
PENDAHULUAN


Buku sejarah adalah suatu penyajian tertulis dan secara kronologis mencatat, menceritakan peristiwa peristiwa penting yang telah terjadi pada masa yang telah lalu, yang ada sangkut pautnya dengan suatu bangsa atau suatu institusi (lembaga), biasanya disertai dengan penjelasan-penjelasan tentang latar belakang dari peristiwa yang telah terjadi itu.

“Sejarah Pemasyarakatan”, yang disajikan sebagai pokok dalam penulisan ini, terutama bersangkut paut dengan suatu lembaga, yang tidak lepas pula dalam kesangkut-pautannya dengan suatu bangsa.
Sebagai suatu lembaga, Pemasyarakatan berhubungan dengan pelaksanaan hilang kemerdekaan, dan pelaksanaan dari pidana hilang kemerdekaan ini dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan pidana yang terkandung di dalamnya, yang pada kurun-kurun waktu tertentu menampakkan aspek-aspeknya yang berlainan, konsisten dengan system nilai yang berlaku di masyarakat pada waktunya.

Dalam konteks ini, kiranya dapat dipahami bahwa penulisan sejarah pemasyarakatan tidak pula dapat melepaskan diri dari keterpusatan fokusnya kepada system-sistem nilai yang terjalin dan di bawa serta oleh pidana hilang kemerdekaan, khususnya pelaksanaannya yang berlangsung selama kurun-kurun waktu tertentu dan yang merupakan refleksi-refleksi histories dalam perkembangan falsafah Peno-Koreksional dari masa ke masa.

Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa penulisan Sejarah Pemasyarakatan ini adalah “value-oriented” atau “value-centered”.
Selain dari pada berada dalam rentetan-kaitannya dengan pelaksanaan-pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan sebelumnya yang berorientasi kepada falsafah peno-korreksional tertentu, pemasyarakatan merupakan pula suatu kenyataan, sesuatu yang ada dan sebagai sesuatu yang ada ia mempunyai sebab-musababnya untuk meng-ada (maujud), ia mempunyai “raison d’ĂȘtre” nya. Sebagai sesuatu yang ada ia menampakkan dirinya sebagai suatu system, yakni system perlakuan terhadap mereka yang karena dinyatakan melakukan sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, terlibat dalam proses peradilan pidana dan khususnya mereka yang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman hilang kemerdekaan.

Pemasyarakatan sebagai suatu system, menyangkut Pemasyarakatan dalam keadaan berhubungan (in context) baik dalam essensi-nya maupun dalam substansi-nya, dan menyangkut pula Pemasyarakatan dalam keadaan bergerak (in action).

Dalam essensi-nya Pemasyarakatan dilatarbelakangi oleh suatu falsafah yang juga konsisten dengan cara bangsa Indonesia memandang manusia pelanggar hukum dan cara menanganinya. Falsafah itu tak lain dari pada falsafah hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Pemasyarakatan substansinya tidak terlepas dari pemasyarakatan dakam essensinya, walaupun dalam substansinya ia banyak pula menampakkan perspektif-perspektif yang menunjuk kepada adanya pengaruh inkulturasi. Hal ini tidak dapat lain karena telah terjadinya resepsi di bidang hukum pidana.

Begitu pula Pemasyarakatan dalam keadaan bergerak (in action) yang tidak terlepas dari Pemasyarakatan dalam essensinya dan Pemasyarakatan dalam substansinya dan berwujud sebagai kegotong-royongan.

Dengan latar belakang kerangka pmikiran seperti dijelaskan dimuka inilah, penulisan sejaran tentang Pemasyarakatan ini di susun.

Judul yang dipergunakan dalam penulisan ini, “Sejarah Pemasyarakatan”, tidak terlepas dari adanya maksud-maksud tertentu yang terkandung dalam usaha penulisan buku sejarah ini, yakni untuk mengetahui sebanyak mungkin melalui penyelusuran secara historis apa sebenarnya Pemasyarakatan, sehubungan dengan adanya upaya penyempurnaan sistem Pemasyarakatan, yang pada waktu disusunnya sejarah ini tengah berjalan.

Berlainan dengan penulisan sebuah “textbook” yang lebih banyak didasarkan kepada studi empiris dan banyak pula memuat khasanah-khasanah ilmiah sehubungan dengan hakekat dari subjek yang dipermasalahkan yang secara ekplisit nampak pada penjudulannya, maka penulisan sejarah Pemasyarakatan ini, sebagai penulisan sebuah sejarah, lebih banyak memuat uraian-uraian tentang rentetan-rentetan peristiwa yang telah terjadi baik jauh sebelumnya maupun yang mutakhir dengan fokus yang tidak semata-mata secara ekslusif terpusat kepada hakekat dari subjek yang dijudulkan, melainkan yang melebar ke belakang secara ecliptis dengan berpusat kepada subjek yang dijudulkan. Karna itu penulisan sejarah ini menyoroti spektrum yang di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa dalam berbagai perspektif historis dari pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan, yang di Indonesia mulai dari tahun 1872, dan bukan peristiwa-peristiwa yang ada di luiar spektrum itu, seperti pelaksanaan pidana atas badan, pidana mati dan sebagainya.

Istilah “Pemasyarakatan” sendiri secara resmi menggantikan istilah “Kepenjaraan” sejak 27 April 1964, melalui amanat tertulis Presiden Republik Indonesia yang diberikan pada Konferensi Dinas Para Pejabat Kepenjeraan (pada waktu itu) di Lembang, dekat Bandung, juga dalam rangka mengadakan “retooling” dan “reshapping” dari sistem kepenjaraan, yang dianggap tidak selaras dengan adanya ide Pengayoman sebagai Konsepsi Hukum Nasional yang berkepribadian Pancasila.

Sesuai dengan makna yang terkandung dalam penulisan Sejarah Pemasyarakatan ini, penyajian penulisan dilakukan dengan mengadakan periodisasi, tiap-tiap periode dengan ciri-cirinya sendiri yang identik, diwarnai oleh aspek-aspek sosio-kultural-politis-ekonomis yang nampak dalam berlangsungnya suatu periode. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu periode historis disajikan dalan satu bab. Periode-periode yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu yang menampakkan adanya karakteristik sosio-kultural-politis-ekonomis yang secara kontinyu memberi identitas yang menyeluruh kepada kurun waktu yang bersangkutan, digabungkan penyajiannya dalam satu bagian. Dengan demikian maka akan terdapat tiga bagian: Bagian kesatu, yang membawakan kurun waktu dengan karakteristik kolonial, Bagian kedua, yang membawakan kurun waktu dengan karakteristik Perjuangan Kemerdekaan dan Peletakan Dasar-dasar Urusan Kepenjaraan yang Merdeka dan Berdaulat, Bagian ketiga, membawakan kurun waktu dengan karakteristik Pemasyarakatan.
Bagian Kesatu.

Bab satu pada bagian kesatu berisi uraian-uraian tentang pelaksanaan “Pidana Kerja”, khususnya “Pidana Kerja Paksa”, yang menggantikan pidana badan yang terdapat di Indonesia sebelumnya. Periode “Pidana Kerja/Kerja Paksa”, di Indonesia berlangsung mulai pertengahan abad XIX, dan banyak sekali kaitannya dengan timbulnya institut pidana penjara yang di Indonesia menggantikan “Pidana Kerja/Kerja Paksa” mulai awal abad XX.
Bangunan-bangunan, setidak-tidaknya lokasi-lokasi dari bekas bangunan yang dulu dipergunakan untuk menampung terpidana kerja/kerja paksa, baik di Jawa dan Madura maupun di luar Jawa dan Madura, hingga sekarang masih ada dan masih dipergunakan (Mlaten, Bulu, Candi-dahulu Jumbleng-di Nusakambangan, Permisan, Limus Buntu, dan hampir semua bangunan Lembaga Pemasyarakatan, di bekas ibukota Kabupaten di Jawa dan Madura dan di berbagai tempat lainnya di luar Jawa dan Madura).
Periode Pidana Kerja/Pidana Kerja Paksa bagian kesatu berlangsung dari tahun 1872 sampai tahun 1905.

Bab dua dari bagian kesatu memuat uraian-uraian tentang kejadian-kejadian yang berlangsung dalam periode 1905-1921. Periode ini dikenal dengan didirikannya bangunan-bangunan yang besar-besar sebagai pusat penampungan bagi orang-orang yang dikenakan pidana kerja, khususnya pidana kerja paksa, yang disebut “Centrale Gevangenissen” (Penjara-penjara Pusat) atau “Gewestelijke Centralen”. Bangunan-bangunan dari bekas “Centralegevangenissen” ini hingga sekarang masih ada dan dipergunakan (Cipinang, Cirebon, Pekalongan, Medan, Makasar, dan sebagainya). Periode “Gewestelijke Centralen” ini merupakan periode dimulainya policy yang menitikberatkan kepada “Penutupan dalam bangunan” atau apa yang dikenal dalam ilmu Korreksi dengan istilah “Incarceration” (Inkarserasi) sebagai perwujudan dari perampasan kemerdekaan.
Periode ini dikenal pula dengan timbulnya perusahaan-perusahaan besar dan kecil dalam lingkungan tempat-tempat penampunga terpidana dengan permulaan adanya sistematisasi dalam pengurusan terpidana dengan didirikannya ketatalaksanaan terpusat di bawah pimpinan seorang Kepala Jawatan.

Bab tiga dari bagian kesatu menguraikan tentang perwujudan dari pidana penjara, yang berlaku sejak 1 Januari 1918, bersamaan dengan berlakunya ‘Wetbuk van Strafrecht voor Nederlandsch Indie’ (KUHP) 1918.
Periode yang diuraikan dalam bab ini berlangsung dari tahun 1921 s/d 1942. Periode ini ditandai dengan didirikannya “Strafgevangenissen” (Penjara-penjara Pidana) dan “Huizen van Bewaring” Rumah-rumah Tahanan), yang bangunan-bangunannya hingga sekarang masih ada dan dipergunakan (Tanah Tinggi Tanggerang, Sukamiskin Bandung, Pamekasan, Binjei, Salemba Jakarta, Bubutan Surabaya,dll). Dalam periode ini terjadi pergeseran dalam policy untuk mencapai tujuan pidana. Yang tadinya dititikberatkan kepada “afchrikking” (“deterrende”) (membuat takut) dalam periode ini dititik-beratkan kepada “verbetering” (“reformation/rehabilitation”) (perbaikan).
Dalam periode ini berlaku “Gestichten Reglement” (Reglemen Penjara) Stbld. 1917 no. 708 sebagai pengganti diri “Reglement op de Orde & Tucht” 1872. Adanya klasifikasi terpidana, adanya lembaga V.I. dan V.V. pengkhususan dalam memperlakukan terpidana anak dan wanita, Pendidikan Pegawai dari tingkat atas sampai tingkat bawah, Usaha-usaha di bidang Reclaseerring dan pemikiran-pemikiran yang maju lainnya merupakan kejadian-kejadian yang bersejarah dalam periode ini, tidak luput pula kejadian-kejadian berupa pemberontakan bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda (1926), yang menyebabkan penuh sesaknya penjara-penjara.

Bab empat Bagian Kesatu menguraikan tentang periode pendudukan Balatentara Jepang di Indonesia sejak 1942 sampai Proklamasi Kemerdekaan R.I. (17 Agustus 1945). Periode yang diuraikan di bab ini adalah periode yang tersingkat dari jaman penjajahan, namun patut pula dicatat dalam sejarah karena meninggalkan bekas-bekas yang sulit untuk dilupakan.
Bagian Kedua

Bagian kedua ini memuat uraian-uraian tentang urusan Kepenjaraan Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat dalam kurun waktu mulai perebutan kekuasaan dari tangan penjajah (Proklamasi Kemerdekaan R.I. 17 Agustus 1945) sampai dengan tibanya kurun waktu yang membawa citra pemasyarakatan.

Bab Satu dari Bagian Kedua menguraikan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode perjuangan fisik dan peristiwa-peristiwa penting lainnya dalam rangka usaha mempertahankan apa yang telah direbut dari kekuasaan asing, semua untuk keperluan pertahanan eksistensi Republik Indonesia Merdeka, Proklamasi 45 seperti a.l. : perjuangan fisik nyata oleh sejumlah terpidana dari berbagai tempat, Pengaturan Urusan Kepenjaraan dibawah Pemerintah R.I., termasuk struktur organisasinya dan dasar-dasar kebijaksanaannya a.l. : penolakan dimasukkannya pengemis dan gelandangan di penjara, yang kesemuanya merupakan konsekwensi dari berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD’45).
Periode yang diuraikan dalam bab satu bagian Kedua ini berlangsung dari tahun 1945 sampai tahun 1950.
Timbulnya “penjara-penjara darurat”, pemberian cuti dalam keadaan darurat”, lahirnya peraturan Remisi (pemberian pengurangan masa pidana) R.I yang pertama, kembalinya Urusan Kepenjaraan R.I. Proklamasi ’45, adalah diantara peristiwa-peristiwa penting lainnya yang terjadi dalam periode ini.

Bab dua dari Bagian Kedua menguraikan tentang kejadian-kejadian yang penting setelah Pemerintahan Negara Republik Indonesia menjadi mantap dan Pemerintah serta Negara Republik Indonesia de facto dan de jure diakui oleh dunia internasional.
Bab ini menguraikan tentang adanya langkah-langkah nyata yang historis yang memberi citra kepada Urusan Kepenjaraan yang dikelola oleh Negara Republik Indonesia dalam suasana yang merdeka dan berdaulat penuh, sesuai pula dengan aspek sosio-kultural-politis-ekonomis yang nampak pada waktu itu. Periode yang diuraikan dalam bab ini adalah periode yang berlangsung dari tahun 1950 sampai tahun 1960. dalam periode inilah gagasan “resosialisasi” sebagai tujuan dari perlakuan terhadap para terpidana diperkenalkan dan selanjutnya diusahakan realisasinya melalui berbagai program pelaksanaan.
Percobaan-percobaan (eksperimen-eksperimen) berupa pemberian kesempatan-kesempatan kepada terpidana untuk bekerja di tengah-tengah masyarakat, beribadah di tengah-tengah masyarakat, mengikuti pendidikan dan berekreasi di tengah-tengah masyarakat dan bersama-sama masyarakat, dengan taraf-taraf pengawasan tertentu, adalah diantara usaha-usaha dalam rangka menuju resosialisasi terpidana. Dalam bab ini pula diuraikan tentang adanya respons yang positif terhadap “Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners” yang dibuahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1955.

Bab tiga dari Bagian Kedua memuat uraian-uraian tentang kejadian-kejadian penting yang menuju kepada akan adanya era baru di bidang tata perlakuan terhadap terpidana. Bab ini pula yang memberi penjelasan tentang dipergunakannya istilah “Pemasyarakatan” dan kaitannya dengan istilah “resosialisasi”. Dalam bab ini akan dapat dibaca pula adanya aspek-aspek dari tata perlakuan terhadap terpidana yang berorientasi kepada pendapat-pendapat baru yang dianut oleh dunia internasional (PBB), khususnya mengenai program-program dari tata perlakuan terhadap terpidana seperti “pengintegrasian pekerjaan terpidana dalam ekonomi nasional”. “tata perlakuan terhadap terpidana menjelang pengakhiran masa pidananya” dll. (istilah “pembinaan” terpidana baru muncul dalam periode berikutnya). Peristiwa penting lainnya yang diuraikan dalam bab ini adalah : berdirinya inspektorat-inspektorat Kepenjaraan yang tersebar di seluruh Indonesia dalam rangka usaha pendayagunaan dan penghasilgunaan ketatalaksanaan di bidang tata perlakuan terhadap pelanggar hukum.
Bagian Ketiga

Bagian Ketiga memuat uraian-uraian tentang “Pemasyarakatan”, baik dalam essensinya maupun dalam substansinya dan dalam keadaannya bergerak (in action) (mulai dari cita-citanya, konsepsinya sampai dengan gerak usahanya).

Bab Satu dari Bagian Ketiga memuat uraian-uraian tentang latar belakang dari gagasan Pemasyarakatan, konsepsi Pemasyarakatan yang dihasilkan pada Konperensi Dinas Jawatan di Lembang dekat Bandung, dan follow upnya pada tahun-tahun permulaannya. Dalam bab ini dikemukakan pula tentang terjadinya peristiwa-peristiwa yang serupa diluar negeri yang menunjuk kepada akan adanya era baru dalam tata pelakuan terhadap terpidana. Latar belakang dari gagasan Pemasyarakatan yang diresapi oleh ide Pengayoman, isi dan latar belakang dari konsepsi Pemasyarakatan pada Konperensi Lembang di uraikan secara luas pada bab ini, untuk memberi gambaran tentang apa sebetulnya “Pemasyarakatan”, juga dijelaskan tentang penetapan hari Pemasyarakatan 27 April 1964.

Pendirian Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Penyem-purnaan Struktur Organisasi dan Ketatalaksanaan dan penggunaan secara resmi nama Pemasyarakatan, adalah diantara peristiwa-peristiwa historis lainnya yang diungkapkan dalam bab ini. Tidak luput pula diungkapkan tentang adanya peristiwa berdarah G.30.S/PKI.

Bab Satu Bagian Ketiga ini berisi uraian-uraian dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode 1963 – 1966.

Bab dua Bagian Ketiga meliputi periode 1966 – 1975. Bab ini memuat uraian-uraian tentang kejadian-kejadian yang apada umumnya menampakkan adanya usaha-usaha menuju konkretisasi dari sistem Pemasyarakatan dan usaha-usaha institusionalisasi ketatalaksanaan, diantaranya : rencana undang-undang pokok Pemasyarakatan, pembaharuan di bidang organisasi, adanya perubahan nama pada organisasi menjadi Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga, pengadaan pembagian tugas menurut konsep Bina Tuna Warga seperti berdirinya unit operasional secara terpisah Pemasyarakatan dan Bispa (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak), usaha peningkatan kemampuan teknis petugas dan pengadaan petugas-petugas baru di bidang ke-Bispaan dll. Selain dari itu pada bab ini diuraikan tentang keikutsertaan Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga dalam konperensi internasional, khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan “Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners”.
Bab ini mengungkapkan pula tentang adanya sebuah survey yang sifatnya preliminer yang diselenggarakan oleh Universitas Pajajaran Bandung yang bekerjasama dengan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta, yang dikemudian disusul dengan adanya Loka Karya terpadu antara Universitas Pajajaran, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga, Instansi Pemerintah dan non-pemerintah lainnya serta beberapa Perguruan Tinggi lainnya.
Periode yang menjadi pusat perhatian Bab Dua Bagian Ketiga ini berada pada permulaan zaman Pembangunan Orde Baru (Pelita Kesatu).

Bab tiga dari Bagian Ketiga memuat uraian-uraian tentang kejadian-kejadian penting yang berlangsung dari tahun 1975 sampai dengan pertengahan tahun 1981. bab ini pada umumnya mengadakan uraian-uraian tentang kejadian-kejadian yang menuju kepada pemantapan dan penyempurnaan sistem Pemasyarakatan, termasuk didalamnya studi-studi exploratif dan evaluatif melalui kerjasama dengan Universitas Pajajaran, konperensi-konperensi serta lokakarya-lokakarya dalam rangka institusionalisasi pola-pola baru untuk pemantapan dan penyempurnaan sistem Pemasyarakatan antara lain melalui pengadaan manual-manual, peningkatan kemampuan teknis kepegawaian, redisciplineering, peningkatan kerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi, khususnya dengan Akademi Ilmu Pemasyarakatan, peningkatan kerjasama dengan unsur-unsur masyarakat antara lain dengan “prisoners ‘aid Society” (bantuan hukum dan penyantunan bagi orang-orang terpenjara), peningkatan frequensi hubungan dengan dunia internasional, pendirian dan penunjukan lembaga-lembaga pemasyarakatan baru untuk keperluan pembinaan-pembinaan terpidana tertentu, pendirian gedung Kantor Pusat yang baru, dan usaha-usaha yang mengarah kepada de-fragmentasi dalam pembinaan terpidana melalui regenerasi dari Struktur Organisasinya antara lain dengan adanya penggunaan kembali nama pemasyarakatan sebagai pengganti dari nama Bina Tuna Warga. Dari uraian-uraian yang dimuat dalam bab ini akan nampak pula adanya kecenderungan dalam usaha-usaha pembinaan terpidana untuk meninggalkan sifat ketertutupannya (sifatnya yang kastodial) menuju ke sifat yang terbuka (sifat societal), yang identik dengan pembinaan berdasarkan pola “re-integrasi” (Social Integration).

Pengisian dari bab demi bab dilakukan dengan cara mengadakan penelaahan dokumen (document-study) terutama yang bersangkutan dengan pengisian bab I sampai dengan bab III dari bagian kesatu, sedang yang bersangkutan dengan pengisian dari bab IV dari bagian Kesatu dan seterusnya sebagian besar merupakan uraian berdasarkan persaksian mata (eye witness account).

Dokumen0dokumen yang telah ditelaah terdiri dari dokumen-dokumen primer (primary document) dan dokumen-dokumen sekunder (secondary documents).

Dalam pengisian bab demi bab terdapat pula beberapa penjelasan dan/atau pandangan-pandangan yang bersifat analitis dan disana sini sedikit banyak berisi komentar, sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan sejarah ini.

Postscriptum (tulisan susulan) yang ditambahkan pada penulisan sejarah pokoknya berisi pandangan-pandangan yang banyak kaitannya dengan adanya gejala-gejala baru dan pendapat-pendapat baru di bidang ilmu Korreksi, sebagaimana dapat diketahui melalui penelaahan perpustakaan yang mutakhir, (library-survey).

Daftar-daftar tentang dokumen-dokumen dan perpustakaan dapat dilihat pada halaman-halaman terakhir penulisan ini.

Bagi mereka yang berminat untuk mengadakan penelaahan yang lebih mendalam mengenai sejarah Pemasyarakatan ini, buku sejarah Pemasyarakatan yang pertama yang serba sederhana dan berhasil disusun dalam waktu yang serba singkat ini diharapkan merupakan penggugahnya.
SEJARAH PEMASYARAKATAN

Bagian ke I

Pelaksanaan Pidana Hilang Kemerdekaan di Indonesia, sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

( 1872 – 1945 )


BAB I

PERIODE PIDANA KERJA PAKSA DI INDONESIA
(1872 – 1905)


Pada periode ini di Indonesia terdapat dua jenis hukum pidana. Hukum Pidana khusus untuk orang-orang Indonesia dan Hukum Pidana khusus untuk orang-orang Eropa. Bagi orang-orang Indonesia (dan orang-orang golongan Timur Asing) berlaku pada waktu itu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersendiri yakni “Wetbuk van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie” yang dapat diterjemahkan sebagai “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk orang-orang Pribumi di Hindia Belanda” (pada waktu itu orang-orang Indonesia disebut “Inlanders”).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini berlaku sejak 1 Januari 1873 dan ditetapkan dengan Ordonansi pada tanggal 6 Mei 1872 (Indisch Staatsblad No. 82).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini merupakan kodifikasi pertama dari Hukum Pidana untuk orang-orang Indonesia di bawah penjajahan Belanda. Berbeda dengan Hukum Pidana bagi orang-orang golongan Eropa yang diperlakukan berdasarkan “Wetbuk voor Europeanen” (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa) sejak tahun 1866 dan yang telah mengenal dan mempergunakan pencabutan kemerdekaan (pidana penjara dan pidana kurungan) sebagai sanksi pidana, maka Hukum Pidana untuk orang-orang Indonesia pada waktu itu hanya mengenal satu jenis pidana sebagai pidana utamanya yang penting yakni “pidana kerja” (arbeidstraf), disampingnya hukuman mati dan hukuman denda.

Jenis pidana pokok untuk orang-orang Indonesia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1872 itu ialah :

a. Pidana mati;
b. Pidana kerja;
c. Pidana denda.

Pidana kerja lamanya seumur hidup atau sementara dan paling sedikit satu hari. Pidana kerja dalam pelaksanaannya terdiri dari dua macam yakni :

a. Kerja paksa (dwang arbeid)
b. Dipekerjakan (ter arbeid stellen)
Kerja paksa yang lamanya lebih dari lima tahun dilakukan dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting). Kerja paksa yang lamanya lima tahun ke bawah dilakukan tanpa dirantai (dwang arbeid buiten de ketting). Pidana kerja yang lamanya satu tahun ke bawah disebut juga “dipekerjakan” (ter arbeid stellen) dan yang lamanya tiga bulan ke bawah disebut juga “krakal”.

Pidana kerja yang berupa “Kerja Paksa dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting) lebih berat sifatnya daripada Pidana kerja yang berupa “Kerja Paksa tanpa dirantai” (dwang arbeid buiten de ketting).

Semua pidana Kerja Paksa baik dengan rantai maupun tanpa rantai (diatas satu tahun) dilaksanakan diluar daerah dimana keputusan pengadilan pertama dijatuhkan dan juga diluar daerah tempat asal terpidana yang bersangkutan. Kerja paksa ini juga sering disebut “pembuangan” (verbanning). Pelaksanaan kerja paksa diluar daerah tempat asal ini dimaksudkan juga sebagai usaha “memberatkan pidana”. Latar belakang pemikirannya ialah bahwa dengan dikeluarkannya terpidana yang bersangkutan dari daerah tempat asalnya, dimana ia tengah menikmati suasana kampung halamannya, dijauhkannya yang bersangkutan dari sanak keluarganya dan teman-temannya serta dari tempat-tempat dimana nenek moyangnya dikebumikan, dianggap sebagai suatu hal yang sangat menyedihkan dan karenanya merupakan suatu “derita tambahan” yang sangat berat yang khusus dirasakan oleh orang-orang Indonesia pada waktu itu.
Kerja paksa dengan dirantai pada mulanya dilaksanakan dengan membelenggu dan merantai kedua kakinya (vutbeugels en kettingen) (± 1835), kemudian atas pertimbangan kesehatan “belenggu dan rantai kaki” ini ditiadakan dan diganti dengan “belenggu leher” atau “leher besi” (ijzeren halsband, iron collar) yang berlangsung sampai tahun 1916.

Semua pidana kerja darui satu tahun ke bawah pada umumnya diperuntukkan guna melakukan pekerjaan-pekerjaan pada pekerjaan-pekerjaan umum (ad opus publicum) untuk keperluan makan tanpa upa (voor de kost zonder loon).

Pidana kerja yang berupa Kerja Paksa di luar daerah tempat asal dilaksanakan dengan memperkerjakan terpidana yang bersangkutan pada proyek-proyek yang besar-besar seperti tambang batu bara di Sawah Lunto (Umbilin), pada proyek-proyek pembuatan jalan lintas (Sumatera Tengah, Tapanuli, Aceh, Sulawesi, Bali/Kintamani, Ambon, Timor, dan sebagainya); pada proyek-proyek irigasi, dan untuk keperluan expedisi militer (antara lain sebagai pemikul-pemikul perbekalan dan peluru pada waktu perang Aceh dab di tempat-tempat lain di luar Jawa).
Pada waktu malam terpidana ditampung di dalam “gestraften kwartier” yang di Jawa dan Madura terdiri dari sebuah bangunan yang dubuat dari batu yang mengelilingi sebuah, dua buah atau tiga buah lapangan persegi empat dan dapat memuat 10 orang, 25 orang atau lebih, dan diluar Jawa dan Madura terdiri dari bangunan-bangunan darurat (kayu).

Bangunan-bangunan “gestraften kwartier” di Jawa dan Madura dikelilingi oleh tembok berlingkar (ringmuur) dan tidak dilengkapi dengan tempat-tempat pekerjaan, karena pekerjaan-pekerjaan hampir seluruhnya dilakukan diluar tembok.
Pemisahan antara jenis-jenis (kategori) terpidana, bahkan antara laki-laki dan wanitapun, tidak ada atau sangat langka. Yang diutamakan pada waktu itu adalah “membuat takut” (afschrikking) dan “pengasingan” terpidana dari masyarakat. Dari tempat-tempat penampungan inilah para terpidana tiap-tiap hari digirng ketempat-tempat pekerjaannya dibawah pengawasan “mandor-mandor”. Pada umumnya pekerjaan-pekerjaan pidana itu dilakukan dengan waktu makan dan mengasuh selama dua jam dari jam sebelas sampai jam satu siang.

Selain mengutamakan “membuat takut” dan “pengasingan” terpidana tenaga terpidana dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk keperluan pekerjaan umum, pemeliharaan gedung-gedung pemerintah dan halaman-halamannya dan lain-lain keperluan.

Keadaan perlakuan para terpidana sangat menyedihkan; pelarian hampir setiap hari terjadi; kesehatan terpidana sangat tidak terpelihara. Tata tertib pada umumnya tidak terdapat diantara para terpidana.

Dalam jumlah yang besar mereka berkeluyuran sepanjang jalan sambil mengganggu pemilik-pemilik warung dan orang-orang lainnya dan merampas makanan dan apa saja yang ada.

Pada waktu itu berlaku “Reglement op de Orde en Tucht dari tahun 1872 (Staatsblad 1971 no. 78) yang ditujukan untuk mengatur tata tertib terpidana dan juga mengatur sementara pekerjaan-pekerjaan terpidana, namun semuanya praktis tidak dijalankan.

Banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang sia-sia dan banyak pula terdapat ketidaksamaan dalam pelaksanaan pidana kerja ini. Terpidana yang berat-berat kadang-kadang dipekerjakan sebagai tukang kebun atau sebagai tukang kuda pada pejabat pamong praja setempat atau mendapat pekerjaan-pekerjaan yang enak-enak, sedang yang lain harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat dibawah tanah ditambang-tambang atau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya mengikuti exspedisi militer.
Kerja paksa lebih dari satu tahun dikenakan juga pada wanita, yang melakukan kerja paksa itu atau didalam lingkungan tempat-tempat penampungan (antara lain “dwangarbeiders kwartier voor vrouwen” di Semarang) atau diluar tembok untuk keperluan-keperluan pekerjaan umum.

Bagi orang-orang yang dikenakan pidana karena melakukan pelancongan dan pengemisan dikenakan perlakuan yang serupa dengan orang-orang yang mendapat pidana kerja paksa.

Kebanyakan dari pelancongan dan pengemis terpidana ini dikirim ke bangsal-bangsal pertanian (establissementen van landbouw) sebagaimana juga halnya dengan sebagian banyak orang-orang yang dikenakan “pidana kerja paksa tanpa dirantaui” establisemen-establisemen pertanian ini antara lain iayah : Sukadadi di Banyuwangi, Sukaraja juga didekat Banyuwangi dan Cilangka di Krawang, yang kemudian karena tidak memenuhi apa yang diharapkan dihapuskan.

Mengenai anak-anak yang melanggar hukum pada waktu itu telah pula ada ketentuannya, antara lain :

Anak-anak yang melakukan tindak pidana yang umumnya belum mencapai 10 tahun tidak dituntut. Akan tetapi manakala mereka melakukan perbuatan yang termasuk kejahatan atau melakukan pengemisan dan pelancongan maka, atas permintaan dari Kepala pemerintah setempat. Hakim setempat dapat memerintahkan untuk menempatkan anak yang bersangkutan dibawah asuhan orang tertentu atau badan tertentu, jika orang atau Ketua dari badan tertentu itu menyatakan secara tertulis kesediaannya untuk mengasuh anak yang bersangkutan sedang biaya pengasuhannya ditanggung oleh pemerintah (pasal 35 Wetbuk van Strafrech voor Inlanders 1872).

Dalam kenyataannya badan yang khusus untuk mengasuh anak-anak nakal yang berkebangsaan Indonesia pada waktu itu blm ada. Karena itu kebanyakan dari anak-anak yang telah melakukan tindak pidana dan oleh Hakim seharusnya dikenakan “tindakan perbaikan” (verbering) diserahkan kembali kepada orang tuanya dengan “dibebaskan dari tuntutan”.

Hanya sebagian kecil saja dari anak yang telah melakukan tindak pidana yang diserahkan kepada keluarga-keluarga tertentu dan kebanyakan dari anak-anak yang diserahkan itu melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga.

Mengenai golongan orang-orang Eropa telah disinggung dimuka bahwa bagi golongan ini berlaku “Wetbuk van Strafrecht voor Europeanen” (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa) dari tahun 1866, yang sebenarnya tidak lain dari pada Kitab Undang-Undang Pidana yang berlaku bagi orang Belanda di Negeri Belanda (Code Penal) (gearresteerde Wetbuk van Strafrecht).
Jenis pidana pokok yang berlaku bagi orang-orang golongan Eropa ini ialah :

a) pidana mati
b) pidana penjara
c) pidana kurungan
d) pidana denda.

Perbedaan yang jelas antara Hukum Pidana untuk orang-orang golongan Eropa dan Hukum Pidana untuk orang-orang Indonesia pada waktu itu terletak pada sanksi pidananya. Apa yang bagi orang-orang golongan Eropa berwujud sebagai “pencabutan kemerdekaan” (pidana penjara dan pidana kurungan) bagi orang-orang Indonesia berwujud sebagai “Kerja Paksa” atau “wajib kerja pada pekerjaan-pekerjaan umum untuk makan tanpa upah” (voor de kost zonder loon).
Dengan demikian maka pelaksanaan pidana bagi orang-orang Eropa selalu dilakukan didalam lingkungan tembok sedang bagi orang-orang Indonesia selalu diluar lingkungan tembok atau dengan lain perkataan bagi orang-orang Eropa selalu tidak kelihatan oleh umum sedang bagi orang-orang Indonesia selalu dimuka umum.

Untuk keperluan pelaksanaan pidana bagi golongan Eropa didirikan tempat pelaksanaan pidana yang khusus yakni “Centrale gevangenis voor Europeanen” (Penjara pusat untuk orang-orang Eropa) di Semarang (Jurnatan) yang berfungsi sebagai “Strafgevangenis” (Penjara untuk pidana) (Penal Institution). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bangunan pertama yang khusus berfungsi sebagai sarana pelaksanaan pidana (Strafgevangenis) di Indonesia adalah “rumah penjara Jurnatan” di Semarang.

Dengan adanya perbedaan jenis pidana di Indonesia ini bagi penduduknya maka dapat kita saksikan bahwa sejak itu terdapat usaha-usaha untuk memperlakukan norma-norma hukum pidana yang sama baik bagi golongan Eropa maupun bagi golongan Indonesia (termasuk pula golongan Timur Asing) akan tetapi dengan sanksi pidana yang tidak sama atas pelanggaran terhadap norma-norma yang sama itu.
Hal ini berbeda sekali dengan apa yang telah terjadi di India (British-India dibawah penjajahan Inggris pada waktu itu) dimana sejak tahun 1960 berlaku “Indian Penal Code” yang seluruhnya disusun berdasarkan berdasarkan azas-azas hukum pidana yang berlaku di Inggris dan yang berlakununtuk semua penduduk (baik India maupun Inggris) yang pada waktu itu berada didaerah jajahan Inggris tersebut. Adanya perbedaan antara cara memperlakukan hukum yang berasal dari bangsa yang menjajah terhadap bangsa yang dijajah seperti diatas, dapat dikaji dan adanya dua pola tentang cara penguasaan atas suatu bangsa, yakni yang terkenal dengan “penguasaan langsung” (direct rule) dan “penggunaan tidak langsung (indirect rule).
Dalam hal penguasaan langsung kekuasaan kolonial membangun ketatalaksanaannya sendiri dan mencoba mengatur sampai sekecil-kecilnya kehidupan ekonomi dan sosial dari koloni yang dijajahnya. Dalam hal melaksanakan kekuasaan yang langsung para penjajah mempergunakan prinsip-prinsip dan cara-cara yang mereka ketahui. Mereka memasukkan konsep-konsep hukum Barat dan ketatalaksanaan Barat, seperti halnya Inggris di India. (Leonard Broom & Philip Selzniek : Sociology, A Text with adapted reading, 1973 halaman 589).
Dalam hal penguasaan secara tidak langsung kekuasaan kolonial dijalankan melalui pemimpin-pemimpin pribumi (native leaders) raja-raja, kepala-kepala desa, suku dan sesepuh desa, seperti halnya Belanda di Indonesia (Ibid). Pebedaan yang tegas dan nyata diantara penguasaan langsung dan penguasaan tidak langsung sebenarnya tidak dapat diadakan secara pasti. Kekuasaan kolonial melakukan apa saja yang diperkirakan dapat membawa keuntungan bagi mereka, dan dimana mereka memandangnya perlu untuk kepentingan effisiensi penjajahannya mereka mengadakan perubahan-perubahan didalam struktur kemasyarakatan secara langsung sekalipun yang dianut merupakan pola penguasaan yang tidak langsung. Gambaran semacam ini nampak sekali di Indonesia selama penjajahan Oleh Belanda disekitar tahun 1800-an (abad XIX). Kalau sebelum tahun 1970, sejak zaman VOC, pola penguasaan kolonial di Indonesia lebih merupakan pola Penguasaan yang tidak langsung, dimana pengaruh kekuasaan kolonial hanya sampai kepada raja-raja dan kemudian kepada kepala-kepala desa, maka sejak tahun 1870, dengan adanya apa yang dinamakan “Politik Kolonial Modern” atau yang disebut juga “Politik Emansipasi”, pengaruh kekuasaan kolonial Belanda mulai merembes (penetrasi) secara langsung ke desa-desa dan langsung menyentuh secara menyeluruh sampai kelapisan masyarakat yang terbawah, bersamaan dengan pembaharuan struktur politiknya dibidang agraria (terutama pertania).
Gambaran semacam ini dengan jelas sekali nampak pula dibidang penegakan hukum. Kalau sebelum tahun 1870 dibidang penegakan hukum kekuasaan kolonial menganut policy yang membiarkan penduduk dari beberapa daerah yang dijajah sebanyak mungkin hidup dibawah peraturan-peraturan adatnya (hukum adatnya) sendiri-sendiri. (seperti : “Papakem Cirebon” untuk daerah Cirebon; “Mohaerrar” untuk semarang dan sekitarnya; “Undang-Undang Simbur Cahaya” untuk Palembang dan sekitarnya; Undang-Undang Adat Lembaga dan Simbur Cahaya” untuk Bengkulu dan sekitarnya) dan hanya sebagian kecil dari penduduk di Indonesia, yakni ditempat-tempat yang dikuasai secara langsung, berada dibawah jangkauan hukum kolonial (seperti : “Bataviasche Statuten” untuk “Betawi dan sekitarnya” – “Batavia en Ommelanden; “Verordeningen aan gaande de adat der Inlandsche Christenen op het eiland Halmaheira” untuk penduduk yang beragama Kristen di pulau Halmahera), maka sejak tahun 1870-an, dengan adanya “Wetbuk van Strafrech voor de inlanders in Nederlandsch Indie” pada tahun 1872 yang merupakan kodifikasi pertama dari hukum pidana untuk orang-orang Indonesia pada jaman penjajahan, jangkauan kekuasaan kolonial melalui “penegakan hukum” menyentuh secara langsung dan menyeluruh sampai kepada lapisan terbawah dari masyarakat yang ada diwilayah kekuasaan kolonial, Nederlandsch-Indie” (Hindia Belanda). Dalam hubungan ini dapat disaksikan bahwa “hukum” oleh kekuasaan kolonial lebih dipergunakan sebagai “instrumen”, tidak hanya untuk keperluan “Politik Kolonial Modern” (Modernisasi) atau “Politik Emansipasi” melainkan terutama untuk peningkatan kekuatan penguasaan (involusi) secara menyeluruh.
Bagaimanapun argumentasi yang dapat dikemukakan untuk membenarkan adanya perbedaan jenis pidana yang berlaku di Indonesia pada waktu itu, tidak dapat disangkal bahwa dalam hal memperlakukan hukum di Indonesia sewaktu Indonesia berada dalam cengkraman penjajahan kolonial terdapat diskriminasi, disatu pihak menempatkan orang-orang Indonesia dibawah jangkauan norma-norma hukum pidana kolonial, dilain fihak memperlakukan sanksi pidana yang sangat merendahkan martabat bangsa Indonesia.
Dilihat dari segi perspektif socio-kultural-politik-ekonomis pada masa penjajahan diwaktu itu “pidana kerja paksa” berdasarkan “Wetbuk van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandch-Indie” 1872 banyak pula kaitannya dengan Politik Kolonial modern Belanda di Indonesia yang berlangsung dari tahun 1870 – hingga 1942.
Politik Kolonial Modern dari Belanda ini tidak luput pula dari pengaruh alam fikiran liberal, yang terutama menuntut kebebasan ekonomi, dan terutama kebebasan perorangan bagi pengusaha-pengusana swasta.
Menurut beberapa catatan sejarah, sebelum berlakunya Periode Politik Kolonial Modern Belanda di Indonesia, terdapat Stelsel/sistem “tanam paksa” dan “rodi” (heerendienst). Stelsel demikian ini oleh pengusaha-pengusaha swasta pertanian, yang banyak memperjuangkan kepentingan pribadinya, dianggap tidak sesuai dengan alam fikiran liberal dan sejak itu mulailah pengusaha-pengusana swasta memperguanakan “tenaga kerja bebas” (Burger dan Prajudi : Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia; 1957; halaman 229-233; 235 dst).
Sungguhpun demikian pekerjaan-pekerjaan yang besar-besar dan yang mengandung bahaya tidak menarik bagi para pekerja-pekerja bebas. Hal ini dapat pula dikaji dari apa yang dinyatakan dalam “Tulichting op het ontwerp wetbuk van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie”, yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut : “Sementara itu dirasakan bahwa pemberian pekerjaan-pekerjaan diluar tembok penjara dalam banyak hal tidak dapat ditiadakan, khususnya mengingat kepentingan-kepentingan pemerintah, di tempat-tempat yang sangat membutuhkan tenaga kerja demi kepentingan umum, untuk mana tidak dapat diperoleh tenaga-tenaga pekerja bebas, seperti umpamanya pada expedisi militer, beberapa proyek pekerjaan umum yang besar-besar, dsb....”. Pekerjaan-pekerjaan diluar tembok semacam ini yang sesudah tahun 1905 dengan adanya “penjara-penjara pusat wilayah” (centralen) dan sesudah berlakunya KUHP 1918 dengan adanya “penjara-penjara pidana” (Strafgevengenissen) masih juga dirasakan tidak dapat ditiadakan, dalam sejarahnya telah dimulai sejak tahun 1872 dengan adanya “pidana kerja”/pidana kerja paksa”.
Dikaitkan dengan timbulnya Politik Kolonial modern dari Belanda pada tahun 1870, dimana pengusaha-pengusaha swasta yang liberal mulai mempergunakan tenaga kerja bebas, dikaitkan pula dengan adanya proses penghapusan tanam paksa dan rodi, dan dikaitkan pula dengan susahnya memperoleh tenaga kerja bebas pada pekerjaan-pekerjaan yang vital seperti pembuatan-pembuatan jalan di Sumatera, pekerjaan pertanian di daerah Banyuwangi (Jawa Timur) dan di Krawang (Jawa Barat) dan kemudian pekerjaan-pekerjaan pembuatan saluran-saluran irrigasi di daerah Jember Barat Daya yang terkenal dengan penanaman tebunya, dan pekerjaan-pekerjaan yang vital dan berbahaya lainnya seperti di tambang Batu Bara Ombilin dan Pulau Laut dan pekerjaan-pekerjaan menyertai patroli-patroli/expedisi militer sebagai pemikul perlengkapan perang, maka dapat diambil kesimpulan bahwa “kerja paksa” sebagai sanksi hukum pidana itu terutama mengandung perspektif yang mengutamakan kepentingan kekuasaan kolonial, sedang “norma-norma hukum pidana” yang berasal dari Barat diperlakukan secara sepihak bagi orang-orang Indonesia da lam rangka pemantapan pengaruh Barat (kolonial) secara menyeluruh (proses “involusi” atau proses “penetrasi” kekuasaan). Dapat dikatakan bahwa pidana kerja paksa menggantikan kerja tanam paksa dan rodi.
Hal semacam ini dalam sejarah Eropa telah pernah terjadi. Bukanlah jauh sekali dimasa yang telah silam, pada zaman Kekaisaran Romawi kekurangan tenaga kerja pada pekerjaan-pekerjaan umum (ad opus publicum) dan di tambang-tambang perunggu dan marmer (ad metalla) yang dilakukan oleh budak-budak Romawi (prajurit-prajurit yang kalah perang), diatasi dengan mengadakan Undang-Undang Hukum Pidana yang baru yang terutama ditujukan kepada golongan rendah (personae humiles) dari penduduk negara Romawi sendiri yang lantas kehilangan kewarganegaraannya ? (Gustav. Radbruch : “Der Unsprung des Strafrecht Ausdem Stande der Unfreien” 1938).

Dalam sejarah pelaksanaan pidana di Indonesia, selama masa penjajahan, citra hukum yang mengandung perspektif kolonial itu berlangsung terus sekalipun sejak tahun 1905 diadakan perubahan-perubahan dalam pelaksanaan pidana dan sejak tahun 1918 berlaku sanksi-sanksi pidana yang sama bagi semua golongan (perhatikan adanya penunjukan tempat-tempat yang khusus untuk terpidana golongan Eropa dan perlakuan-perlakuan yang khusus pula bagi golongan ini menurut “Gestichten Reglement Staatsblad 1917 no. 708).
BAB II

PELAKSANAAN PIDANA DI INDONESIA MENJELANG BERLAKUNYA “WETBUK VAN STRAFRECHT VOOR NEDERLANDSCH-INDIE” (KUHP) 1918.
(PERIODE PENJARA-PENJARA SENTRAL WILAYAH
1905 – 1921)


Periode ini ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk memusatkan penempatan para terpidana kerja paksa yang tersebar di mana-mana di dalam “pusat-pusat penampungan wilayah” (gewestelijke centralen).

Sebagaimana diketahui pidana kerja lebih dari satu tahun yang berupa kerja paksa dengan dirantai dan kerja paksa tanpa dirantai dilaksanakan di luar daerah tempat pidana itu dijatuhkan pertama dan di luar daerah tempat asal terpidana yang bersangkutan.

Semua dari terpidana itu, begitu pula semua yang dikenakan pidana kerja satu tahun ke bawah, tanpa kecuali dipekerjakan di luar tembok tempat-tempat penampungan mereka.

Sejak tahun 1905 timbul policy baru dalam mempekerjakan para terpidana ini. Sejak itu diusahakan supaya para terpidana kerja paksa sejauh mungkin melakukan kerja paksanya di dalam lingkungan tembok dari tempat-tempat penampungan terpidana.

Alasan utama yang menyebabkan adanya policy baru ini ialah karena pidana kerja paksa dalam kenyataannya kurang memberi jaminan tentang kegunaan dari pekerjaan-pekerjaan yang terkandung di dalamnya dan juga karena kurang memberi jaminan tentang adanya pengawasan yang efektif terhdap pekerjaan-pekerjaan itu, padahal jaminan-jaminan semacam itu merupakan unsur-unsur yang dianggap paling menentukan pada waktu itu demi terciptanya suatu tata tertib yang harus benar-benar dirasakan keketatannya oleh para terpidana.
Hanya tata tertib yang demikian inilah yang dianggap dapat memenuhi sifat “membuat takut” (afschrikking) yang harus terkandung dalam tiap-tiap pidana. Mengendornya suatu tata tertib karena tidak adanya jaminan-jaminan seperti tersebut di atas itu dianggap mengurangi hakekat dari pidana.

Di muka telah disinggung tentang keadaan perlakuan terhadap para terpidana kerja paksa dan terhadap para terpidana yang “dipekerjakan” untuk keperluan pekerjaan-pekerjaan umum dan bagaimana mereka dalam jumlah yang besar berkeluyuran sepanjang hari.

Ditambahkan pula bahwa sering terjadi penyalahgunaan dalam hal mempekerjakan para terpidana. Banyak diantara mereka yang bekerja pada orang-orang preman (swasta) dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya swasta sehingga pengawasan terhadap mereka sangat terbengkalai dan banyak diantara terpidana yang bermalas-malasan.

Besarnya jumlah pelarian, yang terjadi hampir setiap hari, merupakan pula latar belakang dari adanya policy baru sejak tahun 1905 itu.

Policy baru di bidang perlakuan terhadap terpidana ini terlaksana di bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan (Hoofd van het Gevangeniswezen) dan sejak itu pula urusan kepenjaraan merupakan suatu urusan yang mempunyai pimpinan pusat yang dilengkapi dengan pejabat-pejabat yang dibutuhkan (Inspektur-inspektur, Direktur-direktur, Pegawai-pegawai teknik, Administrasi, dll), sehingga dalam waktu lima belas tahun nampak adanya perubahan-perubahan dengan nyata. Kepala Urusan Kepenjaraan yang pertama adalah Gebels, seorang sarjana hukum yang dalam sejarah kepenjaraan Hindia Belanda terkenal sebagai seorang yang telah berjasa dalam mengadakan perubahan-perubahan di bidang kepenjaraan.

Dalam garis besarnya perubahan-perubahan itu meliputi hal-hal sebagai berikut :

Pertama : Meneruskan kebijakan (policy) tentang mempekerjakan para terpidana yang dikenakan pidana “dipekerjakan pada pekerjaan-pekerjaan umum untuk makan tanpa upah” (voor de kost zonder loon) (krakalan);

Kedua : konsentrasi dari para terpidana kerja paksa di “pusat-pusat penampungan yang besar di wilayah-wilayah” (gewestelijke centralen) atau pada proyek-proyek pekerjaan yang besar-besar untuk keperluan umum (pembuatan jalan, tambang-tambang, proyek-proyek irrigasi, dsb); Penempatan “pusat-pusat penampungan wilayah” dan “pusat-pusat proyek-proyek” ini dibawah pimpinan direktur-direktur yang cakap; keharusan, bagi terpidana untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan bermanfaat baik bagi mereka sendiri maupun bagi pemerintah dibawah disiplin yang ketat.

Pusat-pusat penampungan wilayah ini harus pula mempunyai fasilitas-fasilitas untuk menampung para tahanan, sandera-sandera (gegijzelden) dan sebagainya.

Penggunaan tenaga terpidana untuk keperluan-keperluan (expedisi) militer tetap berlangsung. Untuk keperluan pelaksanaan policy baru ini tempat-tempat penampungan yang telah ada sebelumnya diberbagai tempat (Jakarta pada waktu itu Batavia, Surabaya, Yogyakarta, Surakarta, Padang, Makassar sekarang Ujung Pandang, dan sebagainya dirubah menjadi “Pusat-pusat penampungan Wilayah” (Gewestelijke Centralen) atau diperuntukkan sebagai “pusat-pusat penampungan wilayah” yang baru didirikan seperti : Cipinang, Madiun, Pekalongan dan Malang.

“Pusat-pusat penampungan Wilayah” ini terkenal dengan nama “Centralen” atau “Centrale Gevangenissen” (dalam bahasa Indonesia “Penjara-penjara Pusat” atau “Penjara-penjara Sentral”). (Hingga sekarang bangunan-bangunan dari “Penjara-penjara Pusat” atau “Centrale Gevangenissen” ini masih dipakai).

Penjara-penjara Pusat” ini terdiri dari bangunan-bangunan dengan ukuran-ukuran yang sangat besar dan dengan kapasitas penampungan yang sangat besar pula (± 700 sampai ± 2700 orang) dan dipergunakan untuk menampung tahanan-tahanan setempat, sandera-sandera setempat, dan terpidana ringan setempat serta terpidana-terpidana berat, baik yang berasal dari seluruh wilayah (gewest) yang bersangkutan maupun dari wilayah lain. Untuk mengadakan usaha pemisahan antara berbagai kategori diadakan batasan-batasan fisik berupa tembok-tembok pemisah yang jumlahnya begitu banyak sehingga menyulitkan keleluasaan pandangan. Ruangan-ruangan untuk tidur terdiri dari kamar-kamar yang besar yang dapat memuat sampai 25 orang terpidana (sistem kamar bersama). Bagi terpidana golongan Eropa tersedia kamar-kamar untuk perorangan dan untuk orang-orang tahanan dibuat kamar-kamar yang dapat memuat satu, tiga atau lima oarang. Kamar-kamar untuk tahanan ini dilengkapi dengan tempat-tempat berangin-angin yang dibatasi dengan ruji-ruji.

Sistem kamar bersama ini yang merupakan ciri khas dari “Penjara-penjara Sentral” (Centrale Gevangenissen) dalam pandangan ahli-ahli penologi modern merupakan sesuatu yang menyuburkan adanya penularan kejahatan sehingga “penjara-penjara dengan sistem penampungan semacam ini lebih dikenal dengan sebutan “school of crime” (sekolah tinggi kejahatan).
Dengan adanya sistem kamar bersama ini pula sering terjadi bahwa yang paling “jagoan” diantara terpidana memainkan peranan utamanya, terutama diwaktu malam (antara lain homosex).

Pendirian pusat-pusat penampungan di wilayah yang besar-besar ini membutuhkan biaya yang besar dan untuk mendirikannya dalam jumlah yang mencukupi dibutuhkan pula waktu yang lama. Oleh karena itulah maka sebagian besar dari “penjara-penjara sentral” ini dibangun dengan mempergunakan tenaga terpidana.

Dalam lingkungan bangunan “penjara-penjara sentral” ini terdapat pula Rumah Sakit untuk keperluan perawatan terpidana yang sakit.

Tembok setinggi 41/2 meter melingkari sebuah bangunan untuk membatasi bangunan itu dengan dunia luarnya.

Dengan dipekerjakannya sebagian besar dari para terpidana kerja paksa di dalam lingkungan tembok bangunan (intra muros atau intra mural), maka didirikannya pula dalam lingkungan tembok itu tempat-tempat pekerjaan yang besar-besar yang sejauh mungkin dapat memberi pekerjaan-pekerjaan yang beraneka ragam kepada semua terpidana kerja paksa yang ada di dalam “penjara-penjara sentral” itu. Tempat-tempat pekerjaan yang banyak dilengkapi dengan mesin-mesin dan pesawat-pesawat ini dikenal dengan nama “perusahaan-perusahaan besar” (groote bedrijven atau groot ambachtswerk), berlainan dengan “perusahaan-perusahaan kecil” (klein ambachtwerk) yang tersebar ditempat-tempat penampungan terpidana yang tidak termasuk “penjara sentral”.

Terutama perusahaan-perusahaan itulah yang pada jaman penjara sentral ini sangat menonjol peranannya. Dalam waktu yang relatif singkat perusahaan-perusahaan itu menunjukkan kemajuan-kemajuan. Produksi dari perusahaan-perusahaan itu terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemerintah (state use system) terutama keperluan-keperluan militer. (kain layar, sepatu, selimut, mebiler, dll.).

Walaupun dalam periode ini sebanyak mungkin diusahakan untuk mempekerjakan terpidana kerja paksa di dalam lingkungan tembok “penjara-penjara sentral”, namun kebutuhan untuk tenaga kerja pada proyek-proyek pekerjaan yang besar-besar diluar tembok masih sangat dirasakan. Oleh karena itu pekerjaan-pekerjaan pada proyek-proyek yang besar-besar seperti : tambang batu bara di Ombilin dan di Pulau Laut, Jalan Lintas Sumatera-Tengah, irrigasi di daerah Jember dan lain-lain tetap dilanjutkan. Begitu pula penggunaan tenaga terpidana untuk keperluan militer.

Perlu dicatat bahwa dalam periode ini pulau Nusakambangan menduduki tempat yang khas sebagai tempat mempekerjakan terpidana kerja paksa di luar tembok, yakni sebagai “Landbouw Straf Kolonie” (koloni pidana untuk pertanian) dimana para terpidana dipekerjakan untuk penanaman pohon karet, pembuatan jalan dan pembangunan “Kwartir-kwartir pidana kerja paksa” (dwang arbeiders Kwartier).

Sampai tahun 1916 di Nusakambangan masih dipergunakan istilah “establissemen pertanian” bagi Permisan, Karanganyar dan Gladakan yang sejak tahun itu diperbaiki. Keadaan bangunan-bangunan di Nusakambangan pada waktu itu sangat menyedihkan terutama Jumbleng yang pertama-tama didirikan sebagai “Kwartir” dan Limus Buntu yang berfungsi sebagai “Kwartir sementara” pada waktu itu.

Proyek pembuatan jalan diluar Jawa dan Madura antara lain meliputi pembuatan jalan lintas Sumatera-Tengah yang melintasi distrik-distrik di daerah Batanghari dan menghubungkan Sijunjung dengan perbatasan Jambi melalui Takung; perbaikan jalan Sibolga-Tarutung dan Tarutung-Porsea yang menghubungkan Sumatera-Timur dan Sumatera-Barat melalui Medan, Sibolga, Bukit Tinggi dan Padang. Selain dari itu pembuatan-pembuatan dan perbaikan-perbaikan jalan lainnya di Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh dan di Sulawesi serta di timur Tengah dan Amboina.
Tidak diperlukan adanya komentar panjang lebar untuk menarik kesimpulan bahwa dilihat dari letaknya daerah-daerah, kesibukan pembuatan dan perbaikan jalan-jalan itu pasti banyak hubungannya dengan keperluan-keperluan expedisi militer Belanda dalam rangka usaha mereka menaklukkan daerah-daerah di Indonesia yang sampai saat itu tetap dengan gigih mengadakan perlawanan terhadap usaha-usaha penjajahan Belanda (Perang Aceh, Perang Padri, Perang Jambi dan lain-lain). Hal mempekerjakan terpidana kerja paksa untuk pembuatan jalan-jalan penting itu tidak banyak bedanya dengan waktu-waktu sebelumnya di Jawa pada jaman Deandels dengan “heerendienst”nya dan dengan “pidana kerja paksa”nya yang oleh Deandels pula diadakannya di Jawa sebagai pengganti dari sanksi pidana berdasarkan hukum adat pada waktu itu (pembuatan jalan Deandels di Jawa dari Anyer sampai Panarukan).

Kesibukan-kesibukan kerja paksa diluar tembok lainnya yang perlu dicatat ialah : pembuatan saluran irigasi secara besar-besaran di Jember Barat Daya dan Di Lumajang Tenggara yang dinilai sejak tahun 1915. pekerjaan-pekerjaan pada proyek-proyek “irigasi dan assainaeering” ini lebih merupakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat permanen, sedang proyek-proyek irigasi yang tidak permanen terdapat di Purwakarta, Sidoarjo dan Banyumas serta di beberapa tempat di Sumatera, kesemuanya dengan mempergunakan tenaga terpidana kerja paksa. Di tamb

Selain bagi pekerjaan-pekerjaan diluar tembok tersebut dimuka masih banyak sekali jumlah terpidana kerja paksa yang dipekerjakan di tambang batu bara di Ombilin. Keadaan terpidana di tambang batu bara di Ombilin ini sangat menyedihkan. Judi dan pelarian-pelarian yang sering terjadi, terutama karena pergi dan pulang ke tambang-tambang dan lari dari tambang-tambang dilakukan pada malam hari, termasuk hal-hal yang tidak asing lagi, sama halnya dengan di proyek-proyek kerja luar lainnya. Pelarian-pelarian sering juga terjadi di proyek-proyek irrigasi Jember dan Lumajang dan juga di Nusakambangan. Ombilin, Jember dan Lumajang serta Nusakambangan terkenal sebagai pusat-pusat yang rawan bagi terjadinya pelarian.
Sebagian dari terpidana kerja paksa yang berhasil melarikan diri, setelah berada diluar melakukan lagi tindak pidana kejahatan. Pembunuhan dan penganiayaan terhadap petugas tidak jarang pula terjadi.

Selain proyek-proyek kerja luar tersebut dimuka, proyek-proyek kerja luar lainnya berupa pembuatan dermaga (pelabuhan), pemeliharaan jembatan-jembatan, gedung-gedung pemerintah dan transport barang-ba luarrang pemerintah.

Penggunaan tenaga terpidana untuk keperluan militer antara lain berupa : ikut sertanya terpidana dengan patroli-patroli militer Belanda di luar Jawa dan Madura sebagai pengangkut-pengangkut perbekalan-perbekalan dan peluru-peluru. Pekerjaan-pekerjaan semacam ini sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa terpidana. Tidak sedikit diantara terpidana yang meninggal dunia dalam pertempulan yang terjadi antara pasukan-pasukan patroli Belanda dengan putra-putra daerah Indonesia yang dengan gigih mempertahankan hak dan kemerdekaannya.

Biasanya terpidana Kerja Paksa yang mengkuti patroli-patroli militer Belanda sebagai pembawa perbekalan dan peluru ini disebut “Kettingbeeren” atau “Kettinggangers”. Mereka dipersenjatai dengan perang sekedar untuk membela diri bila ada pertempulan.

Semua terpidana Kerja Paksa di luar Jawa dan Madura, kecuali mereka yang dipergunakan untuk keperluan expedisi militer Belanda, yang dipekerjakan di proyek-proyek pekerjaan diluar tembok, pada waktu malam ditampung dalam “tempatr-tempat penampungan kerja paksa” yang sifatnya sementara. (tijdelijke kwartieren).

Tempat-tempat ini dibuat dari bahan sederhana (dari kayu) dan dapat dipindah kalau perlu.

Pendirian “pusat-pusat penampungan wilayah” (gewestelijke centralen) yang dicita-citakan sejak tahun 1950 itu tidak pernah terlaksana secara menyeluruh. Pemusatan penampungan terpidana di wilayah-wilayah sebagian besar dilakukan dengan jalan mengadakan perubahan-perubahan pada fasilitas-fasilitas penampungan yang telah ada sebelumnya itu ialah 331 buah, termasuk 106 buah di Jawa dan Madura.

Bangunan-bangunan yang telah ada sebelumnya itu kebanyakan berupa bangunan-bangunan primitif yang terbuat dari kayu. Hanya di Jawa dan Madura bangunan-bangunan itu sebagian besar dibuat dari batu.

Bangunan-bangunan yang ada di Jawa dan Madura pada waktu itu sudah berumur ± 40 tahun atau lebih.

Yang dapat dikatakan cukup memenuhi persyaratan sebagai “pusat-pusat penampungan” terpidana di Jawa hanya ada beberapa : rumah penjara untuk orang-orang Eropa di Semarang, yang telah berfungsi sebagai “Straf Gevangenis”, tempat penampungan terpidana kerja paksa untuk wanita di Semarang dan tempat penampungan terpidana Kerja Paksa untuk laki-laki di Mlaten, Semarang (dwang arbeiders kwartier) yang khusus diadakan untuk terpidana Kerja Paksa yang berat-berat, dan diluar Jawa tempat yang serupa dengan Mlaten (Semarang), yakni di Padang yang baru selesai dibuat pada tahun 1914.

Dengan berkobarnya perang dunia ke I sejak tahun 1914, usaha-usaha untuk mendirikan “pusat-pusat penampungan wilayah” (Gewestelijke Centralen) yang baru mengalami kemacetan.

Baru pada tahun 1916 pendirian pusat-pusat penampungan yang baru itu dapat dilanjutkan antara lain : Cipinang, Cirebon, Pekalongan, Madiun, Malang dan Pamekasan, meskipun harus dilakukan secara perlahan-lahan setapak demi setapak. Dengan adanya kelambatan dalam pembangunan di satu pihak, peningkatan jumlah terpidana dilain pihak, maka Kepala Urusan Kepenjaraan dihadapkan kepada masalah yang rumit, yang akhirnya memaksakannya untuk mengambil tindakan-tindakan darurat. Pulau Onrust di Teluk Jakarta dipinjam untuk mengtasi kepadatan penghuni di Jakarta (Batavia) dan sebagian dari bangunan baru di Cipinang yang jauh belum selesai dipergunakan untuk keperluan yang sama.

Satu kejadian yang perlu dicatat dalam periode ini (1905-1921) ialah adanya experimen terhadap sejumlah terpidana yang dikenakan “pidana kerja” terpidana setelah selesai melakukan pekerjaan-pekerjaan wajib yang diperintahkan. Mereka hanya “diwajibkan hadir” pada tempat-tempat pekerjaan yang telah ditunjuk pada jam-jam yang telah ditentukan sebelumnya, untuk selanjutnya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang telah ditentukan itu. Selesai melakukan “kerja wajib”nya mereka diperkenankan bebas sepenuhnya dan bagi mereka yang jauh tempat tinggalnya disediakan bangsal-bangsal peninapan yang sederhana yang letaknya diluar tembok tempat-tempat penampungan yang resmi. Percobaan ini pertama-tama diadakan pada tahun 1906 dibeberapa tempat dan selanjutnya diperluas ditempat-tempat lain.

Percobaan-percobaan ini pertama-tama dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan dari tempat-tempat penampungan terpidana dan hanya dikenakan kepada terpidana tertentu.

Dilihat dari segi pencegahan penularan kejahatan kebijaksanaan semacam ini ada baiknya. Mungkin sekali timbulnya pasal 20 “Wetbuk van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie” (KUHP) 1918 yang ditetapkan kemudian bagi seluruh penduduk di Indonesia, baik daro golongan Eropa maupun dari golongan Indonesia dan Timur Asing, banyak kaitannya dengan percobaan-percobaan dimuka tadi. Imbangan terhadap pasal 20 KUHP ini adalah pasal 26 KUHP yang membuka kemungkinan untuk tidak memberi pekerjaan diluar tembok bagi golongan terpidana tertentu. (antara lain golongan Eropa dan orang-orang Indonesia tertentu yang antara lain mempunyai kedudukan tertentu di masyarakat, juga golongan Timur Asing tertentu) (citra hukum-kolonial-yang diskriminatif).
(lihat juga uraian penutup Bab I).

Sementara itu dalam periode ini lahirlah “Wetbuk van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie” yang dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan nama “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Hindia-Belanda”, dan pada dewasa ini lebih dikenal dengan singkatan “KUHP”. “Wetbuk van Strafrecht” ini ditetapkan dengan Koninklijk Besluit tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan baru berlaku pada tanggal 1 Januari 1918.

Secara formil “Wetbuk van Strafrecht 1918” ini tidak lagi mengenal “pidana kerja” (arbeidstraf) sebagai sanksi pidana. Apa yang tadinya “pidana kerja” diganti dengan “pidana hilang kemerdekaan”.

Dalam saat-saat terjadinya peralihan di bidang pelaksanaan pidana dari “pidana kerja” ke “pidana hilang kemerdekaan” timbul beberapa kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu bukan terletak pada wujud pelaksanaan dari pidana yang berdeda itu, karena sejak 1905 sebagian besar dari para terpidana kerja paksa sudah berada di dalam lingkungan tembok-tembok tertutup dari “penjara-penjara sentral”, yang sekaligus juga merupakan perampasan kemerdekaan bergerak bagi mereka, sedang pidana yang baru yang memang merupakan perampasan kemerdekaan bergerak disertai pula dengan keharusan untuk bekerja bagi keperluan pemerintah. Kesulitan yang dihadapi oleh urusan kepenjaraan pada waktu peralihan itu ialah yang bersangkutan dengan pemberian lepas bersyarat yang secara prinsipil hanya berlaku bagi terpidana penjara yang telah menjalani pidananya paling sedikit 3 tahun (menurut peraturan yang berlaku pada waktu itu). Bagi para terpidana kerja paksa yang tidak menjalani pidana penjara pemberian pelepasan dengan perjanjian (V.I) tidak dapat dilakukan. Yang dapat diberikan kepada mereka hanya pengurangan lamanya pidana kerja paksa (remisi), yang telah jauh sebelumnya berlaku bagi para terpidana kerja paksa. Oleh karena itu pada masa peralihan timbul pemikiran untuk tidak memberikan remisi kepada para terpidana penjara atas pertimbangan keadilan. Masalah ini terutama timbul sekitar tahun 1921, yakni 3 tahun setelah berlakunya “Wetbuk van Strafrecht” 1918, karena pelepasan bersyarat yang pertama baru dapat diberikan 3 tahun sesudah tahun 1918. (minimum 3 tahun dari masa pidana penjara harus sudah dijalankan untuk dapat memperoleh V.I pada waktu itu).

Bersamaan dengan berlakunya “Wetbuk van Strafrecht” 1918 itu, berlaku pula “Gestichten Reglement” Staatsblad 1917 no. 708 yang dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan nama “Reglemen Penjara”.

Gestichten Reglement ini, dimaksudkan untuk mengganti “Reglement op de Orde en Tucht” Staatsblad 1871 no. 78, namun dalam kenyataannya tidak dengan secara dapat dilaksanakan.

Pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam “Gestichten Reglement” baru benar-benar sesudah tahun 1920, yakni dengan adanya penggantian terhadap sistem “Centrale Gevangenissen” (penjara-penjara sentral) menjadi sistem “Strafgevangenissen” (penjara-penjara pelaksana pidana).

Hal-hal yang masih perlu diketahui yang terjadi dalam periode “Penjara-penjara Sentral Wilayah” ini, selain dari pada kejadian-kejadian yang telah diuraikan dimuka, antara lain sebagai berikut :

a. Sebelum berlakunya “Gestichten Reglement” Staatsblad 1917 no. 708 hukuman disiplin “pukulan rotan” dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman disiplin “tutupan sunyi”.
Setelah berlakunya “Gestichten Reglement” tersebut, pasal hukuman disiplin “pukulan rotan” hanya boleh dijatuhkan kalau hukuman disiplin “tutupan sunyi” tidak mungkin dilaksanakan (tidak ada sel-sel untuk hukuman “tutupan sunyi” atau kalau sel-sel yang ada sudah penuh.
Selama tahun 1916 jumlah hukuman “pukulan rotan” yang dijatuhkan tercatat sebanyak 4615, dan jumlah hukuman tutupan sunyi 6486.

b. Jumlah penghuni dari tempat-tempat penampungan terpidana pada tahun 1916 tercatat sebanyak rata-rata : 24717 orang sehari di Jawa dan Madura dan rata-rata 14593 orang sehari diluar Jawa dan Madura.
Pada tahun 1920 tercatat rata-rata 37109 orang sehari di Jawa dan Madura dan rata-rata 19897 orang sehari diluar Jawa dan Madura. Terjadinya kepadatan penghuni terpidana dimana-mana.

c. Pemeliharaan tata tertib sangat terpengaruh oleh adanya kepadatan penghuni; begitupula pemeliharaan kesehatan terpidana. Di Nusakambangan banyak diantara terpidana yang meninggal dunia karena keadaan kesehatan yang sangat buruk. Pada bulan Maret 1920 saja tercatat yang meninggal dunia sebanyak 105 orang dari jumlah penghuni sebanyak 3000 orang. Di tempat-tempat lainnyapun kesehatan terpidana sangat menyedihkan (antara lain pada proyek-proyek pembuatan jalan di Sumatera, Proyek irrigasi di Jember dll).

d. Pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tata tertib banyak sekali terjadi; pembunuhan dan penganiayaan (termasuk terhadap petugas) dan pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya yang terjadi di dalam lingkungan tempat-tempat penampungan tercatat sebanyak 232 kali selama tahun 1916 (pembunuhan saja 16 kali).
Jumlah pelarian yang terjadi pada tahun 1916 sebanyak 1065 kali di Jawa dan Madura dan 2965 kali diluar Jawa dan Madura. Pada tahun 1920 tercatat 2192 kali di Jawa dan Madura dan 3619 kali di luar Jawa dan Madura.
e. Dalam periode ini masalah pengangkutan dan penghantaran terpidana ke Pengadilan Negeri menjadi pusat pemikiran yang serius karena banyaknya pelarian.
Penghantaran terpidana dan tahanan ke Pengadilan Negeri biasanya dilakukan dengan berjalan kaki, kecuali di Surabaya dan di Semarang yang telah memperguanakan kendaraan beroda yang ditarik oleh kuda (gevangeniswagen met paard bespanning). Pada tahun 1918 disediakan kendaraan bermotor khusus sebagai alat penghantaran dan pengangkutan terpidana dan tahanan ke Pengadilan Negeri dan sekembalinya, yakni untuk Jakarta (Batavia), Semarang, Surabaya dan Yogyakarta. Kendaraan-kendaraan bermotor ini dilengkapi dengan sel-sel. (van cellen voorziene gevangenis-auto’s) (lebih dikenal dengan nama “cel-wagen)

f. Pada tahun 1916 penggunaan “belenggu leher” yang sejak tahun 1835 menggantikan “belenggu kaki dan rantai” dihapuskan.

g. Pada tahun 1917 pengawasan terhadap anak-anak, baik yang dikenakan pidana maupun yang dikenakan “tindakan perbaikan” (verbetering), ditugaskan kepada seorang Inspektur Khusus, yakni Inspektur “Tucht en Opvudingswezen” dari Departemen Justisi (dibentuk pada akhir tahun 1917). Sebelum itu pengawasan dilakukan oleh Inspektur dari Regeeringsbureau terbestrijding van den handel in vrouwen en meisjes (Biro Pemerintah guna pemberantasan perdagangan wanita dan anak-anak wanita), juga dari Departemen Justisi. Dahulu sekali pengawasan itu dilakukan oleh Inspektur Kepenjaraan (Inspektuer van het Gevangeniswezen) (sejak digabungkannya kemudian “Tucht en Opvudings-wezen” ini dengan urusan Kepenjaraan, kemudian juga urusan Reklassering dan urusan orang-orang miskin “Armwezen” nama dari urusan yang menangani semuanya itu menjadi “Gevangenis Tucht, Opvuding, Reclaseering & Armwezen” atau disingkat “Gevangeniswezen & TORA).
h. Pada tahun 1918 dibeberapa tempat dibentuk “Commissie van Bijstand” (Komisi Pemberian Bantuan) sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Reglemen Penjara Staatsblad 1917 no. 708 (Getichten Reglement) namun pada waktu-waktu permulaan itu kehadiran dari “Commissie van Bijstand” ini tidak banyak memperhatikan kegunaannya.

i. Sejak tahun 1919 diusahakan adanya pemisahan secara khusus antara terpidana seumur hidup dan yang berbahaya dengan terpidana lainnya. Untuk keperluan itu rumah penjara Mr. Cornelis (Bukit Duri) ditunjuk sebagai tempat penampungan bagi terpidana seumur hidup dan terpidana yang ‘sukar ditangani” (onhandelbaar).
Pada tahun 1920 diusulkan supaya pulau Krakatau dijadikan tempat untuk mendirikan penjara bagi terpidana seumur hidup. Sebelum itu tiga buah pulau lainnya pernah ditinjau untuk keperluan itu yakni : Nusa-Baron, Nusa Barung dan Prinsen-Eiland di Ujung Kulon, namun dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Walaupun pulau Krakatau disetujui akan tetapi kemudian rencananya dibatalkan.

j. Sejak tahun 1920 makanan bagi orang-orang terpenjara dimasak sendiri antara lain di Jakarta (Batavia), Cirebon, Jogyakarta, Medan dan di 8 pusat penampungan wilayah lainnya yang dikepalai oleh seorang Direktur. Sebelum itu makanan diterima jadi (dimasak) dari pemborong.

k. Dalam periode ini (tahun 1918) diadakan peraturan-peraturan khusus yang berhubungan dengan pelepasan terpidana, terutama dalam menjaga keterlambatan dalam pelepasannya. Sejak itu semua terpidana diatas satu tahun dicatat di Kantor Pusat secara terperinci (Staat van Wisselingen – Daftar Perubahan).

l. Dalam periode ini pernah diusulkan oleh “Hooggerecht-shof” (Mahkamah Agung) untuk mempergunakan “Mark System” (Sistem Pemberian angka/strip – Mrkenstelsel) seperi yang pernah terjadi di British-India. (Mark System ini berasal dari Australia, di penjara pulau Norfolk, semasa Captain Alexander Macconochie menjabat sebagai “Gubernur Penjara” (Governor- sama sengan Direktur) disana pada jaman pembuangan). “Marken Stalsel” yang diusulkan oleh Mahkamah Agung ini dimaksudkan untuk mengurangi kekeliruan-kekeliruan dalam rangka memberi remisi (pengurangan masa pidana) yang seringkali terjadi dan dalam rangka pemberian lepas bersyarat (V.I).
Usul penggunaan “Mark-System” ini tidak mendapat tanggapan yang positif, sehingga tidak lagi dilaksanakan.

m. Pada bulan Februari 1920 diusulkan oleh pimpinan urusan Kepenjaraan untuk diadakan bagian khusus dalam usaha-usaha mendirikan penjara-penjara baru (konstruksi dan disain-disain bangunan-bangunan) dengan menggunakan pula tenaga terpidana. Usul ini diterima oleh Direktur Justisi dengan syarat harus berkonsultasi dan bekerjasama dengan dinas BOW (sekarang PU – Pekerjaan Umum).
Sejak itu tenaga terpidana dipergunakan untuk membangun “pusat-pusat penampungan wilayah” yang baru-baru seperti : Cipinang, Pamekasan, Tanah Tinggi Tangerang, Mentok dan lain-lain tempat baik di Jawa maupun diluar Jawa.

n. Dalam periode ini pendidikan kepada terpidana hanya diberikan kepada terpidana golongan Eropa.

Dibandingkan dengan periode 1872 – 1905, dalam periode ini banyak terjadi perubahan,namun pengaruh dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya dan kesalahan-kesalahan yang terjadi semasa periode 1872 – 1905 tidak terhapus dengan adanya perubahan-perubahan itu.
Terutama sebelum berlakunya “wetbuk van Strafrecht 1918” (KUHP 1918) pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh para terpidana di perusahaan-perusahaan besar di pusat-pusat penampungan wilauah (gewestelijke cntralen) merupakan pekerjaan-pekerjaan yang berat-berat (zware arbeid) yang sifatnya tidak berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan berat sebelumnya pada jaman pidana kerja paksa. Melalui pekerjaan-pekerjaan yang berat-berat inilah sifat “membuat takut” (afschrikking) dari pidana ditonjolkan. Pembagian dan pemisahan terpidana menurut kategori memang diusahakan, namun klasifikasi sebagai cara dan sistem untuk mencapai tujuan akhir dari pidana, yakni mencegah terulangnya perbuatan jahat, sebagaimana digariskan dalam Reglemen Penjara Stbld. 1917 no. 708 (Gestichten Reglement Stbld. 1917 no. 708) tidak mendapat perhatian yang sungguh-sunggug. Penekanan terhadap perlunya klasifikasi ini dan usaha-usaha untuk melaksanakannya secara intensif baru dapat kita jumpai pada periode berikutnya, yakni periode “Strafgevangenis”.
BAB III

PELAKSANAAN PIDANA DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA “WETBUK VAN STRAFRECHT VOOR NEDERLANDSCH-INDIE” (KUHP 1918)
ZAMAN KEPENJARAAN HINDIA BELANDA


Pada Bab II dimuka telah digambarkan tentang adanya perubahan-perubahan dibidang pelaksanaan pidana kerja paksa menjelang lahirnya “Wetbuk van strafrecht voor Nederlandsch-Indie” 1918 dan bersamaan dengan itu “Gestichten Reglement (Stbl. 1917 no. 708) sebagai peraturan pelaksana.

Kalau sebelum 1 Januari 1918 masih berlaku dua jenis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, satu untuk orang-orang Indonesia dan Timur Asing dan satu lagi untuk orang-orang Eropa maka sejak 1 Januari 1918 hanya dikenal 1 jenis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni “Wetbuk van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie” yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi : “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Hindia-Belanda”.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini ditetapkan dengan “Koninklijk Besluit (Keputusan Kerajaan) tanggal 15 Oktober 1915 no. 33 dan baru ditetapkan berlakunya mulai tanggal 1 Januari 1918.

Bersamaan dengan tanggal berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu berlaku pula “Gesticten Teglement” yang ditetapkan dengan “Staatblad” (Lembaran Negara) tahun 1917 no. 708. Menyusul penetapan “Gestichten Reglement” itu, ditetapkan pula “Ordonnantie Voorwaardelijke Invrijheidstelling” (Ordonansi Pelepasan Bersyarat atau Ordonansi V.I) Staatsblad 1917 no. 749.

“Gestichten Reglement” kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan berbunyi : “Peraturan untuk Lembaga-Lembaga” akan tetapi nama Indonesia yang telah diberikan kepada “Gestichten Reglement” ini dan yang hingga sekarang lazim dipergunakan ialah : “Reglemen Penjara”.

Reglemen Penjara, Ordonansi V.I, dan juga Peraturan-Peraturan Kerumahtanggaan untuk berbagai rumah penjara (huishoudelijke Reglemen voor Gevangenissen) disusun dan dikonsepkan oleh Kantor Pusat Urusan Kepenjaraan (Hoofdkantoor van het Gevangeniswezen).

Dengan berlakunya “Reglemen Penjara” Staatblad 1917 no. 708 itu, maka “Reglement op de Orde en Tucht” (Reglemen Tata tertib) yang telah berlaku selama 45 tahun itu, tidak berlaku lagi.

Namun walaupun tanggal berlakunya “Wetbuk van Strafrecht” yang baru itu, berikut “Gestichten Reglement”nya, ditetapkan pada 1 Januari 1918, realisasi dari prinsip-prinsip yang terkandung di dalam pidana pirana pencabutan kemerdekaan, yang merupakan citra dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru ini, baru nampak kurang lebih 3 tahun kemudian, yankni setelah terjadi perubahan-perubahan yang radikal dalam urusan kepenjaraan.

Perubahan-perubahan yang radikal ini terjadi dengan menghapuskannya sistem “pemusatan penampungan wilayah” (Gewestelijke centralen) dengan “Centrale Gevangenissen”nya (penjara sentralnya) dan menggantikannya dengan sistem “Strafgevangenissen” (penjara-penjara yang khusus berfungsi sebagai sarana pelaksanaan pidana).

Dengan demikian maka hakekat dari pencabutan kemerdekaan bergerak yang abstrak itu sebagai pidana diwujudkan, yakni melalui suatu alat yang khusus dapat melakukan fungsi sebagai pencabut kemerdekaan yang abstrak itu yang sebetulnya sejak akhir abad XVIII di Eropa telah dinyatakan sebagai sanksi pidana. Alat itu ialah : bangunan penjara bersama peraturan-peraturannya. Konsekuensi dari adanya perubahan yang radikal ini ialah, bahwa untuk fungsi rampasan kemerdekaan yang bukan pidana harus diadakan sarana-saran fisik atau bangunan-bangunan tersendiri. Karena itu pula bersamaan dengan adanya sistem “Strafgevangenissen” ini, diadakan pula sistem “Huizen van Bewaring” (HvB) (Rumah Tahanan) yang fungsi utamanya ialah untuk menampung orang-orang yang belum dihukum/belum tentu dihukum, sambil menunggu keputusan tentang perkaranya (orang-orang tahanan) dan orang-orang lain yang sedikit banyak serupa dengan itu (sandera dan lain-lain).

Perubahan-perubahan sistem ini terjadi di bawah pimpinan yang enersik(energic) dari Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda Hijmans, yang paling banyak jasanya dalam sejarah perkembangan urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda.

Hijmans berusaha untuk menempatkan sistem kepanjaraan Hindia-Belanda sejajar dengan sistem kepenjaraan yang telah maju di negara-negara lain, khususnya di negeri Belanda sendiri.

Di bawah pimpinan Hijman ini pula pendidikan pertama untuk pegawai kepenjaraan diadakan baik untuk pegawai atasan maupun pegawai bawahan.

Dalam notanya yang panjang lebar tentang perbaikan urusan kepenjaraan tertanggal 10 September 1921 yang ditujukan kepada Direktur Justisi, Hijman membeberkan pandangannya tentang kebijaksanaan baru di bidang kepenjaraan yang perlu diambil dan yang pada pokoknya bertujuan “reformasi” terpidana (“perbaikan” terpidana). (vebetering). Perhatiannya yang khusus ditujukan kepada anak-anak terpidana dan kepada klasifikasi terpidana dewasa.

Dalam notanya itu ia mengetengahkan tentang sedikit sekali terdapatnya kesempatan untuk mengadakan perbaikan moral (zedelijke verbetering) bagi terpidana dalam lingkungan pusat-pusat penampungan wilayah (centralen) dan disimpulkan pula bahwa penempatan terpidana di dalam lingkungan semacam itu dapat menjuruskan terpidana ke jurang kehancurannya.

Peningkatan kejahatan yang makin terjadi pada waktu itu menurut pendapat Hijmans bukan semata-mata karena bertambahnya penduduk, keadaan ekonomi, pengaruh perang dunia dan peningkatan kegiatan di bidang penangkapan pelanggar hukum, akan tetapi sangat mungkin pula karena telah didirikannya “hoogeschoolen dermisdaad” (sekolah-sekolah tinggi kejahatan) (yang dimaksudkan oleh Hijmans ialah : penjara-penjara sentral.

Hijmans mengemukakan keinginannya untuk menghapuskan struktur dari sistem “penjara-penjara pusat” dan menggantikannya dengan struktur dari sistem “Strafgevangenis” (penjara-penjara untuk pelaksanaan pidana), dimana usaha-usaha klasifikasi secara intensif dapat dilaksanakan di “penjara-penjara sentral” yang menampung segala kategori terpidana dan juga menampung orang-orang tahanan dan orang-orang lainnya yang bukan terpidana.

Ia mencela adanya percampuran penampungan antara terpidana dan tahanan dan mengusulkan adanya tempat-tempat penampungan tersendiri bagi orang-orang tahanan dan lain-lain yang bukan terpidana yakni “Huizen van Bewaring” (rumah-rumah tahanan).

Terutama yang dicelanya pula adanya bagian-bagian khusus untuk anak-anak di dalam lingkungan “penjara-penjara sentral” untuk akan-anak di bawah umum 16 tahun, yang tempatnya seharusnya bukan disana melainkan di “rumah-rumah pendidikan untuk anak-anak”.
Pendirian rumah-rumah penjara khusus untuk tiap-tiap golongan terpidana, menurut Hijmans, lebih memungkinkan terlaksananya sistem klasifikasi seperti yang telah ditentukan dalam “Reglemen Penjara” Staatsblad 1917 no. 708, Bab VII pasal-pasal 49 dan seterusnya (Apa yang diinginkan oleh Hijmans ini pada dewasa ini lebih dikenal dengan “differensiasi” dari rumah-rumah penjara dalam rangka intensifikasi dan extensifikasi dari sistem klasifikasi).

Sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Hijmans maka pada tanggal 1 Agustus 1921 disetujui oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk mempergunakan bangunan penjara lama di Madiun sebagai “verbetering gevangenis” (rumah penjara untuk perbaikan) untuk anak-anak terpidana laki-laki di bawah unir 19 tahun. Dengan demikian maka “strafgevangenis” (penjara untuk pelaksanaan pidana) yang pertama untuk orang-orang Indonesia adalah “rumah penjara khusus untuk anak-anak di Madiun” yang terutama berfungsi sebagai “Verbeteringsgevangenis” (rumah penjara untuk perbaikan) (di Amerika Serikat lebih dikenal dengan nama “Reformatory”, seperti “Reformatory for Boys” di Elmira yang terkenal di seluruh dunia kepenjaraan; Zebulon R. Brukway sebagai pelopor pembangunannya).

Perlu diketahui pula bahwa Hijmans telah pernah mengunjungi rumah-rumah penjara di Amerika Serikat (selama cutinya) dan rumah-ruman penjara di Long-Bay dekat Sidney (Australia) serta beberapa penjara di Negara Belanda sendiri.

Di “verbeteringsgevangenis” untuk anak-anak di Madiun, anak-anak terpidana mendapat pendidikan vak pertukangan kayu, pandai besi, pembuatan barang-barang dari kaleng dan mendapat pula pendidikan membaca dan menulis “Verbetering-gevangenis” di Madiun ini mempergunakan tenaga guru sukarela dari sekolah Pendidikan guru (Opleidingschool) dan “Normaal School” (Sekolah Pendidikan Guru Biasa) di Madiun, yang menyediakan tenaganya untuk mengajar secara sukarela. “Verbeteringsgevangenis” di Madiun mendapat pula bantuan dari Departemen O & E (Departemen Pendidikan) pada tahun 1922. karena isi dari rumah penjara khusus untuk anak-anak di Madiun bertambah lama bertambah banyak, maka diusulkan untuk mendirikan bangunan yang baru yang khusus dapat memenuhi syarat-syarat yang diperlukan bagi perbaikan anak-anak terpidana.

Usul ini disetujui pula oleh Pemerintah Hindia Belanda dan lokasi dari “rumah penjara perbaikan” yang baru itu ditetapkan di Tanah Tinggi, Tangerang.

Rumah Penjara khusus untuk anak-anak di Tanah Tinggi Tangerang mulai dibangun pada tanggal 28 Desember 1923 dan berbentuk sistem bangunan “kipas” (Waaier stelsel). Pada tanggal 15 Nopember 1927 “Rumah Penjara Khusus” ini, yang termasuk yang termodern di Indonesia pada zamannya (mungkin bahkan termodern di Asia Tenggara) dipergunakan sepenuhnya. Dengan adanya “rumah penjara khusus untuk anak-anak” di Madiun sejak Maret 1923 dikosongkan dan dipergunakan untuk orang-orang dewasa. Sementara bangunan “rumah penjara untuk anak-anak” (Strafgevangenis voor Jeugdige Veroordeelden) di Tanah Tinggi ini belum selesai, anak-anak terpidana pindahan dari Madiun ditempatkan sementara di bangunan gudang beras di Tanah Tinggi yang telah ada sebelumnya.

Dalam rencana untuk mendirikan “rumah penjara khusus untuk anak-anak di Tanah Tinggi, selain bangunan induknya direncanakan pula pendirian “Pavilyun-pavilyun “Satellit” ini tidak pernah menjadi kenyataan.

Sebelum “rumah penjara khusus untuk anak-anak” di Tanah Tinggi Tangerang selesai dibangun, telah dibangun pula di Tangerang “rumah pendidikan untuk anak-anak laki-laki” (Opvudings gesticht voor jongens) dan (dimulai pada tahun 1925). Kedua bangunan ini berada dibawah wewenang “Tucht & Opvudingswezen” (Urusan Pendidikan Paksa untuk anak-anak).
Dimaksudkan untuk selanjutnya menjadikan bentuk dan sistem bangunan dari “rumah penjara khusus untuk anak-anak” di Tanah Tinggi Tangerang sebagai “prototype” “Strafge-vangenis” baik yang akan didirikan untuk terpidana anak-anak maupun terpidana dewasa.

Pembangunan “rumah penjara khusus untuk anak-anak” di Tanah Tinggi, Tangerang dikerjakan seluruhnya oleh terpidana (sebagian besar terpidana anak-anak dengan dibantu oleh beberapa terpidana dewasa dari “rumah penjara” Cipinang).

Diantara pendapat-pendapat Hijmans yang maju yang tercantum dalam notanya yang terkenal itu ialah :

a. Tentang “indeterminate sentence” (putusan pidana yang tidak ditentukan lamanya) untuk perampok-perampok recidivis atau setidak-tidaknya “preventive detention” bagi mereka seperti halnya di Australia dan di Inggris.
(penutupan susulan sesudah habis masa pidananya – extended confinement).

b. “voorwaardelijke buiten vervolging stellen” untuk anak-anak (ditempatkan diluar penuntutan dengan syarat) (semacam probation “percobaan) dan pendahuluan penyelesaian perkara bagi anak-anak.

c. Perluasan wewenang hakim dalam mempergunakan pasal 20 “Wetbuk van Strafrecht” dengan memperluas pengetrapannya perlu (landrechter veroordeelden);

d. Mengadakan jenis pidana baru dengan jalan mewajibkan hakim mengadakan pilihan dalam hal-hal yang bersangkutan dengan penjatuhan pidana pencabutan kemerdekaan jangka pendek atau penjatuhan pidana denda dengan : keharusan hadir bagi yang bersangkutan, beberapa kali seminggu selama 1 tahun, untuk dipekerjakan pada pekerjaan-pekerjaan umum. (dalam hal yang bersangkutan tidak memenuhi kewajiban untuk hadir ini dirubah menjadi pidana penjara selama 3 tahun).

Selain dari pemikiran-pemikiran tersebut diatas disarankan juga untuk dipertimbangkan sejauhmana “vrijwillige verbanning mengizin” (pembuangan/pengungsian secara sukarela dengan disertai keluarga) dapat dijadikan salah satu syarat dalam hal pemberian “pidana bersyarat” (V.V) kepada “penjahat karena kebiasaan” (gewoonte misdadigers) dan kepada “penjahat karena hawa nafsu” (pasioneele misdadigers).

Perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang terjadi dalam periode Hijmans ini antara lain ialah :

1. Penghapusan nama “Centrale Gevangenis” (rumah penjara pidana – “rumah penjara untuk pelaksanaan pidana”).

2. Penyesuaian bentuk-bentuk bangunan dari “Centrale Gevangenis” sebagai “Strafgevangenis” antara lain Cipinang, dimana diadakan percobaan untuk penempatan terpidana dalam kamar perorangan dengan jalan membatasi ruang-ruang tidur yang besar menjadi “slaap-kooien” (krangkengan) satu dan lain dalam rangka pencegahan homosex.

3. Pendirian “Strafgevangenis-Strafgevangenis” yang baru, dimana diusahakan sejauh mungkin adanya kamar-kamar tidur untuk perorangan (individueele cellen) antara lain “rumah penjara untuk anak-anak di Pamekasan (1923), (semula untuk anak-anak terpidana dari daerah Jawa Timur, kemudian untuk tangkapan politik dan seterusnya untuk terpidana dewasa); penyesuaian Benteng Willem I (Fort Willem I) di Ambarawa (Semarang) (semula sebagai “rumah penjara untuk anak-anak” di Jawa Tengah kemudian untuk tangkapan politik dan seterusnya untuk terpidana dewasa) (1927); “rumah penjara khusus untuk penjara seumur hidup di Muntok (1924); “rumah penjara khusus untuk orang-orang Eropa dan orang-orang Indonesia terpelajar” di Sukamiskin, Bandung (1928); “Strafkwartier” Sungai Durian untuk terpidana yang dipekerjakan di tambang batu bara Ombilin (1926); “rumah penjara khusus untuk anak-anak” dengan mengadakan perbaikan terhadap bekas tangsi Artillerie di Banyubiru, sebagai pengganti Ambarawa (1928).

4. Pembentukan “Commissie van Bijstand” (Komisi pemberian Bantuan) ditambah antara lain untuk Makassar (Ujung Pandang) dan Nusakambangan (1922) Cirebon, Kediri dan Pulau Laut (1923) Medan (1924) serta untuk Bulu, Mlaten, Madiun, Jogyakarta, Pamekasan, Cipinang, Glodok, Malang, Tanah Tinggi dan Sragen (1927).

5. Pengadaan “bagian Psychopat” di Cipinang dan Glodok.

6. Penggunaan sebagian Glodok dan Surabaya sebagai “Clearing House” (Gevangenis voor Doortrekkenden) (1925).

7. Pendirian menara-menara penjagaan di sudut-sudut tembok lingkar (terutama untuk menghadapi serangan dari luar pada waktu itu) di Cirebon, Pekalongan, Mlaten, Madiun, Jogyakarta, Surabaya, Malang, Pamekasan (1926) menurut pola Cipinang, yang didirikan sebelumnya.

8. Pemisahan administrasi “Stragevangenis” dan administrasi “Huis van Bewaring” antara lain di Cipinang yang dibagi menjadi dua buah administrasi (1927) dan di lain-lain bekas “Centrale Gevangenis”.

9. Penyesuaian penjara setempat (juga beberapa “penjara sentral”) sebagai “Huis van Bewaring” (Rumah Tahanan) dan pendirian “H.v.B” (RT) baru di Jakarta dan Surabaya (1928); sebelum itu telah pula dibangun “H.v.B-H.v.B type baru di Martapura (Palembang), Tabanan (Bali), Klungkung (Bali), Sekayu (Palembang), Balige (Tapanuli) Lam-Meulo (Aceh) dan Saumlaki (Ambon) dan yang cukup besar di Binjei dan di Tebing Tinggi (Sumatera).

10. Pembaharuan dan penyempurnaan policy dalam memperlakukan terpidana antara lain berupa :
realisasi klasifikasi, pengetrapan pasal 26, “Wetbuk van Strafrecht” (KUHP) dan peluasannya.

11. Percobaf “Osborn-system” (sistem pengurusan sendiri oleh terpidana) (self government) di “rumah penjara untuk orang-orang Eropa” di Semarang.

12. Adanya “institu”, “Voorman” (Pemuka Terpidana) yang diatur menurut surat edaran Kepala Urusan Kepenjaraan tanggal 25 Juli 1922 no. G 131/25/18. “Voorman” ini hanya ditugaskan untuk keperluan penjagaan di dalam lingkungan tembok kecuali di Nusakambangan, Sawahlunto pada tambang-tambang batu bara dan di Jember Barat Daya untuk proyek irigasi, dimana mereka juga dipekerjakan diluar tembok.
Pengangkatan “Voorman” ini hanya diperkenankan di rumah-rumah penjara yang dikepalai oleh seorang Direktur.

13. Sejak tahun 1924 di “rumah penjara untuk orang-orang Eropa” di Semarang diadakan “Koran Penjara” (gevangenis courant; prison nespapaer).

14. Untuk keperluan transport terpidana dan tahanan di dalam kota diadakan “cel wagen” (van cellen voorziene gevangenisauto’s), yang mula-mula disediakan untuk Surabaya, Jakarta, Jogyakarta dan Semarang dan kemudian ditambah jumlahnya untuk Bandung, Malang, Padang, Medan dan Ujungpandang (1926) dan untuk tempat-tempat lainnya yang dianggap perlu. Transport melalui Kereta Api di Jawa dilakukan dengan mempergunakan “gevangenisspoorwagens” (wagon Kereta Api Khusus).

15. Kejadian lain dalam periode ini ialah yang berkaitan dengan pasal 20 KUHP, bersangkutan dengan pidana yang hanya dapat mewajibkan terpidana bekerja dipenjara pada siang hari dan sehabisnya bekerja bebas berada diluar penjara, yang semula hanya berlaku bagi terpidana kurungan dengan lama pidana tidak lebih dari 6 hari, akan tetapi dalam periode ini dirubah dan berlaku bagi semua terpidana baik dengan pidana penjara maupun dengan pidana kurungan yang lamanya tidak lebih dari satu bulan. (Staatsblad 1925 No. 28).

16. Dalam periode ini pula terjadi pelaksanaan pemberian “lepas bersyarat” )V.I) yang pertama 3 tahun setelah W.U. SNI berlaku tanggal 1 Januari 1918.

Dalam periode ini, melalui “Gouveernements Besluit” (Keputusan Pemerintah) tanggal 5 Agustus 1927 no. 19 dibentuk pula “Centraal College voor de Reclasseering” (Badan Pusat Reclasseering) yang terdiri antara lain dari : Ketua (Prof. Mr. Schepper, Guru Besar dari Rechts Hooge School – Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta) dan anggota-anggota (antara lain Hijmans, Kepala Urusan Kepenjaraan sebagai anggota ex-officio, serta beberapa orang tekemuka yang juga anggota “Volksraad” dan lain-lain orang terkemuka, diantaranya Wakil Ketua Mahkamah Agung).

Tugas pokok dari “Badan Pusat Reklassering” ini ialah memberi advies kepada Direktur Justisi tentang segala masalah yang prinsipil dan lain-lain yang penting yang berhubungan dengan Reklassering.

Sidang pertama dari “Badan Pusat Reklassering” ini diadakan pada tanggal 9 Agustus 1927 malam di Gedung “Volksraad” (Jl. Pejambon). “Dalam rangka perkembangan reklassering di Indonesia banyak dari golongan orang-orang Eropa (untuk orang-orang Eropa) dari golongan Kristen (Leger des Heils) “Bala Keselamatan” dari golongan-golongan agama Kristen (Protestan, Katolik) dari golongan Tiong Hwa, dari golongan Jahudi. Dari golongan Indonesia tercatat beberapa perkumpulan yang ikut aktif di bidang reklassering antara lain Budi Utomo, Pasundan dan Muhammadiyah.

Untuk keperluan reklasering ini pula diangkat “ambtenar der reklasering” (Pejabat Reklasering), yang pada tahun 1928 baru ada satu, yakni di Jawa Barat.

Pada tahun 1927 disetujui pula pengangkatan seorang “inspektur untuk reklassering”.

Dalam periode Hijmans ini urusan Kepenjaraan Hindia Belanda mengirimkan pula wakilnya ke Kongres Internasional Penitentiair yang ke 9 di London (Agustus 1925) dan setelah itu tiap tahun memberi sumbangan berupa uang sebanyak f.500-, (lima ratus rupiah Belanda) kepada Sekretariatnya. Sumbangan ini dimaksudkan sebagai anggaran pengeluaran neggara dari Urusan Kepenjaraan.

Kejadian besar yang timbul dalam periode ini ialah terjadinya pemberontakan besar-besaran dari bangsa Indonesia terhadap pemerintah penjajahan Belanda, tepatnya pada bulan Nopember 1926.

Pemberontakan ini oleh pemeintah Hindia Belnda dinamakan “Pemberontakan Komunis”.

Dengan terjadinya penangkapan besar-besaran terhadap putra-putri Indonesia yang memberontak melawan penjajahan pada waktu itu rumah-rumah penjara menjadi penuh sesak dengan tengkapan-tangkapan politik, sehingga urusan kepanjaraan dihadapkan kepada suatu dilemma kepenuhan penghuni (overcrowding) cita-cita Hijmans untuk mengembangkan suatu urusan kepenjaraan yang cukup bermutu menjadi terhambat dan tidak jarang pula terjadi huru-hara di dalam penjara-penjara pada waktu itu antara lain di Cipinang pada bulan Juli 1926 dimana para tangkapan politik dengan suara keras menyanyikan lagu “Internasionale” dan kemudian mogok makan. Kejadian ini dapat ditentramkan. Penjara-penjara “Strafgevangenis” yang baru didirikan itu berfungsi sebagai “verbeterings-gevangenis” (rumah penjara untuk perbaikan) harus mengorbankan tujuan semulanya untuk kemudian dipergunakan sebagai tempat-tempat penampungan tangkapan-tangkapan politik (antara lain Pamekasan dan Ambarawa yang semula untuk anak-anak, dipergunakan untuk menampung tangkapan-tangkapan politik, demikian pula “Strafgevangenis-Strafgevangenis” lainnya seperti Cipinang, Glodok, Boyolali, Surakarta, rumah-rumah penjara kecil d daerah Banten, Madiun, dan lain-lain).

Sebagai pengganti sementara dari Ambarawa (Fort Willem I) maka dibangun sebagai “Strafgevangenis” untuk anak-anak laki-laki terpidana : bekas tangsi artilerrie di Banyubiru (Semarang) begitu pula benteng tua Boyolali dipergunakan untuk menampung terpidana biasa. Di Nusakambangan didirikan penjara khusus untuk tangkapan-tangkapan politik, yakni “rumah penjara besi”, yang belum selesai dibangun.

Pada waktu itu tidak jarang pula terjadi serangan-serangan terhadap pegawai penjara.

Pada tanggal 12 Nopember 1926 terjadi penyerbuan terhadap rumah penjara Glodok.

Sejak itu pula dibeberapa tempat dibangun “menara-menara penjagaan” (Wacht torentjes) yang terutama dimaksudkan untuk menghadapi serangan-serangan, baik dari luar maupun dari dalam.

Disinilah dapat disaksikan betapa suatu cita-cita kepenjaraan yang baik dan yang sedang berkembang dalam pelaksanaannya pada suatu ketika, dengan sekonyong-konyong, harus dikesampingkan untuk memberi tempat kepada suatu kebutuhan lain yang mendesak dan yang seringkali menimbulkan antagonisme.
Dapat ditarik pelajaran sejarah betapa sulitnya posisi dari urusan kepenjaraan dan para petugaasnya menghadapi saat-saat seperti ini. Dimanapun dan hingga kapanpun urusan kepenjaraan akan selalu dihadapkan kepada momentum-momentum yang antagonistis : di satu pihak harus berperikemanusiaan, di lain pihak harus meninggalkan perikemanusiaan.

Inilah yang dapat dikatakan suatu “uneasy compromise”, suatu kompromis yang tidak pernah tenang, selalu goyang, atau seperti yang apa dikatakan oleh John Conrad, seorang ahli penologi pada akhir abad XX : suatu “irrational equilibrium”.

Kebijaksanaan dalam periode menjelang berkobarnya perang dunia ke II secara prinsipil tidak berbeda dengan policy yang telah diletakkan dasar-dasarnya dalam periode Hijmans.

Menjelang pecahnya perang dengan Jepang dengan “Asia Timur Raya”nya penjagaan-penjagaan di penjara-penjara yang tadinya dilakukan oleh militer diganti dengan tenaga pegawai kepanjaraan sendiri.

Terlepas dari pertanyaan siapa yang sesungguhnya keluar sebagai pemenang dalam perang “Asia Timur Raya” atau perang dunia ke II dalam keseluruhannya, bagi urusan kepenjaraan hanya ada satu pertanyaan yang belum terjawab : Dapatkan sistem “reformasi” (atau “sistem rehabilitasi”) yang di indonesia pernah dipelopori oleh ahli Kepenjaraan Belanda, kemudian diteorikan oleh ahli kepenjaraan Jepang dan sesudah itu pernah diusahakan oleh para praktisi kepenjaraan Indonesia mecapai tujuan yang dikehendaki dalam rangka pencegahan dan pengurangan kejahatan?.
PELAKSANAAN PIDANA DI INDONESIA DALAM PERIODE
PENDUDUKAN BALATENTARA JEPANG (1942 - 1945)


Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang urusan kepenjaraan di indonesia pada periode pendudukan Tentara Jepang ini.

Tata laksana kepanjaraan pada zaman pendudukan Jepang diatur sebagai berikut :

a. Kantor Pusat Kepenjaraan di Jakarta, yang disebut “Gyokeyka” dikepalai oleh seorang Jepang (Gyokey kacho).

b. Daerah Kepanjaraan dipimpin oleh seorang Jepang, disebut “Tosei Keimukantotukan” yang mengawasi semua penjara-penjara yang ada dalam daerah Karesidenan.

c. Penjara-penjara yang ada di pusat (Ibukota) Karesidenan masing-masing dikepalai oleh seorang Jepang, yang diberi nama “Keimukantotukan”. “Keimukantotukan” dibantu oleh dua atau tiga orang Jepang dengan sebutan “Keimukantotukan-Ho”. Di rumah-rumah penjara yang ada perusahaannya terdapat pula seorang Jepang sebagai pemimpin perusahaan dengan dibantu oleh seorang atau dua orang Jepang lainnya.

d. Di tiap-tiap rumah penjara ada seorang bangsa Indonesia yang di bawah pengawasan “Keimukantotukan”, berfungsi sebagai “pengurus” penjara, dalam bahasa Jepang disebut “Keimushocho”.

Struktur organisasi kepenjaraan pada zaman kedudukan Jepang ini berlangsung terus, juga sesudah pengambilan alih kekuasaan oleh bangsa Indonesia dari tangan pemerintahan tentara Jepang.

Dalam theori, perlakuan terpidana harus berdasarkan “reformasi atau rehabilitasi” namun dalam kenyataan lebih merupakan “exploitasi atas manusia”. Yang diutamakan ialah hasil dari perusahaan-perusahaan penjara, khususnya untuk keperluan peperangan.

Perusahaan-perusahaan penjara dengan lingkungan fisiknya tidak bedanya dengan medan pertahanan perang; tiap-tiap unit di dalam tempat-tempat pekerjaan diberi timbunan-timbunan tanah sebagai perlindungan terhadap serangan udara. Pekerjaan-pekerjaan dilakukan siang dan malam.

Barang-barang yang dihasilkan antara lain ialah : Kain layar (Sragen), Kain selimut dan bahan pakaian (Cirebon, Sragen), Sepatu tentara (Jogyakarta), Peti-peti peluru dan peti-peti pakaian (Cipinang, Surabaya, dll) bahkan juga dibuat pedang-pedang samurai (Cipinang), antara lain untuk keperluan pendidikan Tentara “PETA” (Pembela Tanah Air) dan alat-alat kedokteran seperti “stethoscope”, “Pincette-pincette” dan lain-lain (Cipinang).

Dalam rangka produksi bahan makanan diberbagai tempat didirikan penjara-penjara pertanian antara lain (Sengguruh di Malang, bekas lapangan latihan menembak tentara Belanda, dan Gunung Klotok di Kediri, juga bekas latihan menembak dari tentara Belanda).

Sebagian dari penghuni rumah penjara Cipinang dikerahkan untuk pembuatan kapal-kapal/skoci-skoci pendarat dari kayu jati guna keperluan perang. Untuk keperluan ini kurang lebih dikerahkan 500 orang dari rumah penjara Cipinang yang ditampung di Tanjung Priok. Banyak sekali diantara mereka yang meninggal dunia terutama karena malaria.

Di Tanjung Priok sendiri, di tengah-tengah kesibukan pembuatan skoci-skoci pendarat, setiap hari terlihat beberapa orang “romusya” (kuli) yang menunggu pemberangkatannya ke luar negeri (Birma) berjatuhan mati di kali Ciliwung, kebanyakan karena “busung lapar” atau serangan malaria”.

Keadaan kesehatan terpidana pada umumnya sangat menyedihkan. Rata-rata 25 orang terpidana sehari (sedikit-dikitnya) meninggal dunia di rumah penjara Cipinang (pada tahun 1944) karena disentri dan malaria, sehingga pada suatu ketika jalanan yang menuju ke Rumah Sakit Penjara Cipinang penuh dengan kotoran manusia.

Obat-obatan tidak ada, yang ada hanya “tata kina” yang langsung dibuat dari kulit pohon kina dan inipun persediaannya sangat sedikit. Untuk pengobatan disentri dipergunakan obat-obat tradisionil (kunyit, kulit pohon jambu, dll).

Keadaan makanan pun sangat menyedihkan. Sebagian terpidana yang berkebangsaan Belanda dan diantaranya terdapat sejumlah doter-dokter, mengadakan perobaan di Cipinang untuk mengolah “bekicot” (siput) sebagai tambahan makanan. Percobaan ini berhasil dan hampir setiap hari di rumah sakit di rumah penjara Cipinang terlihat adanya pengolahan “bekicot” yang banyak terdapat disekitar halaman luar dari rumah penjara Cipinang.

Di beberapa rumah penjara antara lain di Cipinang masih dipergunakan tenaga pegawai yang berkebangsaan Belanda.

Kejadian yang patut di catat dalam periode ini ialah terjadinya penahanan atas bekas anggota-anggota tentara “PETA” yang telah memberontak melawan tentara Jepang di Blitar menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Bekas anggota tentara “PETA” ini dalam jumlah yang cukup besar ditaha di rumah penjara Cipinang.

Atas kebijaksanaan seorang petugas penjara yang berkebangsaan Indonesia mereka dipekerjakan sebagai tamping atau sebagai pelatih gerak badan yang tiap pagi diadakan bagi terpidana. Dengan tuduhan mempersiapkan pemberontakan petugas tersebut dipindahkan dari Cipinang. Tuduhan tersebut datang dari pegawai rumah penjara Cipinang yang berkebangsaan Belanda.

Selama periode pendudukan tentara Jepang telah diadakan pula pendidikan bagi petugas-petugas kepenjaraan yang berbangsa Indonesia yakni : pertama untuk para “Keimushocho” (Pengurus Penjara) dalam tahun 1943 selama ± 1½ bulan (di Jakarta).
Kedua untuk pegawai-pegawai baru sebanyak 100 orang dalam tahun 1943 pula selama 4 bulan (di Jakarta).
Ketiga, bersama-sama dengan calon-calon pegawai Tinggi Kehakiman lainnya (Pengadilan, Kejaksaan dan Kepenjaraan) pada tahun 1944 selama 1 tahun.
Keempat, pendidikan untuk pegawai menengah kepenjaraan selama 6 bulan pada tahun 1945.

Selama periode ini urusan kepenjaraan dikepalai oleh Adzuma Konihiko, seorang ahli kepenjaraan lulusan Universitas di Jepang yang sempat menulis buku tentang kepenjaraan, khususnya kepenjaraan Jepang, dalam bahasan Indonesia. Bukunya yang berjudul “Semangat Nippon dan Tjita-Tjita Urusan Penjara di Kerajaan Dai Nippon” dipergunakan sebagai “textbook” untuk keperluan kursus-kursus tersebut dimuka antara lain Kursus Pegawai Tinggi Kehakiman.

Bahwa dalam theorie para ahli kepanjaraan Jepang termasuk yang maju di bidang perlakuan terhadap pelanggar hukum dapat dibaca dari kata-kata penutup yang oleh Adzuma Konihito dicantumkan dalam bukunya sebagai berikut : “Dahulu Pemerintah me banjangka bahwa ia sudah tjukup memenuhi kewajibannya kepada masjarakat, jikalau ia sudah menangkap si penjahat dan memasukkan mereka dalam penjara. Akan tetapi sekarang orang insjaf bahwa dengan berlaku begitu saja kewajiban negeri belum habis, melainkan pada waktu itu harus baru mulai. Kalau negeri menangkap sesuatu orang dan memenjarakannja, negeri itu harus menjunjung tanggungan yangberat, jaitu tanggungan supaja mengurus orang-orang terpidana dengan jalan patut dan mendidik mereka pula.

Meskipun si penjahat sudah melanggar larangan undang-undang, ia tidak kehilangan haknya selaku manusia. Jikalau orang hukuman itu, sesudahnya dilepaskan sebab lamanya masa hukuman habis, kurang sanggup akan mengerjakan kewajibannya selaku anggota masjarakat, maka tidak boleh dibilang bahwa pemerintah bukan saja tidak memenuhi tanggungannya terhadap masjarakat melainkan juga terhadap orang hukuman sendiri. Pemerintah wajib memperbaiki ornag-orang hukuman baik dalam rochani maupun dalam masjarakat, kalau mereka bisa diharap akan mungkin diperbaiki. Itu sebabnya harus dipakai akal-akal yangditujukan kearah perbaikan menurut umur dan keadaan sipenjahat. Hanya dengan jalan demikian, negara bisa memenuhi seluruh kewajibannya guna melindungi anak-anak negeri terhadap serangan kepada badan dan harta (Semangat Nippon, halaman 174).

Namun dalam kenyataannya perlakuan terhadap terpidana bangsa Indonesia selama periode pendudukan tentara Jepang merupakan lembaran sejarah yang hitam dari sejarah kepenjaraan di Indonesia, sama halnya dengan zaman pidana kerja paksa pada abad XIX.

Sesudah zaman penjajahan berakhir yang ditinggalkan hanya puing-puing berserakan, sisa-sisa dari zaman lampau, yang berkecenderungan untuk menetap, berkepanjangan menduduki tempatnya dalam status yang ritualistis.
SEJARAH PEMASYARAKATAN

Bagian ke II

Kepenjaraan Republik Indonesia
Perjuangan Kemerdekaan dan Karakterisasi Kepenjaraan Nasional
(1945 – 1963)

BAB I

PERIODE KEPENJARAAN REPUBLIK INDONESIA KESATU
(1945 - 1950)


Ada dua tahap yang dapat dikenal dalam periode ini :

Pertama : tahap perebutan kekuasaan dari tangan pemerintahan tentara Jepang dan perlawanan terhadap usaha-usaha penguasaan kembali oleh Belanda;

Kedua : tahap mempertahankan existensi Republik Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tahap pertama berlangsung dari tahun 1945 hungga tahun 1948.

Kejadian-kejadian yang penting dalam periode tahap pertama ini terutama berkisar pada pengambilan alih kekuasaan dari tangan pemerintah tentara Jepang, sambil sekaligus meletakkan dasar-dasar pokok pertama bagi penyusunan Jawatan Kepenjaraan Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Pada bagian ke satu dari Sejarah Pemasyarakatan telah disinggung tentang adanya beberapa kejadian menjelang Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, antara lain mengenai adanya pemberontakan di Blitar, Jawa Timur yang dilakukan oleh para anggota tentara “Pembela Tanah Air” (PETA) terhadap tentara Jepang, dan yang mengakibatkan ditahannya beberapa anggota “PETA” di rumah penjara Cipinang.

Sesaat setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan, surat-surat selebaran yang distensil dan berisikan text Proklamasi tersebar di segala pelosok di Jakarta, tidak terkecuali di rumah penjara Cipinang. Pegawai yang berkebangsaan Indonesia yang tertinggi kedudukannya di Cipinang pada waktu itu adalah seorang bekas anggota “Volksraad”, yang di Cipinang berfungsi sebagai Kepala Penjara (Keimushocho) dibawah pengawasan seorang bangsa Jepang.

Usaha-usaha dari beberapa pegawai yang terkemuka lainnya di rumah penjara Cipinang untuk mengambil alih kekuasaan sesuai dengan apa yang tercantum dalam text Proklamasi tidak berhasil karena ditolak oleh Kepala Penjara Cipinang bekas anggota “Volsraad” itu.

Perlu dicatat bahwa pada saat-saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, penguasa bangsa Jepang di rumah penjara Cipinang banyak memberi ijin untuk mengeluarkan bahan-bahan pakaian dari gudang persediaan rumah penjara, sesuai dengan apa yang tercantum dalam text Proklamasi, beberapa pegawai Indonesia (diantaranya Kepala Keamanan Penjara Cipinang) menghentikan pengeluaran-pengeluaran lebih lanjut dari bahan-bahan pakaian dari gudang persediaan tersebut dan sejak itu semua kekayaan dianggap sebagai milik Republik Indonesia.

Tindakan patriotis ini mendapat perlawanan dari pegawai penjara yang berkebangsaan Belanda (lihat bab IV bagian ke satu), yang mendapat perlindungan dari Kepala Penjara.

Sementara itu dibeberapa tempat lainnya di Jawa dan Madura terjadi perebutan kekuasaan atas penjara-penjara dari tangan penguasa Jepang. Dimana kekuasaan telah direbut dari pemerintahan Jepang, disana terdapat pejuang-pejuang yang melanjutkan pengusiran terhadap sisa-sisa tentara Jepang.

Diantara pejuang-pejuang ini terdapat pula terpidana-terpidana yang tidak sedikit jumlahnya dan yang berasal dari rumah-rumah penjara yang telah dibebaskan. Tercatat dalam perjuangan fisik melawan sisa-sisa tentara Jepang dan kemudian melawan tentara Inggris-Belanda (NICA) dalam periode ini antara lain:

Pertempuran di front Mranggen (Semarang) dimana sepasukan orang-orang terpidana dari rumah penjara Sragen, bersama-sama dengan Laskar Rakyat, mengadakan perlawanan terhadap sisa-sisa kekuatan Jepang yang bekerjasama dengan tentara Belanca (NICA).
Sebagian dari petugas kepenjaraan di Ambarawa dan beberapa orang terpidana ikut pula berjuang di front Ambarawa, yang kemudian berhasil direbut oleh Bapak Sudirman (almarhum Jenderal Panglima Sudirman).

Di front Surabaya terdapat pula banyak narapidana yang mendarmabaktikan dirinya untuk perjuangan melawan tentara Inggris-Belanda (Nica) antara lain dari Kalisosok (Surabaya) dan dari Sragen (Solo).

Perlu dicatat bahwa dalam pertempuran di front Mranggen (Semarang) telah gugur 3 orang terpidana asal Sragen. Kuburan dari 3 orang pahlawan ini masih dapat disaksikan di Taman Makam Pahlawan di Sragen dan di Solo. Pada batu-batu nisan mereka selain namanya, hanya ditulis kata-kata:
“Pejuang” ......”Gugur ...... “. Tidak banyak yang mengetahui bahwa yang bersemayam disana adalah seorang pahlawan, bekas terpidana yang pagi-pagi sekali telah mengorbankan jiwanya, demi tegaknya Tanah Air yang dicintainya, Tanah Air Indonesia, Republik Proklamasi 1945.
Suatu kejadian sejarah yang membuktikan bahwa didalam lubuk hati seorang terpidana terdapat juga budi yang luhur, yang tidak berbeda dengan orang-orang yang tidak terpidana.
Dibidang konsolidasi Pemerintahan Republik Indonesia sejak permulaan periode ini telah diletakkan pula dasar-dasar pokok bagi penyusunan Kepenjaraan Republik Indonesia.

Surat edaran yang pertama kali dikeluarkan dalam sejarah Kepenjaraan Republik Indonesia, ialah surat edaran yang dikeluarkan di Jakarta tertanggal 10 Oktober 1945 no. G.8/588 oleh Menteri Kehakiman R.I yang pertama, Professor Mr. Dr. Supomo. Surat edaran pertama ini memuat hal-hal sebagai berikut:
1. bahwa semua penjara telah dikuasai oleh Republik Indonesia;

2. bahwa perintah-perintah yang diturut hanya perintah-perintah dari Menteri Kehakiman R.I., atau dari Kepala Bahagian Urusan Penjara Mr. R.P Notosusanto yang telah ditunjuk sementara untuk itu;

3. bahwa pengurusan atas penjara-penjara setelah dikuasai oleh Republik Indonesia harus baik untuk memperoleh nama baik pula dari dunia internasional;

4. bahwa yang pertama-tama harus diperhatikan dan diusahakan ialah kesehatan orang-orang terpenjara; apa yang telah terjadi dimasa sebelumnya (Jepang) jangan sampai terulang; khususnya makanan bagi orang-orang terpenjara harus dicukupi;

5. pekerjaan bagi orang-orang terpenjara harus diperhatikan antara lain sebagai sarana memperbaiki tabiatnya; perhatian khusus diminta untuk usaha-usaha dibidang pertanian guna mencukupi makanan orang-orang terpenjara;

6. akhirnya dipesankan supaya dalam hal memperlakukan orang-orang terpenjara selalu mengingat perikemanusiaan dan keadilan, tanpa pandang bulu (apakah Indonesia, Eropa, Tionghoa, dll).

Setelah itu dalam tahun 1945 berturut-turut masih dikeluarkan lagi dua surat edaran yang menyangkut tata perlakuan terhadap orang-orang terpenjara, yang pada pokoknya menekankan kepada pemeliharaan kesehatan, usaha-usaha pendidikan antara lain (pemberantasan buta huruf), pemberian pekerjaan yang bersifat mendidik, dan larangan untuk mengadakan diskriminasi. Semua surat edaran pada tahun 1945 dikeluarkan langsung oleh Menteri Kehakiman.

Pada permulaan tahun 1946 (26 Januari 1946) oleh “Kepala Bagian Urusan Penjara” dikeluarkan surat edaran yang berisi petunjuk-petunjuk tentang “Kepenjaraan yang diurus oleh negara Republik Indonesia”. Dalam surat edaran itu disebut sebagai pedoman “Reglemen Penjara” (Staatsblad 1917 no.708) yang hingga saat ini masih dianggap berlaku. Surat edaran ini dikeluarkan menjelang diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 25 Februari 1946 no.G.8/230, mengenai “peraturan tentang hal yang mengurus dan mengawasi penjara-penjara” yang mulai berlaku pada tanggal 15 Maret 1946.

Surat Keputusan Menteri Kehakiman ini tidak merubah Reglemen Penjara Staatsblad 1917 no.708 dalam keseluruhannya, melainkan terbatas pada hal-hal yang bersangkutan dengan pengurusan dan pengawasan atas penjara-penjara, terutama pasal-pasal 15 s/d 20 dan pasal-pasal 22 s/d 24 dari “Gestichten Reglement” (Reglemen penjara) Staatsblad 1917 no.708, yang oleh pemerintah Jepang juga pernah diganti dengan peraturan Jepang (lihat Bab IV bagian kesatu). Tegasnya Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 25 Februari 1946 no.G.8/230 itu mengatur struktur organisasi dan ketatalaksanaan dari Jawatan Kepenjaraan. Struktur organisasi dan ketatalaksanaan ini pada hakekatnya tidak banyak berbeda dengan apa yang telah diambil alih dari tangan pemerintah tentara Jepang. Apa yang dulu (dizaman Jepang) menjadi wewenang dari “Tosei Keimukantokukan” dan dari “Keimukantokukan”, menjadi wewenang dari Pemimpin Kepenjaraan Daerah. (Pemimpin Kepenjaraan Daerah ini kemudian diberi nama Direktur Kepenjaraan, kecuali untuk luar Jawa dan Madura yang tetap memakai nama Pemimpin Kepenjaraan Daerah). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman itu pula apa yang ada zaman Belanda menjadi wewenang dari “Gevangenis Directeur”, “Hoofd van Plaatselijk Bestuur” atau “Assistent Resident” pada umumnya menjadi wewenang pula dari Direktur Kepenjaraan (Pemimpin Kepenjaraan Daerah), kecuali beberapa yang menjadi wewenang dari Kepala Penjara.

Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 25 Februari 1946 no.G.8/230, dikenal adanya posisi “Kepala Penjabatan Kepenjaraan” (sebelum itu “Kepala Bahagian Urusan Penjara”). Posisi ini kemudian diberi nama “Kepala Jawatan Kepenjaraan” (KDK). Kantor Pusat Jawatan mula-mula diberi nama “Kantor Pusat Penjabatan Kepenjaraan”, kemudian diberi nama “Kantor Pusat Jawatan Kepenjaraan (KPDK) (1948) dan kemudian lagi diberi nama “Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan” dan secara lengkap diberi nama “Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Penampungan” (Penampungan sebagai sebutan dari “Reclasseering”).

Dengan adanya Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 25 Februari 1946 no.G.8/230 itu posisi “Kepala Muda Jawatan” untuk pusat dan posisi “Direktur Pembantu” serta “Kepala Penjara Pembantu” untuk daerah dimungkinkan.

Kejadian-kejadian lain yang mengarah kepada terbentuknya prinsip-prinsip yang mendasar bagi perkembangan Kepenjaraan Republik Indenesia pada periode tahap pertama ini antara lain ialah:

a. Yang bersangkutan dengan masalah pengemis dan pelancongan terhadap masalah ini nampak adanya usaha-usaha keras yang menentang dimasukkannya para pengemis dan pelancongan ke dalam penjara, yakni melalui penjatuhan pidana. Dengan surat tertanggal 14 September 1946 no. G.8/859 yang ditujukan kepada Wakil Menteri Kehakiman di Klaten (Jogyakarta), “Kepala Penjabatan Kepenjaraan” dengan dikuatkan oleh laporan-laporan dari berbagai penjara, mendesak pemerintah untuk segera mencabut pasal 504 KUHP (mengenai pengemis) dan mempertimbangkan pula pencabutan 505 KUHP (mengenai pelancongan) dengan maksud supaya hakim tidak mempunyai kesempatan untuk menjatuhkan pidana terhadap para pengemis dan pelancongan.
Diusulkan supaya pengemis dan pelancongan yang sakit di rawat di rumah sakit sampai sembuh, dan yang tidak sakit ditampung “di rumah-rumah miskin” atau di “tempat-tempat kerja”. Pekerjaan bagi mereka seyogyanya dilakukan diluar dan kepada mereka diberi upah yang layak.
Sehubungan dengan itu pula diusulkan supaya pasal 234 ayat (3) jo ayat (4) serta pasal 234a H.I.R. (R.I.B.) lebih dimanfaatkan dan dimana perlu dirubah.
Tempat-tempat penampungan bagi pengemis dan pelancongan diusulkan supaya berada dibawah wewenang Departemen Sosial. Desakan dari “Kepala Penjabatan Kepenjaraan” ini mendapat tanggapan yang positif dari Jaksa Agung yang dengan suratnya (edaran) tanggal 15 Oktober 1947 no. 5/1947 kepada “semua instansi yang diberi kuasa untuk mengadakan penuntutan di seluruh Jawa dan Madura” memerintahkan supaya tidak diadakan penuntutan terhadap para pengemis (pasal 504 KUHP) belum puas dengan hasil yang dicapai (Kepala Penjabatan Kepenjaraan) dengan suratnya tanggal 24 Maret 1948 no. G.8/418 yang ditujukan kepada Jaksa Agung mendesak lagi supaya juga terhadap “pelancongan” (pasal 505 KUHP) diambil kebijaksanaan yang sama. Surat ini, yang tembusannya dikirimkan juga kepada Menteri Kehakiman, mendapat dukungan yang positif dari Jaksa Agung, yang meneruskan seruan “Kepala Penjabatan Kepenjaraan” itu kepada Kepala Kepolisian Negara, Markas Besar Polisi Tentara dan Cabang Kejaksaan Agung untuk Jawa Timur dan Madiun.
Kejadian ini merupakan konsekuensi dari pasal 34 Undang-Undang Dasar ’45, mengenai “Fakir miskin dan anak-anak terlantar”.
Di dalam ilmu penologi atau ilmu coreeksi modern tindakan semacam ini termasuk apa yang dinamakan “diversi” (diversion). Masalah “diversi” pada konggres P.B.B. yang ke V pada tahun 1975 tentang “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” dijadikan topik pembicaraan.
Ada beberapa perbedaan pendapat tentang pengertian “diversi”, namun pada umumnya terdapat persamaan dalam perwujudannya.
Pada umumnya diversi diartikan sebagai langkah/gerak yang menjauhi (movement away) pemrosesan perkara pidana secara formal.
Robert M. Charter, seorang doktor dalam ilmu kriminologi antara lain menyatakan sebagai berikut : “Diversion is Justice-system oriented and focuses upon the development of specific alternatives for the justice system processing of offenders. The diversion model and its application has been generated from a belief that the control of crime and delinquncy would be improved by handling criminals and delinquents outside the traditional system (Robert M. Charter : “The Diversion of Offenders”; Fednal Probotion 1972).

Diversi berorientasi kepada tataperadilan pidana dan berfokus kepada perkembangan dari alternatif-alternatif tertentu guna memproses pelanggar hukum dalam tataperadilan pidana. Pola diversi dan pengetrapannya berasal dari anggapan bahwa terhadap usaha pengendalian kejahatan dan kenakalan akan terjadi perbaikan dengan jalan penanganan pelaku-pelaku kejahatan dan kenakalan diluar tata cara yang tradisional.
(terjemahan bebas).

Robert L. Smith, Chief of Planning, California Youth Outhority berpendapat tentang “Diversi” sebagai berikut:
“We conceive of diversion as and act directing a potential offender away from and not out of the system”.
(“Criminal Justice Monograf : “New Approaches to Diversion and Treatment of Juvenile Offenders”, 1973; halaman 45). Selanjutnta ia mengatakan : “The Premis of diversion is basically one of prevention since it deals with those who have not yet become subject to the control of agencies of the criminal justice or correctional system”. (opcit hal.48).

Pengertian kami tentang diversi ialah suatu langkah yang mengarah kepada usaha untuk menjauhkan pelanggan hukum potensial dari sistem (peradilan pidana) dan bukan untuk mengeluarkan dari sistem (peradilan pidana) (terjelahan bebas).

Latar belakang dari diversi pada hakekatnya adalah pencegahan, karena pencegahan bersangkutan dengan mereka-mereka yang belum menjadi sasaran pengendalian dari badan-badan yang berada dalam tatanan peradilan pidana atau tatanan Korreksi (terjemahan bebas).
Pendapat Robert L. Smith yang mengidentikkan diversi dengan prevensi tidak sama dengan apa yang dinyatakan dalam Report on “Correction” tentang diversi : “.......the term diversion revers to formally acknowledge and organized efforts to utilize alternatives to initial or continued processing into the system.....
In terms of process, diversion implies halting or suspending formal criminal or juvenile justice proceedings against a person who has violated a statute in favor of processing through a non-criminal disposition or means” (National Advisory Comission on Criminal Justice Standard and Goals : “Correction” 1973; halaman 73). (garis bawah penulis).

Istilah diversi menunjuk kepada adanya usaha-usaha yang diakui secara resmi dan terorganisir untuk menggunakan alternatif-alternatif terhadap pelaksanaan proses permulaan atau proses lanjutan dalam sistem (tata peradilan pidana).
Dalam arti proses, diversi mencakup penghentian atau penundaan berlangsungnya proses peradilan kriminil atau proses peradilan anak-anak yang formal terhadap orang-orang yang telah melanggar undang-undang, demi keperluan pemrosesannya melalui penentuan-penentuan penyelesaian atau sarana yang non kriminil (terjemahan bebas).
Selanjutnya report yang setebal 635 halaman itu berpendapat : “Diversion is Differentiated from prevention in that the latter refer to efforts to avoid or prevent behavior in violating a statute, while diversion concerns effort after legally proscribed action has accured” (ibid).

Diversi berbeda dengan prevensi, karena yang tersebut belakangan ini (prevensi) menunjuk kepada adanya usaha untuk menghindari atau mencegah terjadinya tingkah laku (perilaku) yang melanggar undang-undang, sedang diversi bertalian dengan usaha-usaha dimana perbuatan yang dilarang oleh undang-undang telah terjadi (terjemahan bebas).
Dalam hal pencegahan dimasukkannya pengemis dan pelancong (gelandangan) kedalam penjara melalui pidana (dengan sendirinya melalui proses justisi formal) terlihat pada tahun 1946-an di Indonesia untuk menjauhkan orang-orang yang menurut KUHP melakukan pelanggaran hukum itu dari jangkauan proses justisi yang formal; yang sama dengan “diversi”.

b. Selain dari kejadian yang menyngkut hal-hal yang prinsipil tadi, oleh “Kepala Penjabatan Kepenjaraan” melalui surat edarannya tanggal 28 Januari 1947 no.G.8/290 diminta perhatian para pemimpin-pemimpin kepenjaraan di seluruh Jawa, Madura dan Sumatera supaya penghantaran pelanggar hukum (khususnya terpidana) dengan berjalan kaki dan dibelenggu dihindarkan sejauh mungkin. Pembelengguan hanya dapat dibenarkan dalam keadaan-keadaan yang sangat mendesak.

c. Dengan surat edaran tanggal 12 Februari 1947 no.G.8/437 “Kepala Penjabatan Kepenjaraan” menginstruksikan kepada semua Pemimpin Kepenjaraan Daerah “ dan semua “Pemimpin Rumah Pendidikan Negara” untuk mengadakan bagian yang baru dalam tata laksana Kepenjaraan dan Pendidikan Paksa, yakni “bagian pendidikan”, disampingnya bagian-bagian yang telah ada (tata usaha, keuangan, penjagaan, perusahaan d.l.l.). Bagian Pendidikan ini tidak hanya menyelenggarakan pendidikan bagi orang-orang terpenjara, melainkan juga untuk pegawai-pegawai yang masih banyak yang buta huruf. Dalam surat berikutnya (27 Desember 1947 no.G.8/2191) ditekankan perlunya pendidikan agama dalam lingkungan kepenjaraan s.d.l. sebagai konsekuensi dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pancasila dan pasal 29 Undang-Undang Dasar;

d. Dengan Surat Menteri Kehakiman tanggal 11 November 1947 no.G.8/2066, ditandatangani oleh “Kepala Penjabatan Kepenjaraan” atas nama Menteri, ditetapkan pula “Instruksi Pegawai Pembantu Reclasering Daerah” dan “Pegawai Pembantu Reclasering Pusat” antara lain mengenai hak-hak dan kewajibannya.

e. Dengan surat edaran tanggal 23 November 1948 no.G.8/1510 “Kepala Jawatan Kepenjaraan” menginstruksikan “Direktur-Direktur” Kepenjaraan untuk mengadakan pemisahan yang keras antara pelanggar hukum anak-anak dan dewasa, dan menginstruksikan pula supaya ditunjuk pegawai yang khusus untuk pendidikan dan perawatan anak-anak terpenjara.

Kejadian-kejadian yang lain dari pada peletakan dasar-dasar pokok bagi penyusunan Kepenjaraan Republik Indonesia yang patut dicatat dalam periode tahap pertama ini antara lain ialah:

1) Ditetapkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia no.1 tahun 1946 yang menyangkut pemberian remisi berupa “Peraturan tentang pemberian pengampunan”. Peraturan ini ditetapkan pada tanggal 8 Agustus 1946 dan peraturan pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri Kehakiman di Klaten pada tanggal 10 Januari 1947 dengan diberi nama “Peraturan Pembebasan Hukuman Sebagai Pengampunan”.
Tanggal berlakunya ditetapkan mulai 17 Januari 1947.
Latar belakang sejarah dikeluarkannya peraturan resmi ’46 ini adalah sebagai berikut:
Pada masa-masa sebelumnya, pengurangan masa pidana diberikan kepada terpidana pada hari ulang tahun kelahiran Kepala Negara (Ratu Belanda atau Kaisar Jepang).
Menjelang tibanya tanggal 17 agustus 1946, hari ulang tahun Kemerdekaan R.I., terlintas dalam fikiran Direktur Penjara Sragen, yang kebetulan juga menjadi ketua Sarekat Sekerja Kepenjaraan, untuk mengusulkan tanggal 17 Agustus sebagai tanggal pemberian remisi.
Usul ini diajukan kepada Kepala Jawatan Kepenjaraan di Jogyakarta atas nama Sarekat Sekerja Kepenjaraan. Bahwa usul tersebut diterima, terbukti dari dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden no.1 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946. pada waktu itu beberapa Direktur Kepenjaraan yang terdekat dipanggil ke Klaten (Pusat Departemen Kehakiman) untuk menerima instruksi tentang pelaksanaannya. Pelaksanaan yang berdasarkan peraturan baru terjadi setelah dikeluarkannya peraturan Menteri Kehakiman tertanggal Klaten 10 Januari 1947 (tidak bernomor). Rancangan dari peraturan Menteri Kehakiman ini disusun di Kantor Pusat Kepenjaraan Cabang Surakarta yang berada dibawah pimpinan Kepala Muda Jawatan Kepenjaraan Mr. Alwi Sutan Osman. Sebagai anggauta panitya duduk pula Direktur Penjara Sragen, yang juga Ketua Sarekat Sekerja Kepenjaraan pada waktu itu.
Kalau ditelaah dari isinya, maka peraturan pelaksanaan remisi ‘46 itu banyak memberi kemungkinan untuk membebaskan terpidana dari sisa masa pidananya (berlainan dengan masa-masa sebelumnya). Hal ini antara lain disebabkan karena banyak orang-orang terpidana yang telah berjasa dalam perjuangan kemerdekaan dan juga untuk memberi kemungkinan pembebasan dari sisa masa pidananya bagi mereka yang sedang berjuang secara fisik di beberapa front pertempuran.
Karena latar belakang perjuangan inilah maka pemberian remisi berdasarkan Peraturan Presiden no.1 tahun 1946 itu lebih bercorak pemberian grasi daripada suatu sarana pembinaan.

2) Dalam periode tahap pertama Kepenjaraan R.I ini perlu pula dicatat peranan jawatan dalam rangka turut serta memantapkan persiapan-persiapan yang menuju kearah terbentuknya Tentara Republik Indonesia (T.R.I). Rumah Penjara Istimewa Sragen dengan hasil pertenunannya, terutama kain layar, dan Rumah Penjara Jogyakarta (Wirogunan) yang khusus menghasilkan sepatu-sepatu, patut dicatat sebagai yang paling berperan dalam membantu berdirinya Tentara Republik Indonesia antara lain (membuat pakaian seragam tentara dan sepatu tentara).

3) Dalam periode ini pula Jawatan Kepenjaraan turut serta mengambil bagian dalam rangka konsolidasi politik yakni : penugasan oleh pemerintah pusat di Jogyakarta kepada Pimpinan Rumah Penjara Sragen untuk menyediakan Kwartier dan Makanan bagi pasukan-pasukan yang didatangkan dari Jawa Timur dan ditempatkan di Sragen untuk mengadakan pengepungan terhadap Gunung Lawu (Tawangmangu) sehubungan dengan penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang kemudian dapat diselamatkan. (Surat Perintah tertulis dari Departemen Pertahanan).

4) Dalam periode ini pula, tepatnya pada tanggal 17 Januari 1946, didirikan secara resmi “Sarekat Sekerja Kepenjaraan” (S.S.K). S.S.K adalah suatu wadah perjuangan pegawai kepenjaraan yang timbul atas dasar interaksi spontan yang positif diantara pegawai-pegawai kepenjaraan dari segala tingkat dan golongan S.S.K yang menganut prinsip “Gescheiden samengduan” (maju bersama secara terpisah), selain aktif dalam perjuangan fisik juga aktif membantu jawatan. S.S.K ’46 tidak beraffiliasi dengan sesuatu partai politik maupun vaksentral. Dalam konggres yang pertama di Solo, S.S.K mendapat banyak sumbangan fikiran dari Kepala Muda Jawatan Kepenjaraan, Mr. Alwi Sutan Uman yang selalu hadir mengikuti jalannya konggres. Peresmian pendirian S.S.K pada tanggal 17 Januari 1946 dihadiri pula oleh Kepala Muda Jawatan Kepenjaraan.

5) Dalam tahun 1947 Belanda melakukan agresi militer yang pertama, yang kemudian mengakibatkan terbentuknya daerah “Renvile”. Sebagian besar dari pimpinan unit-unit kepenjaraan yang karena persetujuan “Renvile” berada diseberang garis demarkasi, mengungsi ke daerah Republik Indonesia, sebagian dengan membawa serta para terpidana sebagian lagi tidak. Peristiwa yang patur dicatat dalam masa “Renvile” ini ialah dibentuknya satu kompi pasukan yang terdiri dari orang-orang terpidana di Blitar, yakni orang-orang terpidana dalam pengungsian/rumah penjara Lowok Waru Malang. Pasukan terpidana di Blitar ini dikenal dengan nama “Barisan Gundul”, nama yang diberikan oleh Komandan Divisi Tempur Jawa Timur, Kolonel Dr. Mustopo (sekarang Jenderal Purnawirawan). “Barisan Gundul” ini mendapat latihan militer secara reguler dibawah pimpinan Kolonel Dr. Mutopo. Kompi “Barisan Gundul” adalah sebagian dari Resimen III Divisi Tempur Jawa Timur, suatu resimen yang dihimpun dengan jalan mengumpulkan “pasukan-pasukan liar diluar T.R.I. antara lain (Srigala Hitam, T.L.R.I. Kahar Muzakkar dll). Sebagai Komandan Resimen III di angkat Pemimpin Daerah Kepenjaraan Malang Bahrudin Suryobroto yang pada waktu itu berada dalam pengungsian di Blitar. Pelantikan sebagai Komandan Resimen dilakukan secara sederhana di Kantor Gubernur Jawa Timur (Mujani) di Blitar dengan pengambilan sumpah. Pangkat sementara yang diberikan kepada Komandan Resimen adalah “Mayor Titulair”.

6) Dalam masa “Renvile” ini terbentuk pula apa yang disebut “Rumah-Rumah Tafakkur” yakni rumah-rumah asal bangunan penjara yang khusus diperuntukkan bagi tawanan/tahanan/terpidana politik berdasarkan Undang-Undang Hukuman Tutupan tahun 1946 no. 20.
Dipergunakan sebagai rumah tafakkur pada waktu itu ialah antara lain Rumah Penjara Madiun II dulu pernah sebagai “Strafgevangenis voor Jeugdigen” Rumah Penjara Khusus untuk anak-anak (1921).

Periode Kepenjaraan R.I. kesatu tahap kedua berlangsung dari dimulainya agresi militer Belanda yang ke II (1948) sampai 27 Desember 1949 (terbentuknya Republik Indonesia Serikat).

Selama periode tahap kedua ini hubungan antara pimpinan unit-unit kepenjaraan R.I. di daerah dengan pimpinan pusat kepenjaraan R.I. di Jogyakarta terputus sama sekali.

Dalam sejarah Kepenjaraan Republik Indonesia periode tahap kedua ini terkenal dengan adanya “Penjara-penjara Darurat”.

Ada beberapa macam penjara darurat yakni :
Penjara darurat yang berisi beberapa ornag terpidana yang dibawa serta mengungsi oleh pimpinan penjaranya; penjara darurat yang khusus didirikan dalam tempat-tempat pengungsian sebagai tempat untuk orang-orang yang dianggap sebagai mata-mata musuh; penjara-penjara darurat yang merupakan komponen dari tata peradilan pidana darurat yang diadakan dalam rangka mempertahankan eksistensi dan konsistensi dari Negara Republik Indonesia Proklamasi ’45. Penjara-penjara darurat tersebut belakangan ini diadakan bersama-sama dengan diadakannya “Pengadilan-pengadilan Darurat” yang “mobil” sebagai realisasi dari instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang pada waktu itu berada dalam pengungsian.

Adanya “penjara-penjara darurat” dan “pengadilan darurat” ini ialah untuk membuktikan kepada dunia luar bahwa pemerintah R.I. de jure dan de facto tetap ada.

Seperti diketahui pihak Belanda selalu berusaha untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa pemerintah R.I. itu tidak ada. Belanda menamakan Pemerintahan yang dijalankan oleh Pejabat-pejabat R.I dalam pengungsian : “Schaduw bestuur” (Pemerintahan Bayangan).

Salah satu contoh “Penjara Darurat” dan “Pengadilan Darurat” yang didirikan berdasarkan instruksi Menteri Kehakiman R.I dalam pengungsian ialah “Penjara Darurat di Conomulyo (Malang Selatan) dan “Pengadilan Darurat Mobil” di Malang Selatan (dengan Bantur sebagai basisnya).

Pemeriksaan perkara dalam sidang-sidang pengadilan darurat di Malang Selatan ini dilakukan secara “Summier”. Biasanya perkara yang diadili menyangkut “pencurian ternak” yang ditinggalkan mengungsi oleh pemiliknya. Sebagai Ketua Pengadilan bertindak seorang Patih (seorang Pamong Praja yang mempunyai latar belakang pendidikan dibidang hukum), dan dalam hal ketua berhalangan, bertindak sebagai Ketua Pengadilan seorang Wedana.

Penuntutan perkara dilakukan oleh seorang Jaksa, yang kebetulan berada dalam pengungsian. Jenis pidana yang dijatuhkan kebanyakan terdiri dari pidana denda, yang kalau tidak dapat dilaksanakan diganti dengan pidana penjara.

Kehidupan sehari-hari dari para terpidana di “penjara darurat” di Donomulyo dapat digambarkan sebagai berikut :

Pekerjaan sehari-hari terdiri dari pembersihan bangsal-bangsal tempat penampungan terpidana, memasak, bercocok tanam alakadarnya dan diperbantukan kepada pemerintah setempat untuk keperluan yang berfaedah untuk umum; makanan terdiri dari bahan-bahan yang diberikan “in natura” oleh pemerintah setempat (jagung, padi, ketela pohon, dsb.); penjagaan dilakukan oleh segelintir pegawai kepenjaraan yang berada dalam pengungsian tanpa senjata; penerangan diwaktu malam tidak ada (kadang-kadang memakai lampu “sentir” dengan minyak tanah).

Jumlah terpidana berkisar antara 25 sampai 60 orang; selama dalam asuhan pimpinan penjara darurat para terpidana hidup rukun antara satu sama lain; perkelahian tidak ada; pelarianpun tidak ada; secara berkala diadakan latihan mengungsi ketempat yang telah ditentukan lebih dahulu; tidak pernah terjadi pelarian selama latihan dan juga selama bener-benar melakukan pengungsian diwaktu malam.

Selama pengungsian pegawai tidur bersama-sama dengan para terpidana, tidak pernah terjadi perlawanan atau gangguan lainnnya terhadap pegawai.

Menjelang diadakannya penghentian pertempuran dengan Belanda (Ceasefire), karena persediaan bahan makanan sudah habis, dan juga setelah apa yang ada pada pegawai habis ditukar dengan bahan makanan, kepada para terpidana dari penjara darurat Donomulyo ini oleh Kepala Penjarannya (Direktur Kepenjaraan Malang dalam pengungsian) diberikan cuti bersyarat untuk pulang kerumahnya masing-masing; dalam surat cuti dicantumkan sebagai syarat supaya tidak melakukan kejahatan lagi dan tidak bekerjasama dengan Belanda; bilamana syarat-syarat ini dilanggar, kelak kalau pemerintah Republik Indonesia kembali berkuasa secara penuh, terpidana yang bersangkutan akan diwajibkan menjalankan sisa pidananya seluruhnya.

Setelah penghentian pertempuran (Ceasefire) diumumkan kontak antara pimpinan penjara-penjara daerah dan Kepala Jawatan Kepenjaraan di Jogyakarta mulai pulih kembali.

Peristiwa yang perlu dicatat diwaktu itu ialah jatuhnya pemerintahan boneka negara-negara Jawa Timur dan negara Madura. Mendahului peristiwa ini, Direktur Kepenjaraan Malang, mempersiapkan tenaga-tenaga yang terdiri dari pegawai-pegawai kepenjaraan R.I. yang setia untuk sewaktu-waktu menggantikan tenaga-tenaga pimpinan kepenjaraan negara Jawa Timur dan Madura dan meminta ijin kepada Kepala Jawatan Republik Indonesia di Jogyakarta untuk melakukan hak demikian kalau sudah sampai saatnya.

Dengan surat kawat Kepala Jawatan Kepanjaraan R.I. tanggal 28 Februari 1950 no. G.3/7558 izin untuk mengambil alih penjara-penjara di daerah bekas negara Jawa Timur dan bekas negara Madura diberikan dan Direktur Kepenjaraan Malang ditetapkan sementara sebagai Koordinator Kepenjaraan untuk daerah-daerah tersebut. Penetapan ini dikuatkan oleh Gubernur Militer Jawa Timur yang pada waktu itu merupakan penguasa tertinggi untuk Jawa Timur dan Madura. Direktur Kepanjaraan Malang oleh Gubernur Militer Jawa Timur sekaligus diangkat menjadi Kepala Kepenjaraan Tentara di daerah Malang.

Dengan dibentuknya Republik Indonesia Serikat sejak 27 Desember 1949, berakhirlah Periode Kepenjaraan Republik Indonesia yang kesatu.

Sementara itu Kepala Jawatan Kepenjaraan R.I. yang pertama mengundurkan diri dan diganti dengan Kepala Jawatan Kepanjaraan yang baru (Mr. Rusbandi) dari Departemen Kehakiman R.I Jogyakarta.

Dari peristiwa-peristiwa sejarah yang berlangsung selama periode kepenjaraan R.I kesatu ini dapat diambil pelajaran bagaimana Urusan Kepenjaraan R.I. sejak permulaan perjuangan kemerdekaan telah meletakkan dasar-dasar permulaan dalam penyusunan citra kepenjaraan Republik Indonesia selanjutnya. Yang jelas nampak dalam periode ini ialah adanya kegotong royongan baik antara pimpinan pusat dan pimpinan daerah, maupun antara para terpidana dan para petugas yang mengasuh mereka.
BAB II

PERIODE KEPENJARAAN REPUBLIK INDONESIA KEDUA
(1950 - 1960)


Pada permulaan periode ini Kepenjaraan Republik Indonesia merupakan bagian yang berada dibawah Koordinasi Kepenjaraan Republik Indonesia Serikat.

Seperti diketahui Republik Indonesia Serikat terbentuk pada ttanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil Konperensi Meja Bundar yang diadakan di Den Haag (negeri Belanda) dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 Nopember 1949.

Negara Republik Indonesia Serikat masih sempat pula mengeluarkan peraturan yang bertalian dengan perlakuan orang-orang terpidana yakni yang bersangkutan dengan pemberian remisi. Peraturan ini berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat no. 156 tanggal 19 April 1950 tentang “Pembebasan Hukuman untuk seluruhnya atau untuk sebagian pada tiap-tiap tanggal 17 Agustus”. Pada prinsipnya peraturan Republik Indonesia Serikat ini tidak berbeda dengan peratiran Republik Indonesia Keputusan Presiden R.I. no. 1 tahun 1946 (tanggal 8 Agustus 1946).

Negara Republik Indonesia Serikat ini tidak lama berdirinya. Pada tanggal 19 Mei 1950 dicapai kata sepakat diantara negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat-saat terjadinya pemersatuan kembali ini terdapat dua Kantor Pusat Kepenjaraan R.I. yakni Kantor Pusat Kepenjaraan R.I. di Jakarta dan Kantor Pusat Kepenjaraan R.I. di Jogyakarta, sama halnya dengan Departemen Kehakiman R.I.

Pada waktu itu Pemimpin Pusat Kepenjaraan berada dibawah wewenang Kepala Jawatan Kepenjaraan R.I., Mr. Rusbandi, yang menggantikan Kepala Jawatan Kepenjaraan R.I. yang lama, Mr. R.P. Notosusanto.

Segera setelah dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikeluarkan surat keputusan yang mempersatukan urusan kepenjaraan di seluruh nusantara dalam satu organisasi. Surat putusan ini adalah : “Surat Putusan Kepala Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering” tertanggal Jakarta 14 Nopember 1950 no. J.H. 6/19/16, yang antara lain memuat :

A. bahwa untuk seluruh Negara Republik Indonesia diadakan satu Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering (disingkat : Jawatan Kepenjaraan) yang mempunyai kantor besar di Ibukota Jakarta;

B. bahwa Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan (pada waktu itu singkatannya “KBDK”) terdiri dari bagian-bagian : Penempatan orang-orang terpenjara dan Statistik (Bagian I), Perbendaan (Bagian II), Urusan Pegawai (Bagian III), Perbendaharaan (Bagian IV), Pembukuan Perusahaan (Bagian V), Urusan Umum, Arsip dan Expedisi (Bagian VI), Pendidikan Paksa dan Reklassering (Bagian VII), Pendidikan (Bagian VIII).

Dalam periode ini diadakan dua kali konperensi Dinas yang sifatnya nasional dan yang memberi arah kepada tata cara urusan kepanjaraan R.I. pada waktu itu : Pertama, Konperensi Dinas di Nusakambangan dari tanggal 12 s/d 15 Nopember 1951 dan Kedua, Konperensi Dinas di Sarangan (Madiun, Jawa Timur) dari tanggal 20 s/d 24 Juli 1956.

Dalam Konperensi Nusakambangan telah ditegaskan oleh Kepala Jawatan Kepenjaraan tentang arah perlakuan terhadap terpidana, Politik Kepenkaraan yang harus dianut bukanlah politik kepenjaraan yang mencari teori baru, melainkan yang telah dirintis oleh orang-orang terkemuka di bidang kepenjaraan disempurnakan secara lebih sistematis.
Dalam pidato pengarahannya oleh Kepala Jawatan Kepenjaraan antara lain ditegaskan :

a. Bahwa kewajiban dari Kepenjaraan ialah memberi hukuman kepada orang hukuman serta memberi pendidikan terhadap mereka; berusaha untuk mengembalikan mereka sebagai anggota biasa dari masyarakat (resosialisasi); berusaha mendidik mereka (reducatie).

b. Bahwa dalam mendidik orang-orang yang dihukum jangan sekali-kali pegawai menganggap dirinya sebagai pendidik. Orang hukuman itu sendiri yang harus mendidik dirinya sendiri. Pegawai hanya membimbing dan menuntun apa yang perlu dituntun.

c. Dalam pendidikan yang penting adalah pendidikan kejurusan “social maatschappelijke” untuk mengembalikan mereka sebagai anggota masyarakat biasa dan untuk merespecteer hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam penutup sambutannya Kepala Jawatan Kepenjaraan mengharapkan dengan sungguh-sungguh agar pegawai kepenjaraan dapat menahan rasa keinsyafan kepada umum dengan maksud menanam kepercayaan pada masyarakat terhadap tugas kepenjaraan.

Dalam konperensi dinas di Nusakambangan itu antara lain dibicarakan :

I. masalah penutupan (perorangan atau bersama), dimana dikemukakan bahwa terpidana menurut ukuran yang normal harus dipergaulkan dengan anggota masyarakat lainnya.

II. masalah seleksi dan differensiasi dimana dikemukakan tentang perlunya penelitian terhadap masing-masing terpidana oleh pegawai-pegawai yang mempunyai dedikasi terhadap pekerjaannya, dan tentang perlunya mendirikan rumah-rumah penjara dimana de facto dapat diusahakan resocialisatie.

III. masalah mempekerjakan orang-orang terpenjara, dimana dikemukakan tentang perlunya penyesuaian pekerjaan dengan pekerjaan yang ada di masyarakat dengan upah yang sama, dipotong dengan biaya perawatan mereka.

IV. masalah perawatan sosial dalam arti sempit seperti sport, bacaan dan lain-lain.

V. masalah pendidikan pegawai kepenjaraan, terutama pendidikan informal disampingnya pendidikan keahlian yang formal.

Sebagai langkah-langkah yang nyata dalama rangka pemenuhan garis-garis kebijaksanaan yang telah dimufakati dalam Konperensi Nusakambangan itu dapat dicatat hal-hal sebagai berikut :

a. Adanya pedoman mengenai penempatan terpidana dirumah-rumah penjara yang telah ditentukan berdasarkan : jenis kejahatan, lamanya pidananya, status pendidikannya, batas umurnya, jenis kelaminnya, status sosialnya (surat edaran Kepala Jawatan Kepenjaraan tanggal 10 Nopember 1952 no. J.H. 1.3/17/35) dimana ditentukan pula supaya para terpidana yang sisa masa pidananya 3 bulan dipindahkan ke penjara tempat asalnya untuk mendekatkan mereka dengan keluarganya.

b. Dibukanya Kursus Pengurus Penjara yang pertama pada tahun 1952, bertempat di Jakarta, (Cipinang), disusul dengan yang kedua pada tahun 1953 dan yang ketiga pada tahun 1954; (masing-masing lamanya satu tahun).
c. Dikeluarkannya buku “Petunjuk minimum Perawatan Orang-Orang Terpenjara”, pada 1 Juli 1952 yang merupakan terjemahan dari “Standard Minimum Rules For the Treatment of Prisoners” (yang ditetapkan oleh komisi Internasional Penal dan Penitentiair atas permintaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan yang pada waktu itu masih merupakan rancangan). Diminta oleh Kepala Jawatan supaya segenap pegawai kepenjaraan senantiasa mempelajari dan menurut keadaan setempat dimana mungkin dan sesuai menjalankannya. Penerbitan terjemahan dari “Standard Minimum Rule” ini dimaksudkan pula sebagai bahan perbandingan bagi peserta Konperensi Nusambangan.

d. Pada tahun 1953 dibeberapa rumah penjara besar atas anjran Kepala Jawatan Kepenjaraan, diadakan “prufobservasi” (Surat Kepala Jawatan Kepenjaraan tanggal 11 April 1953 no. J.H. 3.18/4/33). “Prufobservasie” ini dimaksudkan untuk memperoleh data-data tentang terpidana tertentu mengenai latar belakang perbuatannya, kemungkinan-kemungkinan untuk perbaikannya, cara-cara perlakuan terhadapnya yang sesuai dan sebagainya.

e. Sebagai Media Kepenjaraan pada bulan September 1954 diterbitkan “Majalah Kepenjaraan”. Dalam majalah ini, sejak tahun 1956, dimuat pula karangan-karangan yang berasal dari orang-orang terpenjara.

f. Sebagai usaha untuk memperkenalkan tugas kepenjaraan kepada masyarakat dan untuk mendapatkan pengertian dari masyarakat luas tentang tujuan yang hendak dicapainya, Jawatan Kepenjaraan ikut serta dalam exposisi Pekan Raya Ekonomi Internasional yang diadakan di Jakarta dari tanggal 17 Agustus sampai dengan tanggal 3 Oktober 1954. Yang dipamerkan pada Pekan Raya tersebut antara lain : Hasil-hasil pekerjaan terpidana, baik yang berupa hasil perusahaan maupun hasil kerajinan tangan serta foto-foto yang memuat berbagai kegiatan terpidana.
g. Dalam rangka differensiasi dan klasifikasi, sejak 26 Nopember 1954, rumah penjara Bukit Duri yang pada zaman Hindia Belanda dipergunakan untuk terpidana seumur hidup dan terpidana yang “sukar ditangani”, dan kemudian sejak pendudukan kota Jakarta oleh NICA dipakai sebagai asrama Pokisi, dipergunakan kembali dan selanjutnya ditetapkan sebagai Rumah Penjara Khusus untuk wanita, terutama yang berasal dari Rumah Tahanan (Rumah Penjara) Salemba (Gang Tengah) di Jakarta, yang pada waktu itu telah penuh sesak. Pada tahun yang sama (28 Agustus 1954) mulai dipergunakan juga sebagai tempat penampungan orang-orang terpenjara, Rumah Penjara Wonogiri (Solo) yang baru selesai dibangun.

h. Pada tahun 1955 dengan surat Kepala Jawatan Kepenjaraan tanggal 24 Desember 1955 no. J.H. 1.3./24./41 dibuka di Kalimantan Barat proyek Transmigrasi Terpidana “Sungai Durian” Proyek Transmigrasi khusus ini disediakan untuk terpidana yang sisa pidananya 1 tahun, dan setelah terpidana selesai menjalankan pidananya dapat diikuti oleh keluarganya yang selanjutnya menetap disana.
Proyek Transmigrasi Terpidana “Sungai Durian” ini menyediakan fasilitas untuk 4500 orang terpidana; 150 orang dari Glodok telah ditransmigrasikan ke Kalimantan Barat, namun kemudian ternyata daerah transmigrasi “Sungai Durian” tidak memenuhi syarat untuk diolah guna pertanian, sehingga akhirnya dihapuskan. Proyek transmigrasi “Sungai Durian” tidak sama dengan “Strafkwartier” “Sungai Durian” di Sumatera Barat (Sawah Lunto) yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926.

i. Pada tanggal 6 Februari 1956 di Jakarta telah dikeluarkan pernyataan bersama oleh : (1) Kementrian Sosial, Kepala Seksi Rehabilitasi dari Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial, (2) Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering, (3) Jawatan Pendidikan Masyarakat, (4) Jawatan Penempatan Tenaga, (5) Kantor Pusat Jawatan Penerangan Agama, tentang nasib bekas terpidana.

Pernyataan bersama ini dikeluarkan setelah diadakan rapat-rapat bersama berkali-kali (8 Juni 1955, 4 Juli 1955, 14 Desember 1955, 1 Februari 1956 dan 6 Februari 1956).
Pernyataan bersama itu antara lain memuat hal-hal seperti dibawah :

(1) Mengenai propaganda
Terutama mengenai perkembangan dan manfaat Reklassering, Propaganda dalam hal ini tidak akan diadakan sendiri-sendiri oleh jawatan-jawatan yang bersangkutan melainkan secara bersama di konperensi-konperensi pusat atau daerah.
Harus dihindarkan kemungkinan adanya effek-effek yang menyukarkan penempatan ex terpidana dalam masyarakat kerja.

(2) Status perkumpulan-perkumpulan reklassering.
Harus merupakan badan hukum, (dapat dicapai melalui permohonan kepada Kementerian Kehakiman).

(3) Konperensi-konperensi bersama di Pusat dan di Daerah.
Sifatnya tidak tetap, melainkan sewaktu-waktu dipandang perlu, pengambul inisiatif harus Jawatan Kepenjaraan. Untuk paling kecil adalah Kabupaten.
Dapat mengundang instansi-instansi lain (Kepolisian, Pamong Praja, dsb).

(4) Perkembangan reklassering.
Memperbanyak dan memperluas perkumpulan-perkumpulan reklassering (swasta) dengan menentukan pula koordinator-koordinator di daerah-daerah.
Usaha ini dilakukan oleh konperensi daerah setempat dan pertama-tama daerah yang angka kejahatannya tinggi atau meningkat.

(5) Pengikutsertaan Jawatan Transmigrasi
Diusahakan supaya ikut serta secara aktif dalam usaha bersama ini, baik dalam bidang planning maupun dalam bidang pelaksanaan.

(6) Penyelenggaraan program-program usaha bersama.
Jawatan Kepenjaraan perlu berhubungan sebelumnya dengan terpidana/orang-orang terpenjara, terutama yang segera akan dibebaskan.
Para Direktur Kepenjaraan dan para Kepala Penjara perlu diberitahu tentang adanya program-program usaha bersama ini.

(7) Pemindahan terpidana sebelum tiba tanggal lepasnya.
Tiga bulan sebelum tiba hari lepasnya, terpidana yang bersangkutan dipindahkan ke penjara yang terdekat dengan tempat asalnya.

(8) Pengampunan/peringanan pada 17 Agustus.
Tiga bulan sebelum 17 Agustus, secara dibawah tangan (onderhands) dan setempat Jawatan Sosial dapat diberi tahu tentang jumlah dan keadaan orang-orang terpidana yang akan dibebaskan sebagai akibat dari ampunan/peringanan pada hari kemerdekaan.
Jawatan Kepenjaraan akan memberitahu tentang hal ini kepada Direktur-direktur Kepenjaraan.

(9) Biaya pulang bekas terpidana.
Biaya pulang dari terpidana yang dibebaskan dipikul oleh Jawatan Kepenjaraan; jika pemulangan itu tidak segera dapat dijalankan karena beberapa hal antara lain terpaksa menunggu angkutan, maka dalam menunggu itu paling lama 15 hari biaya hidup ditanggung oleh Jawatan Sosial.

(10) Status terpidana.
Status bekas terpidana pada hakekatnya harus tetap dirahasiakan.

(11) Keluarga orang-orang terpidana.
Untuk mengetahui keadaan keluarga yang ditinggalkan oleh orang-orang terpenjara, jawatan-jawatan yang bersangkutan/yang berkepentingan dapat minta keterangan dengan perantaraan Direktur atau Kepala Penjara, tetapi sifatnya harus tetap rahasia.
(12) Keuangan perkumpulan-perkumpulan reklassering.
Sumber keuangan dari perkumpulan-perkumpulan reklassering harus diusahakan oleh mereka sendiri antara lain dapat diusahakan supaya memperoleh bagian dari pendapatan undian uang yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial.

(13) Instruksi-instruksi dari Jawatan.
Masing-masing Jawatan yang telah mengadakan permufakatan supaya mengeluarkan instruksi kepada cabang-cabangnya di daerah untuk bertindak sesuai dengan yang telah dimufakati bersama.

(14) Inisiatif untuk mengadakan konperensi/pertemuan semacam yang telah diadakan terletak pada Jawatan Kepenjaraan.
Jawatan yang lain mempunyai hak usul pada Jawatan Kepenjaraan untuk mengadakan pertemuan/konperensi semacam yang telah diadakan ini.
(Uraian tentang pernyataan bersama antar kelima Jawatan ini disajikan secara agak terperinci, karena dari adanya langkah ini telah dapat tercermin adanya permulaan usaha kearah “resosialisasi” terpidana).

Langkah-langkah yang lebih konkrit lagi terjadi setelah adanya Konperensi Dinas yang kedua, yakni di Sarangan (Madiun, Jawa Timur), yang berlangsung dari tanggal 20 Juli sampai dengan 24 Juli 1956, konperensi dinas ini diikuti oleh tidak kurang dari 64 pegawai pimpinan teras kepenjaraan (Direktur Kepenjaraan, Inspektur Kepenjaraan, Kepala Jawatan Kepenjaraan) dan 6 orang Pegawai Tinggi pada Kementerian Kehakiman.

Pada hari-hari tertentu hadir pula Menteri Kehakiman (Prof.Mr. Mulyatno).



Ada dua Kertas Kerja yang menjadi pokok pembicaraan dalam konperensi ini :

Pertama : Pidato pengarahan yang diberikan oleh Kepala Jawatan Kepenjaraan.

Kedua : Prae-advies (Prasaran/makalah) yang diberikan oleh Bahrudin Suryobroto, Direktur Penjara Cipinang, sebagai seorang yang telah berpraktek yang diminta oleh Menteri Kehakiman.

Masalah-masalah yang dianggap penting yang dikemukakan dalam pidato pengarahan Kepala Jawatan, yang kemudian ditetapkan sebagai Pedoman Kerja Kepenjaraan dalam rangka pembangunan 5 tahun antara lain ialah :

a. Tentang maksud hukuman hilang kemerdekaan. Dalam hal ini telah dinyatakan suatu axioma dari tugas utama kepenjaraan sebagai berikut :
“terhadap orang hukuman hilang kemerdekaan (bukan seumur hidup) tugas terakhir dari Jawatan Kepenjaraan ialah mengembalikan orang hukuman ke masyarakat sebagai anggotanya yang berguna dan menurut hukum akal tidak akan melakukan lagi pelanggaran terhadap tata hukum masyarakat itu”
Pegawai Kepenjaraan yang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap negara niscaya tidak akan dapat memilih lain tujuan daripada tujuan yang dinyatakan tadi.

b. Tentang perlunya Koordinasi Kerja dengan lain-lain fihak.
Dinyatakan bahwa tidak saja dikalangan rakyat, bahkan juga dikalangan instansi-instansi yang langsung berhubungan dengan usaha pemberantasan kejahatan, masih banyak terdapat pandangan yang keliru, seolah-olah pelanggar-pelanggar hukum yang telah dimasukkan ke dalam rumah-rumah penjara semata-mata hanya dibebankan kepada Jawatan Kepanjaraan; proses pemberantasan kejahatan mulai dari saat penangkapan oleh Polisi sampai dengan kembalinya pelanggar hukum yang bersangkutan ke tengah-tengah masyarakat seharusnya dilakukan dengan bantuan penuh dari masyarakat dan instansi-instansi yang bersangkutan.
Dinyatakan selanjutnya bahwa seharusnya ada koordinasi yang teratur rapi antara semua instansi penegak hukum, yang waktu itu tidak ada.

c. Tentang pidana bersyarat.
Dinyatakan antara lain, bahwa yang penting dalam hal ini ialah adanya pegawai reklassering yang kompeten, cakap dalam mempergunakan bantuan-bantuan organisasi-organisasi resmi atau partikelir, jujur, tidak mempunyai tendensi sebagai pokrol, perasaan amal soleh yang suci terhadap sesama manusia dan sebagainya.

d. Tentang differensiasi rumah-rumah penjara.
Harus diusahakan memperbanyak macamnya rumah-rumah penjara menurut jumlah dan golongan orang-orang terpenjara dan apabila belum mungkin untuk dilaksanakan, cukup dengan sementara mengadakan pemisahan-pemisahan yang ketat setempat, dengan sistem perlakuan yang berbeda-beda menurut kebutuhannya.
Yang harus diutamakan diatas segala-galanya ialah : pegawai yang cakap. Dalam hubungannya dengan differensiasi ini pedoman yang harus diperhatikan ialah :
Pertama : mengenai taraf penjagaan, yang terdiri dari penjagaan yang paling keras, penjagaan sedang, penjagaan minimum (terbuka).
Dalam istilah teknisnya : “maximum security”, “medium security” & “minimum security” (open institution).
Kedua : mengenai pemberian pekerjaan atau didikan kerja, yang harus beraneka ragam, tersebar di rumah-rumah penjara tertentu menurut destinasi dari penjara yang bersangkutan.
Ketiga : mengenai terpenjara istimewa, antara lain yang membutuhkan perawatan secara medis dan juga untuk psychopat-psychopat, pelanggar-penggar hukum sexuil, lemah ingatan dan sebagainya.
Harus diadakan ruang yang terpisah secara sempurna bagi orang-orang yang baru masuk.
Keempat : yang berhubungan dengan umur dan kelamin.
Prinsip : terpidana wanita tidak boleh berada di satu penjara dengan terpidana laki-laki sekalipun terpisah-pisah;
Untuk anak-anak harus didirikan gedung tersendiri.

e. Tentang pegawai kepenjaraan.
Sebagai syarat-syarat yang penting dinyatakan :
Adanya akhlak yang tinggi, kepribadian yang luhur, pendidikan dan pengalaman yang cukup, umur yang memadai, (antara 25 dan 45 tahun).
Harus diberi pendidikan khusus, dan harus ada spesialisasi.

f. Mengenai klasifikasi orang-orang terpenjara.
Klasifikasi berdasarkan pandangan yang semata-mata memisah-misahkan golongan-golongan terpenjara dianggap sudah kolot (vide Reglemen Penjara pasal 49 dan seterusnya).
Klasifikasi harus diartikan sebagai suatu proses pertumbuhan yang didasarkan pada observasi dan penyelidikan-penyelidikan yang sistematis dan terus menerus tidak ada henti-hentinya terhadap tiap-tiap terpidana dengan maksud supaya pada tiap-tiap saat yang penting dapat diambil keputusan oleh para petugas klasifikasi, perawatan yang bagaimana dan dipenjara mana yang paling sesuai bagi tiap-tiap orang terpidana itu; baik mengenai pejagaannya pemberian pekerjaannya, pendidikannya dan sebagainya.
(Pengertian tentang klasifikasi ini definisi tentang klasifikasi tidak jauh berbeda dengan yang dianut di Amerika Serikat, yang mengartikan klasifikasi sebagai “treatment process”). Mengenai klasifikasi terpidana ini selanjutnya dinyatakan perlunya Panitia Klasifikasi yang terdiri dari sedikit-dikitnya 7 orang (diantaranya Kepala Penjara atau Wakilnya sebagai Ketua).
Selanjutnya dibahas tentang kesehatan, discipline orang-orang terpenjara, masalah didikan dan tuntutan agama, pekerjaan terpidana dinyatakan dalam konperensi mengenai masalah discipline, bahwa discipline yang baik tidak dapat dicapai melalui peraturan-peraturan tata tertib yang banyak dan mendetail, melainkan melalui penumpukan ahlak (moral) yang baik, juga dinyatakan bahwa tidak adanya pelanggaran terhadap peraturan tata tertib belum berarti discipline sudah baik, melainkan discipline yang baik harus dapat diukur pula dari adanya rasa tanggung jawab yang mendalam dari terpidana terhadap tata kehidupan yang tentram dan teratur. Namun demikian, dalam hal terjadi sesuatu yang sangat meresahkan, Kepala Penjara tidak boleh ragu-ragu untuk mengambil tindakan yang sesuai.

Dipesankan supaya jika mungkin tiap-tiap orang terpenjara diberi buku petunjuk yang berisi aturan-aturan dan instruksi-instruksi yang sangat penting untuk diketahui oleh mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam norma minima C.I.P.P yang telah lama diedarkan terjemahannya dikalangan petugas-petugas pimpinan kepenjaraan.

Langkah-langkah lanjutan yang telah diambil dalam rangka perwujudan dari kebijaksanaan kepenjaraan yang pedomannya telah ditetapkan dalam Konperensi Sarangan ini, antara lain ialah adanya experimens untuk mengikutsertakan terpidana tertentu dalam aktivitas-aktivitas yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat seperti : bukan terpidana (pekerja-pekerja bebas), belajat diluar tembok bersama-sama dengan pelajar-pelajar bebas, melakukan ibadah diluar tembok bersama-sama dengan anggota masyarakat bebas lainnya (sembahyang Jum’at, ke gereja pada hari Minggu dll.), olah raga dan rekreasi diluar tembok di tengah-tengah keramaian masyarakat bebas, ikut serta dalam upacara-upacara umum diluar penjara (ziarah ke makam pahlawan bagi terpidana bekas pejuang) dan lain-lain kelonggaran yang dipoandang bermanfaat. Experimen untuk aktivitas-aktivitas diluar tembok penjara ini diatur antara lain dengan surat edaran Kepala Jawatan Kepenjaraan tertanggal 19 Nopember 1957 no. J.H. 8.2./19/2. (E – 95).
Dalam Konperensi Dinas Kepenjaraan di Sarangan dibahas pula Kertas Kerja yang disajikan sebagai prae-advies oleh Direktur Rumah Penjara Cipinang, Bahrudin Suryobroto, Prae-advies ini bersangkutan dengan “masalah-masalah disekitar pelaksanaan hukuman hilang kemerdekaan dan penutupan-penutupan lainnya di penjara”.

Ada tiga kelompok permasalahan yang dikemukakan :

A. Mengenai pelaksanaan hukuman hilang kemerdekaan dan akibat-akibatnya yang timbul karena wujudnya yang institutiair;

B. Menganai pelaksanaan hukuman hilang kemerdekaan yang mempunyai karakter khusus.

C. Mengenai penahan di rumah penjara, yang buka hukuman hilang kemerdekaan.

Mengenai masalah yang pertama (a) dikemukakan adanya bahaya yang merupakan faktor yang kriminogen dengan dipenjarakannya seorang kepala keluarga pencari nafkah : antara lain dapat menimbulkan kenakalan anak atau perceraian dengan interi, sebagaimana tidak jarang terjadi dalam praktek. Hal tersebut belakangan ini dikemukakan dalam hubungannya dengan mayoritas penduduk di Indonesia yang beragama Islam, dan yang memperbolehkan seorang siteri menuntut perceraian dalam hal tidak dicukupi nafkahnya dalam waktu tertentu. Jalan keluar yang disarankan adalah supaya kepala keluarga yang dihukum jangan dirampas haknya dan kewajibannya sebagai pencari nafkah dan ini hanya mungkin melalui rekonstruksi dari kerangka pemberian pekerjaan kepada terpidana yang hingga waktu itu masih berlandasan pasal-pasal dari KUHP dan Reglemen Penjara, yang oleh pemrasaran dinyatakan berorientasi dan menurut ukuran orang-orang bangsa Eropa, keuntungan dari hasil pekerjaan terpidana, menurut pemrasaran, hendaknya jangan dilihat dari segi keuntungan materieel semata-mata, melainkan lebih lebih harus dilihat dari segi keuntungan moril. Dalam hubungan ini pula dikemukakan supaya pekerjaan yang diberikan kepada terpidana jangan sampai merupakan pekerjaan yang dirasakan tidak ada gunanya oleh yang bersangkutan, karena hal yang demikian itu dapat mematikan semangat manusia sebagai makhluk yang harus bekerja.

Dikaitkannya pula masalah-masalah yang pertama ini dengan hak-hak azasi manusia. Dikemukakan oleh pemrasaran tentang beberapa hal yang telah pernah dialami dalam praktek dan dinyatakan antara lain bahwa “pengekangan diluar batas atau diluar seperlunya dari hak-hak azasi ini justru akan mengakibatkan effek yang lain, yakni penentangan, dan segala sesuatu akal oleh mereka (terpidana) akan dipergunakan untuk mencari jalan dapatnya hak-hak azasi itu dirasakan kembali. Pelanggaran-pelanggaran yang banyak terjadi di penjara-penjara adalah suatu akibat pengekangan yang diluar batas itu”.

Mengenai masalah yang kedua antara lain dikemukakan tentang orang-orang hukuman politik. Disarankan supaya bagi mereka diperlakukan “indeterminate-sentence” dan tempat penampungan yang khusus. Juga diusulkan supaya para pelacur tidak dimasukkan kedalam penjara (di Bukit Duri pada tahun 1955 ada 159 orang pelacur yang dihukum).

Mengenai masalah penahanan dikemukakan bahwa masalah ini lebih rumit daripada masalah terpidana. Penahanan yang berlarut-larut tidak bedanya dengan mematikannya daya bela dari yang bersangkutan dan karena itu pula mempengaruhi pemberian keadilan yang bersih.

Diusulkan antara lain pendirian rumah-rumah tahanan yang khusus, pendirian pusat-pusat observasi dan seleksi di ibu-ibukota propinsi yang ada universitasnya dan peningkatan pendidikan pegawai yang telah ada diwaktu itu menjadi suatu sentrum yang khusus untuk mendidik pegawai kepenjaraan sampai tingkat yang tertinggi.
Saran-saran yang telah dikemukakan oleh pemrasaran, sebagian besar diterima oleh peserta konperensi.

Selain daripada langkah-langkah yang langsung bersangkutan dengan kebijaksanaan dalam hal memperlakukan terpidana, langkah-langkah lainnya yang operlu dicatat yang terjadi dalam periode ini ialah antara lain :

(1) Direncanakan adanya Reglemen Penjara yang baru sejak terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (Srt. Pengangkatan panitia perancang Reglemen Penjara Kesatuan tanggal 23 Nopember 1951 no. J.H.6.8./23/13).

(2) Dihapuskannya penjara-penjara Swapraja diberbagai tempat antara lain (di daerah Sulawesi Utara dan Tenggara) dan dirubah statusnya menjadi penjara negara R.I.

(3) Dibentuknya daerah-daerah kepenjaraan yang baru pada tahun 1956 (daerah Mandar dan daerah Minahasa).

(4) Diadakannya pembagian tugas pengawasan wilayah bagi Inspektur-inspektur Kepenjaraan yang berkedudukan di pusat. (Srt. Keputusan no. J.H. 6.8./21/12 tanggal 24 uni 1959) (Jumlah Inspektur pada waktu itu lima orang)

Dalam periode ini diangkat sebagai Kepala Muda Jawatan Kepanjaraan, Mr. Sudarman Gandasoubrata (14 Desember 1954) (yang kemudian pada periode Kepenjaraan R.I ke III menjabat sebagai Kepala Jawatan).

Peristiwa lain yang patut dicatat dalam periode ini ialah dipergunakannya rumah penjara Cipinang, untuk beberapa kali sebagai tempat tangkapan politik (pertama dalam bulan September 1951 sehubungan dengan adanya huru hara dan kebakaran-kebakaran diberbagai tempat di Jakarta 1958 sehubungan dengan adanya gerakan PRRI/Permesta).
Selain dari itu perlu dicatat bahwa pada tahun 1955 diselenggarakan Pemilihan Umum yang pertama, dimana para tahanan diberbagai penjara turut juga memilih.

Selama periode ini pula pendidikan untuk pegawai kepanjaraan disempurnakan dan diperluas. Ada tiga tingkat pendidikanb; untuk adminiistratur, untuk penilik kepanjaraan dab untuk mantri kepanjaraan.

Kejadian lain yang patut pula dicatat selama periode ini ialah adanya percobaan di rumah penjara Sukamiskin untuk mengetrapkan sistem pemberian angka serupa dengan “Mark System”. Percobaan ini dilakukan dalam rangka mempermudah pelaksanaan klasifikasi sebagaimana yang diputuskan dalam Konperensi Dinas Kepenjaraan di Nusakambangan dalam bulan Nopember 1951. direktur rumah penjara Sukamiskin yang mengadakan percobaab “sistem pemberian angka” ini ialah R.A. Kusnus, SH. (1955), yang juga menulis buku tentang kepenjaraan berjudul “Politik Penjara Nasional”.

Percobaan ini kurang mendapat sambutan yang positif sehingga akhirnya tidak dilanjutkan selain daripada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai selama periode ini, terjadi pula hal-hal yang sangat meresahkan.

Selama periode ini sering pula terjadi pelarian-pelarian terpidana atau tahanan dalam jumlah yang cukup besar, seperti ci Cipinang, Salemba, Malang, Surabaya, Nusakambangan dan lain-lain.

Sebab yang utama mungkin karena periode ini merupakan periode peralihan dari zaman yang satu (zaman tertindas) ke zaman yang lain (zaman merdeka) dan sebab yang lazim ialah karena kepadatan isi penjara-penjara, yang menjadi ciri khas dari rumah-rumah penjara pada waktu itu.

Kejadian yang cukup menggemparkan dalam periode ini ialah pemberontakan disertai pembakaran di Kalisosok Surabaya dan pemberontakan di Nusakambangan.

Yang perlu diidentifikasikan mengenai periode kepenjaraan R.I yang kedua ini ialah adanya latar belakang falsafah yang baru dibidang kepenjaraan yakni “resosialisasi”, yang pada waktu itu dinyatakan sebagai tujuan yang modern di dunia kepenjaraan nasional.

Adanya Konperensi Dinas Kepenjaraan di Nusakambangan pada tahun 1951 dan adanya Konperensi Dinas Kepenjaraan di Sarangan pada tahun 1956 merupakan tonggak-tonggak sejarah dalam perkembangan sistem Korreksi di Indonesia. Oleh karena itu buah-buah fikiran yang dikemukakan dalam kedua konperensi dinas itu diungkapkan dalam penulisan sejarah ini secara tidak terpeerinci. Melalui ungkapan sejarah ini dapat dikaji dan dianalisa kejadian-kejadian sejarah berikutnya, yakni yang menyangkut gagasan “pemasyarakatan”, suatu nama atau istilah yang mirip sekali dengan “resosialisasi”.
BAB III

PERIODE KEPENJARAAN REPUBLIK INDONESIA KETIGA
(1960 - 1963)


Periode Kepenjaraan Republik Indonesia Ketiga ini merupakan periode yang singkat kalau dibandingkan dengan periode kepanjaraan Republik Indonesia yang kesatu, apalagi dibandingkan dengan periode Kepenjaraan Republik Indonesia kedua.

Sebetulnya Periode Kepanjaraan R.I. Ketiga ini merupakan periode pengantar dari periode-periode “Pemasyarakatan” berikutnya keatas pentas perkenalan dengan masyarakat ramai, karena sesungguhnya istilah “pemasyarakatan” telah diperkenalkan dalam pperiode ini sejak tahun 1962 walaupun baru terbatas dikalangan petugas-petugas dibidang korreksi (correction) Indonesia.

Dalam periode ini fungsi Kepala Jawatan dipegang oleh Mr. Sudarman Gandasubrata, sedang Menteri Kehakiman pada waktu itu adalah Saharjo, SH., yang sebelumnya memegang fungsi Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman.

Patut dicatat bahwa Kepala Jawatan Kepenjaraan Sudarman Gandasubrata, yang dalam periode kepenjaraan R.I. kedua pernah menjadi Kepala Muda Jawatan Kepenjaraan (1954), dalam menjalankan kebijaksanaan kepemimpinannya sebagai Kepala Jawatan banyak berorientasi kepada pola-pola “Social Defense” dari P.B.B. Pada bulan Agustus 1960 Mr. Sudarman Gandasubrata bersama-sama dengan Bahrudin Suryobroto menghadiri “Congres PBB ke II tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap pelanggar hukum” (2nd U.N. Congress on Prevention of Crime and treatment of Offenders) yang diadakan di London. Kedua orang pejabat ini, Mr. Sudarman Gandasubrata dalam kedudukannya sebagai Kepala Jawatan Kepenjaraan, dan Bahrudin Suryobroto dalam kedudukannya sebagai Inspektur Kepenjaraan, menghadiri Kongres PBB itu sebagai utusan resmi (yang pertama kali) dari pemerintah Republik Indonesia dengan diketuai oleh Duta Besar R.I di London Prof. Mr. Sunaryo.

Yang perlu dicatat dalam hubungannya dengan terlihatnya adanya kebijaksanaan kepemmimpinan kepenjaraan yang berorientasi kepada pola-pola “Social Defense” PBB ini ialah tentang “topic” 2 yang dibicarakan dalam Kongres PBB tersebut antara lain :

a. “Integration of Prison Labour in the National Economy” (Integrasi Karya Terpidana dalam Ekonomi Nasional).

b. “New Forms of Juvenile Delinquency and Prevention of Types of Criminality resulting from Social Changes and accompanying economic development” (Bentuk-bentuk baru kenakalan remaja dan pencegahan jenis-jenis kejahatan yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan sosial dan menyertai perkembangan ekonomi) dan

c. “Pre-release Treatmen and Aftercare as well as assistance to Dependent of Prisoners” (Pembinaan menjelang bebas dan perawatan susulan serta pemberian bantuan kepada keluarga terpidana).

Ketiga buah “topic” ini dalam kadar-kadar tertentu, ditambah dengan pengalaman semasa Kepala Muda Jawatan, turut serta memberi citra kepada kebijaksanaan kepemimpinan Sudarman dalam periode kepenjaraan ketiga ini. Hal ini dapat dilihat dari apa yang telah berlangsung selama periode kepenjaraan ketiga ini antara lain :

1) Diterbitkannya surat edaran tanggal 26 Maret 1962 no. J.H. 8.6/71 tentang “Pendidikan Narapidana”, yang antara lain memuat “arah pimpinan kepenjaraan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehakiman” yakni “pemasyarakatan narapidana” dalam arti “mempersiap-kan narapidana lahir/batin untuk kembali ke masyarakat, dan sebagainya”.

2) Diterbitkannya surat edaran tanggal 23 April 1962 no. J.H. 8.1./40 tentang “Pedoman Pemasyarakatan Narapidana” yang antara lain memberi petunjuk-petunjuk mengenai pendidikan, diantaranya pendidikan vak yang dimana mungkin disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang khas dari masyarakat sekelilingnya.

3) Uraian yang berisi pesan-pesan dari Mr. Sudarman Gandasubrata tentang “Integrasi Karya para narapidana dalam ekonomi nasional” yang antara lain memuat : bahwa soal integrasi karya para narapidana dalam ekonomi nasional bagi negara kita lebih-lebih merupakan soal yang patut ditinjau lebih dalam mengingat Indonesia adalah suatu negara yang dalam perekonomiannya sedang berkembang dan, bahwa dengan integrasi itu maka akan tercapai tiga tujuan antara lain resosialisasi para narapidana (1961).

4) Peristiwa peresmian pemakaian gedung Rumah Pendidikan Negara di Blitar dalam bulan Januari 1962, dimana hadir selain Kepala Jawatan Kepenjaraan juga Menteri Kehakiman, serta pembesar-pembesar Sipil dan Militer. Peristiwa ini sebetulnya merupakan tonggak sejarah yang sangat berarti dalam sejarah “Pemasyarakatan” karena pada peristiwa inilah sebetulnya Menteri Kehakiman Saharjo “menghantarkan” falsafah “pemasayarakatannya” pertama ke masyarakat. Di bawah ini akan diungkapkan sebagian dari pidato Menteri Kehakiman Saharjo pada peresmian pembukaan gedung Rumah Pendidikan Negara Blitar yang dimulai dengan judul : “Tugas Jawatan Kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman kehilangan kemerdekaan saja; Tugas yangjauh lebih berat akan tetapi yangjuga jauh lebih murni adalah mengembalikan orang-orang yangdijatuhi pidana itu kedalam masjarakat. Janganlah narapidana diasingkan dari masjarakat, melainkan mereka harus dikenalkan. Sjarat “belum pernah dihukum” yangkadang-kadang diminta untuk menerima bekerja seseorang adalah tidak segaris dengan tugas negara untuk memasjarakatkan para narapidana; yangdimaksudkan sesungguhnya ialah “berkelakuan baik”.
Pekerjaan narapidana harus diselaraskan dengan ekonomi nasional dan pembangunan semesta.
Anak-anak nakal tetap termasuk harapan bangsa, yangmereka perlukan ialah pembimbingan.

Judul yang panjang lebar yang juga mengandung suatu introduksi; yang juga diulangi selama berlanjutnya pengucapan pidato. Dalam pidato itu juga dikemukakan sebagai berikut :
“Kami titikberatkan kepada tugas pemasyarakatan dan berhubungan dengan itu maka nama Jawatan Kepenjaraan kami akan rubah dengan Jawatan Pemasyarakatan;. ”Mengenai anak-anak dikatakan: “Yang mereka perlukan adalah didikan dan bimbingan yang karena sesuatu hal ada kekurangan pada mereka ...” Sebagai penutup sambutan dikatakan: “Demikianlah kami menghantarkan lembaga pendidikan negara dengan anak-anak Rumah Pendidikan Negara ke dalam masyarakat Indonesia dan semoga menyambutnya dan menerima sungguh-sungguh sebagai anak Negara”.

Dari kejadian-kejadian yang diungkapkan di atas sebagai peristiwa sejarah jelas bahwa istilah “pemasyarakatan” telah dipergunakan sejak tahun 1962, dan kalau isi dari apa yang menyebabkan timbulnya istilah “pemasyarakatan” itu ditelaah dan diperbandingkan dengan apa yang terkandung dalam isitilah “resosialisasi”, maka akan nampak bahwa perbedaan-perbedaan yang prinsipil tidak terdapat.

Istilah “pemasyarakatan” yang oleh Kepala Jawatan Kepenjaraan Sudarman Gandasubrata dipergunakan dalam surat-surat edarannya tanggal 26 Maret 1962 No. J.H.8.6/71 dan tanggal 23 April 1962 No. J.H.8.1/40 itu sebelumnya oleh beliau sendiri dirasakan kurang cocok, karena tidak lain daripada penterjemahan dari istilah “resosialisasi”. Hal ini dikemukakan kepada Inspektur Kepenjaraan Bahrudin Suryobroto, sewaktu pejabat ini baru kembali dari tugas belajar di luar negeri, yang kemudian dimintanya untuk memberi penjelasan melalui uraian singkat secara tertulis dan gambar schema tentang “resosialisasi”.

Penggunaan istilah yang berlainan untuk maksud-maksud yang sama dengan latar belakang falsafah yang sama di bidang korreksi tak jarang pula menimbulkan “pertukaran-pertukaran pikiran” yang kadang menjelma menjadi “perdebatan yang sengit”.

Bahwa di Indonesia demikian ini tidak sampai terjadi merupakan suatu keajaiban.

Peristiwa yang penting lainnya dan yang menonjol dalam sejarah kepenjaraan yang terjadi dalam periode ketiga ini ialah dibentuknya inspektorat-inspektorat kepenjaraan, yang kemudian pada tahun 1964 menjadi wilayah-wilayah pemasyarakatan. Inspektorat-inspektorat pemasyarakatan dimaksudkan sebagai usaha desentralisasi kepemimpinan, dan pertama-tama dibentuk di Medan (Inspektorat Kepenjaraan I) dan di Surabaya (Inspektorat Kepenjaraan II), berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 23 November 1960 No. J.H.6.8./3/25, masing-masing di bawah pimpinan inspektur-inspektur wilayah yang pertama: Sumoarjo dan Taraman Purba, yang keduanya tadinya berkedudukan di Kantor Pusat Jawatan.

Kemudian melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Tanggal 13 Juni 1961 No. J.S.8/47/2 Pembentukan Inspektorat-inspektorat Kepenjaraan ini diperluas dan diberi urutan baru sebagai berikut :

Inspektorat Kepenjaraan I tetap di Medan
Di bawah Inspektur Sumoarjo
Inspektorat Kepenjaraan II di Jakarta
Di bawah Inspektur Bahrudin Suryobroto

Inspektorat Kepenjaraan III di Bandung
Di bawah Inspektur Hamjah
Inspektorat Kepenjaraan IV di Semarang
Di bawah Inspektur Waliman
Inspektorat Kepenjaraan V di Surabaya
Di bawah Inspektur Taraman Purba
Inspektorat Kepenjaraan VI di Makasar
Di bawah Inspektur Hudoro Santowinoto
Inspektorat Kepenjaraan VII di Denpasar
Di bawah Inspektur M. Suntoro

Dalam periode ini pula secara resmi dipergunakan istilah-istilah “narapidana” untuk “orang hukuman”, “tindakan penertiban” untuk “hukuman disiplin”, “pidana” dan istilah “hukuman”, “tahanan pencegahan” untuk “tahanan preventief” dan “tahanan sandera” untuk “di-gidzel. Penggantian-penggantian istilah ini, yang khusus berlaku untuk lingkungan kepenjaraan ditentukan melalui surat edaran Kepala Jawatan Kepenjaraan tanggal 14 November 1960 (tidak bernomor). Istilah “narapidana” sebetulnya berasal dari pemikiran R.A. Kusnun, S.H. dan diartikan sebagai : “Nara = kaum” + “pidana=hukuman”.

Belakangan ini orang lebih suka mempergunakan istilah terpidana, seperti halnya juga terdakwa, tersangka, yang lebih relevan dengan adanya pandangan-pandangan baru di bidang kriminologi dan penologi, terutama di kalangan perguruan tinggi.

Sejak tahun 1960-an di bidang kriminologi nampak adanya pergeseran-pergeseran pandangan mengenai kejahatan.
Kalau dulu yang dijadikan fokus dari perhatiannya ialah individu-individu pelaku kejahatan, maka sejak tahun 1960-an fokus perhatian ini mulai bergeser kepada keadaan di sekitar lingkungan kehidupan pelaku kejahatan (tata kehidupan masyarakat dan strukturnya) (tata peradilan pidana dan pengaruh dari peranannya) dan sebagainya.
Juga di kalangan ahli-ahli korreksi nampak adanya pergeseran pandangan ini, seperti halnya juga diantara beberapa ahli korreksi/pemasyarakatan di Indonesia.
Istilah terpidana yang baru timbul ± pada pertengahan tahun 1970-an ada kaitannya dengan penggeseran tempat ini.
Awalan TER dari kata Ter-pidana menurut ejaan bahasa sejajar dengan awalan TER dari kata-kata Ter-sangka, Ter-dakwa, Ter-tuduh, Ter-hukum, Ter-penjara, dan sebagainya. Apakah awalan TER itu tidak secara implisit mengandung pula unsur ketidaksengajaan?
Awalan TER dari kata terpidana tidak secara implisit mengandung unsur ketidaksengajaan!
Seperti halnya juga awalan TER dari kata Ter-pilih dan semacam itu. Seorang ketua kelompok yang terpilih adalah sengaja dipilih. Yang dapat dibenarkan ialah kalau awalan TER kata terpidana itu dikaitkan dengan adanya status “kebetulan”. Pendapat ini sesuai dengan apa yang oleh Louis P. Carney digambarkan sebagai “iceberg, syndrome”. Carney antara lain menyatakan sebagai berikut: “We must ask our selves if it is valid to look at the ”criminal” ask a distinct type and the object of research, when the same behavior has been replicated by nomerous others who are not called criminals, simply because the have not been cought....
May we not be entitled to paraphrase Winston Churchill and declare, “Never before in the history of human conduct has so much (crime) been atributed to so few (caught) by so many (uncaught)?
(Louis P. Carney : “Introduction to Correctional Science” ; 1979; halaman 12).

Kita wajib menanya kepada diri kita sendiri, apakah ada dasar yang dapat diterima kebenarannya untuk memandang seseorang “penjahat” sebagai suatu tipe yang ada kelainannya (dengan orang lain)? dan sebagai objek penelitian, kalau kita mengingat bahwa perilaku yang sama berulang kali dilakukan oleh orang-orang lain yang banyak sekali jumlahnya, yang tidak disebut penjahat (tidak diberi julukan penjahat), hanya karena mereka tidak pernah tertangkap.................. Apakah kita tidak berhak untuk menunjuk kepada kata-kata Winston Churchill dan menyatakan : “tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah tentang kelakuan manusia, bahwa sebegitu banyak (kejahatan) telah dipersalahkan kepada sebegitu yang sedikit (yang tertangkap) oleh sebegitu yang banyak (yang tidak tertangkap) (terjemahan bebas).
Gambaran yang serupa terdapat pula pada penyataan-pernyataan dari Karl Menninger : “This is the system. This is the way we do it. A hand full of men, relatively, have been cought and convicted and consigned to the prison, while most offenders remain at large.......The prison,.... or old, gloomy, grimy lockups are full of people..... they are full of men, labelled criminal “because they got caught at samething and convicted of something for bidden” ...... (Karl Menninger : “Crime against criminals” dalam “the Crime of Punishment”; 1970; halaman 88).

Inilah sistemnya. Inilah cara kita melakukannya. Segelintir manusia, secara relatif, telah ditangkap dan dihukum dan ditampung dalam rumah-rumah penjara, sementara sebagian besar dari pelanggar-pelanggar hukum tetap berada dalam kebebasan .............. rumah penjara ......... atau tempat-tempat penahanan yang tua, mesum dan kejam menyeramkan, penuh dengan manusia. Tempat-tempat itu penuh dengan manusia, yang diberi cap jahat, karena mereka tertangkap tentang sesuatu dan dihukum karena sesuatu yang dilarang ..... (terjemahan bebas).

Terpidana adalah orang-orang yang tidak untung, karena diantara pelanggaran-pelanggaran yang diketahui hanya sebagian dari pelakunya yang diketahui (dark number), dari pelaku-pelaku yang diketahui hanya sebagai yang ter-tangkap, dari yang tertangkap hanya sebagian yang dituntut, dari yang dituntut hanya sebagian yang dikenakan pidana (terpidana), dari yang terpidana hanya sebagian yang melakukan lagi tindak pidana.

Dikaitkan dengan adanya pendapat-pendapat tentang adanya selektifitas dibidang tata peradilan pidana, dikaitkan pula dengan teori-teori tentang stigmatisasi (labelling theory) dan dikaitkan pula dengan adanya pengidentifikasian baru tentang kejahatan, seperti “kejahatan konvensional” (Conventional Crime) dan “kejahatan non konvensional” (nonconventional crime) (yang terakhir ini menyangkut pelanggaran-pelanggaran terhadap hak hak asasi manusia seperti di Vietnam dan sebagainya) maka istilah terpidana lebih dapat dipertanggungkan secara ilmiah dari pada istilah narapidana yang secara tidak sengaja membawa serta kecenderungan untuk melabel, dan yang secara harfiah dapat pula diartikan sebagai tukang atau juru-pidana (narapidana) (hakim atau petugas pemasyarakatan).

Istilah “nara-pidana” pada suatu ketika pernah pula dicela oleh almarhum Presiden Sukarno karena “nara” dapat pula diartikan “vorst” (adapula yang mengartikan “nara” = “juru”, “ahli”).

Rumah penjara oleh Bung Karno disebut Rumah Kurungan (lihat: surat dari Sukamiskin-Di bawah Bendera Revolusi).

Kejadian yang lainyang patut pula disebut ialah : Ditunjuknya oleh Pemerintah Republik Indonesia Kepala Jawatan Kepenjaraan Mr. Sudarman Gandasubrata dan Bahrudin Suryobroto sebagai koresponden tetap dengan Departemen Urusan Sosial PBB dan sebagai Penasehat Sekretaris Jenderal PBB dalam lapangan “Prevention of Crime and Treatmene of Offenders”. (Srt. Menteri Luar Negeri tanggal 23 September 1961 no. 48455/VIIC.

Peristiwa yang penting yang jarang terjadi didunia korreksi ialah dikeluarkannya surat edaran Menteri Pertama Republik Indonesia tanggal 1 Februari 1962 no. 3222/62 mengenai “Syarat tidak pernah dihukum” dalam mana Menteri Pertama R.I minta kepada Para Menteri supaya melarang semua instansi dalam lingkungan kekuasaannya, termasuk PN-PN untuk mencantumkan syarat “tidak pernah dihukum” bagi panggilan atau penerimaan calon siswa, pegawai pekerja dan lain sebagainya.
SEJARAH PEMASYARAKATAN

Bagian ke III

ZAMAN PEMASYARAKATAN

(1963 - 1981)





BAB I (Khusus)

LAHIRNYA SISTEM PEMASYARAKATAN
PERIODE PEMASYARAKATAN KESATU
(1963 – 1966)


Periode Pemasyarakatan kesatu terdiri dari dua sub periode : Sub periode pertama, berlangsung dari tahun 1963 sampai pertengahan tahun 1964 (27 April 1964);
Sub periode kedua berlangsung dari 27 April 1964 sampai permulaan tahun 1967.

Dalam periode Pemasyarakatan kesatu ini ada dua peristiwa besar yang terjadi :Peristiwa pertama, terjadi pada tanggal 5 Juli 1963, yakni penggelaran Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia kepada Saharjo, SH., Menteri Kehakiman merangkap Menko Hukum dan Dalam Negeri pada waktu itu; peristiwa kedua terjadi pada tanggal 27 April 1964, yakni dimulainya Konperensi Nasional Kepenjaraan di Lembang Bandung yang berlangsung hingga tanggal 7 Mei 1964. Konperensi Dinas di Lembang ini didahului oleh Amanat Presiden Republik Indonesia (tertulis) tertanggal Jakarta 27 April 1964.

Sub periode pertama.

Permulaan dari Sub periode pertama ini ditandai dengan adanya dua orang penguasa yang menjalankan pucuk pimpinan jawatan : seorang sebagai pejabat Kepala Jawatan Kepenjaraan Urusan Teknis dan seorang lagi sebagai pejabat Kepala Jawatan Kepenjaraan Urusan Administratif. Adanya dua orang pejabat Kepala Jawatan Kepenjaraan ini disebabkan karena Kepala Jawatan Kepanjaraan yang lama, Mr. Sudarman Gandasubrata pada akhir tahun 1962 menjalankan cuti besarnya, bersambung pengunduran dirinya dari jawatan dengan hak pensiun. Keadaan di atas ini berlangsung selama kurang lebih 4 bulan (sampai 1 April 1963).
Sejak 1 April 1963 fungsi Kepala Jawatan Kepanjaraan dipegang oleh Drs. Saroso (yang sebelumnya ditunjuk sebagai pejabat Kepala Jawatan Kepenjaraan Urusan Administrasi), dan sebagai wakil Kepala Jawatan ditetapkan Bahrudin Suryobroto (yang sebelumnya ditunjuk sebagai pejabat Kepala Jawatan Kepenjaraan Urusan Teknis).

Dalam Sub periode yang amat singkat ini terjadilah peristiwa yang besar dibidang hukum yaitu konsep hukum nasional yang oleh konseptornya Saharjo, SH., digambarkan dengan sebuah pohon Beringin yang melambangkan Pengayoman. Peristiwa yang besar ini terjadi di Istana Negara pada tanggal 5 Juli 1963 dengan dianugrahkannya gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum oleh Universitas Indonesia kepada Saharjo, SH., dimana hadir pula Presiden Republik Indonesia Sukarno. Dalam pidato yang diucapkan oleh Doctor Saharjo, SH. Sehubungan dengan penganugrahan ini, beliau memberi penjelasan tentang bagaimana seharusnya hukum di Indonesia yang berkepribadian nasional. Dibawah ini adalah beberapa catatan tentang pidatonya :

“Di dalam alam Pantjasila/Manipol/Usdek itu, rasa dan penglihatan kita tentang hukum, tentang kedudukan hukum, tentang fungsi dan sifat-sifat hukum, menjadi rasa penglihatan hukum dari alam kita sendiri, menjauh dari rasa dan penglihatan hukum dari alam ajaran.

Selaras dengan rasa dan penglihatan hukum itu, konsepsi kami tentang Hukum Nasional kami gambarkan dengan sebuah pohon Beringin yang melambangkan Pengajoman”.

Selanjutnya beliau meneruskan :

“..... Gambar yang lebih berbitjara daripada kata-kata........”
“...... Pohon Beringin sebagai lambang bukanlah hasil pemikiran intellectualistis. Tjara menggambarnya pun (oleh pelukis Derachman) tidak dipikir-pikir.....”

“Pohon Beringin Pengajoman adalah sejiwa, sealam, sebathin dengan Pantjasila/Manipol/Usdek, atau Pohon Beringin Pengajoman adalah Hukum Pantjasila/Manipol/Usdek.........”
Dan menengenai kedudukan hukum beliau berkata :

“Kedudukan hukum ialah landasan dasar dan alat negara dan didalam revolusi, landasan, dasar dan alat revolusi”.

Dalam pidato penganugrahan ini pulalah Doctor Saharjo, SH sedikit banyak sebagai official dari Departemen Kehakiman mempekenalkan istilah “pemasyarakatan” dalam forum yang sifatnya nasional. Dalam forum ini beliau menyataran :

“Di bawah Pohon Beringin Pengajoman yangtelah kami tetapkan untuk menjadi penjuluh bagi petugas dalam memperlakukan narapidana maka tujuan pidana penjara kami rumuskan :
disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaja ia menjadi seorang anggota masjarakat sosialis Indonesia yangberguna.

Dengan singkat tujuan pidana penjara ialah pemasjarakatan”.......

Dalam pidatonya mengenai terpidana diungkapkan pula beberapa segi yang berasangkutan dengan perlakuan terpidana antara lain apa tang terkandung dalam pencabutan kemerdekaan sebagai pidana, apa indentitas dari pidana penjara, tentang pekerjaan dan didikan yang diberikan kepada terpidana, dan segi-segi kemanusiaan dari seorang yang terpidana.

Penggelaran kedoctoran Saharjo, SH. Ini dihadiri pula oleh Inspektur-inspektur Kepenjaraan yang datang di Jakarta tidak untuk menghadiri upacara itu saja, melainkan juga dalam rangka rapat dinas dan temu muka dengan Menteri Kehakiman Dr. Saharjo, SH. Rapat dinas membicarakan masalah-masalah routine dan organisasi.

Dalam temu muka dengan Menteri Kehakiman oleh beliau dipesankan agar gagasan-gagasan dikembangkan, terutama pelaksanaannya secara tehnis.

Di dalam mempopulerkan gagasan-gagasannya tentang “pengayoman” dan “pemasyarakatan” tidak jarang oleh Menteri Kehakiman Dr. Saharjo diadakan pertemuan-pertemuan dengan sesepuh-sesepuh Kehakiman, yakni para bekas Menteri Kehakiman dantara lain Wongsonegoro, Pellupessy, Moh. Nasrun dan juga Takdir Alisyahbana serta Umar Seno Aji. Selain pertemuan-pertemuan yang sifatnya akrab juga diadakan rapat-rapat yang sifatnya formal, antara lain dengan pejabat-pejabat terkemuka di Departemen Dalam Negeri. Dalam rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan ramah tamah tersebut Menteri Kehakiman Dr. Saharjo minta supaya wakil Kepala Jawatan Kepenjaraan Bahrudin Suryobroto ikut serta mendampinginya untuk membantu memberikan penjelasan dan penerangan. Salah satu prinsip yang dikemukakan oleh Wakil Kepala Jawatan tersebut dalam kesempatan ini dan oleh Menteri Kehakiman Dr. Saharjo dimufakati juga ialah supaya jangan memandang terpidana semata-mata sebagai seorang manusia yang “incompeet gesocialiserd” (tidak lengkap sosialisasinya) karena masalah kelengkapan atau tidaklengkapan itu sangat relatif. Diantara terpidana banyak pula orang-orang biasa, yang terpelajar dan lain sebagainya yang tidak berbeda dengan orang-orang yang tidak terpidana. Dikemukakan pula pada kesempatan itu oleh Bahrudin Suryobroto kepada Dr. Saharjo supaya jangan memandang terpidana sebagai manusia yang tak berguna atau belum berguna, sehingga masih perlu dibimbing supaya menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat. Walaupun beliau setuju dengan pandangan ini namun beliau berpendapat supaya prinsip ini jangan diperdengarkan dimuka umum.

Dari pembicaraan-pembicanaan secara pribadi tersebut tadi nampak bahwa semula yang terkandung dalam ide pemasyarakatan itu tidak lain daripada “resosialisasi” yang sudah sejak lama dijadikan prinsip oleh Kepala-Kepala Jawatan Kepenjaraan sebelumnya, antara lain (Mr. Rusbandi) dalam hal memperlakukan pelanggar hukum, khususnya pelanggar hukum terpidana. Hal ini pulalah yang pada suatu waktu menjadi buah “pertukaran fikiran” antara Menteri Kehakiman Dr. Saharjo dengan bekas Kepala Jawatan Kepenjaraan Bahrudin Suryobroto, yang telah secara terus menerus mengikuti pekembangan-perkembangan dibidang kepenjaraan itu, “apakah betuh ide resosialisasi itu telah lama menjadi prinsip dalam hal memperlakukan para terpidana”, yang oleh Wakil Kepala Jawatan Kepenjaraan tersebut dibenarkan dan karenanya disarankan kepada Menteri untuk tidak mengartikan, Pemasyarakatan” dengan menterjemahkan kembali” istilah “pemasyarakatan” sebagai “resosialisasi”, hal mana disetujui oleh Menteri dengan pesan supaya arti “pemasyarakatan” itu dikembangkan.

Dari kejdaian-kejadian bersejarah ini dapat disaksikan bahwa Menteri Kehakiman Dr. Saharjo sangat berhasrat untuk terus mengembangkan idenya sehingga gagasannya itu benar-benar mempunyai identitas Indonesia. Akan tetapi beliau tidak sempat untuk meneruskan hasratnya yang sangat besar dan mulya itu dan tidak lama sesudah itu beliau meninggal dunia, disusul kemudian oleh pembantu-pembantu menterinya Mr. Rusbandi. Dengan mangkatnya kedua putra Indonesia pejuang kemanusiaan ini, Jawatan Kepenjaraan kehilangan dua orang pahlawannya yang membawa Jawatan ke orbit kemajuan yang lebih tinggi, bukan itu saja, Negara republik Indonesia kehilangan pahlawan dibidang penegakan Hukum dan Keadilan.

Dengan meninggalnya Menteri Kehakiman Dr.Saharjo, SH, maka jabatan Menteri Kehakiman untuk sementara waktu dirangkap oleh Ketua Mahkamah Agung Mr. Wirjono Projodikoro, yang juga Menteri Kompartemen (Menko) Hukum dan Dalam Negeri.

Pada tanggal 12 Desember 1963 diangkat dan dilantik Astrawinata, SH. Sebagai Menteri Kehakiman yang baru.
Sama halnya dengan almarhum Dr. Saharjo, SH. Semasa hidupnya, Menteri Kehakiman yang baru. Astrawinata, SH. menaruh minat yang besar sekali terhadap urusan kepenjaraan yang pada waktu sedang dalam transisi ke urusan pemasyarakatan. Dibantu oleh Pembantu Menterinya Urusan Tehnis, Imam Barjo, SH. yang mengadakan regenerasi dibidang Kehakiman, khususnya Kepenjaraan yang sedang dalam transisi itu, didahului oleh kunjungan-kunjungan langsung di seluruh Indonesia terhadap rumah-rumah penjara dan Kantor-Kantor Pengadilan Negeri.

Sambil menunggu Keputusan Presiden R.I tentang susunan organisasi departemen-departemen berdasarkan pokok-pokok organisasi aparatur Pemerintahan Negara dan pedoman-pedoman tata kerja, Astrawinata, SH. selaku Menteri Kehakiman mengeluarkan surat keputusan sementara tentang Tugas dan Organisasi Departemen Kehakiman (tanggal 12 Februari 1964 no. J.S.4/4/4.) yang antara lain membagi departemen dalam direktorat-direktorat, termasuk Direktorat Pemasyarakatan (nama Pemasyarakatan menggantikan nama Kepenjaraan tanpa melalui surat keputusan yang khusus).

Untuk merealisasikan dan meneruskan cita-cita Dr. Saharjo mengenai urusan pemasyarakatan dan lebih-lebih dalam rangka pelaksanaan Amanat Presiden Republik Indonesia pada pelantikannya sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia di Istana Negara yang berisi pesan-pesan yang khusus mengenai tata hukum di Indonesia, bersamaan dengan pelantikan Mr. Wirjono Projodikoro sebagai Menteri Koordinator Kompartemen Hukum dan Dalam Negeri, serta Ui Tju Tat, SH sebagai Menteri Negara diperbantukan kepada Presidium Republik Indonesia, Astrawinata mendorong Kepala Direktorat Pemasyarakatan untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menyelenggarakan Konperensi Dinas Pemasyarakatan yang sifatnya nasional.

Konperensi Dinas ini terjadi pada tanggal 27 April 1964 di Lembang, dekat Bandung dan mengambil thema-thema pokok sebagai berikut :

Thema pokok yang pertama : “Pelaksanaan Tehnis Pemasyarakatan” dengan Bahrudin Suryobroto, wakil Kepala Direktorat sebagai pembawa makalahnya;
Thema pokok yang kedua : “Perusahaan Lembaga Pemasyarakatan” dengan Drs. Saroso, Kepala Direktorat sebagai pembawa makalahnya.

Hadir pada Konperensi Dinas di Lembang selain unsur-unsur pimpinan pusat, semua Kepala Inspektorat Pemasyarakatan dan semua Direktur Pemasyarakatan serta Direktur-Direktur Rumah-Rumah Pendidikan Negara.

Pada permulaan konperensi hadir pula Menteri Kehakiman, dan selama berlangsungnya konperensi hadir Pembantu Menteri Kehakiman Urusan Tehnis, Imam Barjo, SH Konperensi Dinas di Lembang dihadiri pula oleh Paul Mudigdo, SH., sebagai urusan dan peninjau dari Universitas Indonesia merangkap sebagai utusan dan peninjau dari Universitas “Pajajaran”.
Oleh Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Departemen Sosial, Kepolisian Negara, Sekretaris MPRS Munajat, SH., Departemen Perburuhan, Penerangan, Perindustrian dan lain-lain.

Sambutan pertama dan pengarahan diberikan oleh Menteri Kehakiman dan pengarahan tambahan diberikan oleh Pembantu Menteri Kehakiman, Imam Bardho, SH.

Konperensi didahului pembukaannya dengan pembacaan Amanat Presiden Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :


Amanat Presiden Republik Indonesia.

1. Apa yang dulu dinamakan Kepanjaraan sekarang telah di retool dan diretool dan direshape menjadi Pemasyarakatan selaras dengan Manipol-Usdek.

2. Pemasyarakatan sebagai salah satu alat revolusi dalam mentjapai masjarakat sosialis Indonesia, diresapi oleh idee Pengajoman dan bertujuan membimbing dan mendidik narapidana agar menjadi peserta aktip dan militant dalam penyelesaian revolusi Indonesia.

3. Dengan menjadari bahwa tiap manusia adalah machluk Tuhan yanghidup bermasjarakat maka dalam sistim Pemasjarakatan Indonesia para narapidana di integrasikan dengan masjarakat dan diikutsertakan dalam Pembangunan Ekonomi Negara setjara aktip-opensip agar dapat menimbulkan diantara mereka rasa turut bertanggung jawab dalamm usaha bersama mengamankan revolusi.

4. Dalam rangka Nation Bulding dan Character building para petugas pemasjarakatan hendaknya melakukan tugasnya dengan ichlas dan penuh keinsjafan tentang idee dan dasar Pemasjarakatan Indonesia.

5. Dengan memberi restu pada Konperensi Kerja ini semoga Saudara-saudara memperoleh hasil yangberguna bagi Nusa dan Bangsa.

Jakarta, 27 April 1964
Presiden Republik Indonesia



Sukarno.
ambutan selanjutnya diberikan oleh Menteri Kehakiman Astrawinata, SH dan kemudian menjelang berlangsungnya Konperensi Inti oleh Pembantu Menteri Kehakiman Imam Barjo, SH.

Pembahasan pertama dalam Konperensi Dinas di Lembang itu mengenai prasaran Bahrudin Suryobroto tentang “Pelaksanaan Tehnis Pemasjarakatan”. Dalam prasrananya Bahrudin antara lain mengatakan bahwa formulering yang jepas oleh almarhum dr. Saharjo, SH tentang “Pemasyarakatan” belum diberikan. Dalam prasarananya Bahrudin selanjutnya mengatakan bahwa “Pemasyarakatan” bukan hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan sebagai suatu proses yang bertujuan pemulihan kembali kesatuan hubungan (integritas) (integriteit) kehidupan dan penghidupan, yang terjadin antara individu terpidana dan masyarakat, menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Pemulihan Kesatuan Hubungan ini hanya dapat dicapai melalui proses gotong-royong, dimana terpidana harus pula ikut serta secara aktif.

Dalam prasaran itu pula ditegaskan bahwa pemasyarakatan tidak sama dengan resosialisasi, karena pemasyarakatan dalam gerak usahanya tidak berpusat kepada individu terpidana (tidak berfokus kepada individu terpidana) melainkan kepada apa yang pada waktu itu diistilahkan sebagai “integriteit” kehidupan dan penghidupan. (istilah “integriteit atas anjuran Paul Mudigdo, SH menjadi “kesatuan hubungan”).

Prasaran Bahrudin Suryobroto mengenai “Pelaksanaan Tehnis Pemasyarakatan” ini diterima oleh Konperensi Dinas secara aklamasi.

Konperensi Lembang inilah yang memberi arti lain kepada istilah “pemasyarakatan”, daripada yang diartikan sebelumnya, kalau sebelumnya istilah pemasyarakatan diartikan sebagai pengembalian “si terpidana” ke masyarakat sebagai anggotanya yang berguna maka pada Konperensi Lembang “pemasyarakatan” diartikan sebagai pengembalian “kesatuan hubungan (integriteit) hidup kehidupan penghidupan” yang didalamnya antara lain terdapat seorang terpidana. Karena itu pula kata “pemasyarakatan” sebelum Konperensi Lembang merupakan kata yang “Aktif” sefihak sedang kata “pemasyarakatan” pada Konperensi Lembang dinyatakan sebagai kata yang “interaktif”. Di dalam sifat kata yang “interaktif” ini pula letaknya sifat kegotong royongan. Jadi letak pandangan yang prinsipil antara pemasyarakatan sebelum Lembang dan pemasyarakatan sesudah Lembang yang berada dalam fokus adalah “kesatuan hubungan” hidup-kehidupdan-penghidupan, dimana antara lain terpidana berada didalamnya. Menempatkan seorang terpidana dalam fokus perlakuan secara eksklusif menurut prae-advies Lembang adalah individualistis. Oleh karena itu maka pagi-pagi sekali pada permulaan prasaran itu dinyatakan sebagai berikut :

“Hingga saat ini masih banjak terdapat perselisihan faham dan keraguan tentang apa yangdimaksudkan dengan Pemasjarakatan, dan akibatnya nampak sekali dalam pelaksanaan-pelaksanaannja. Sebagian pelaksanaan dalam gerak usahanya mengidentiek=kan Pemasjarakatan itu dengan pemberian kelonggaran-kelonggaran yanglebih banjak kepada para narapidana, dengan jalan membiarkan mereka berkelujuran diluar tembok, sebagian pelaksanaan mewujudkan Pemasjarakatan itu sebagai fase behandeling (perlakuan) terachir, sebagai overgangs fase dari dalam tembok ke tengah-tengah masjarakat, sebagian lagi menjamakan Pemasjarakatan itu dengan resosialisasi. Ada sebagian pula yangmasih berpegang teguh kepada dalil-dalil yanglama dalam mewujudkan tindakan-tindakannja, seperti dalil-dalil Pembalasan, Penjeraan, Penutupan (Pengasingan), Reformasin atau Rehabilitasi.

Pengaruh-pengaruh yang telah berkarat dari alam fikiran Liberal adalah sebab yang utama dari berbagai-bagai tafsiran mengenai Pemasyarakatan itu.
Selanjutnta dalam prae-advies (yang kemudian diterima secara aklamasi) itu ditandaskan :

“Kalau gerak usaha menurut Konsepsi liberal terutama berpusat kepada individu (narapidana dsb) yang bersangkutan dan ditujukan pula kepada individu yangbersangkutan, maka kepada integriteit kehidupan dan penghidupan dimana individu yangbersangkutan (narapidana dsb) adalah salah satu dari anggotanya (element-nja), dan merupakan getaran-getaran kegotong royongan yangdynamis, yang bergerak dengan dan di tengah-tengah integriteit itu”.

Demikian peristiwa bersejarah yang terjadi di Lembang dekat Bandung, yang juga membuahkan konsep baru tentang manusia pelanggar hukum, antara lain sebagaimana ditegaskan dalam prasaran pertamanya, yakni :

Bahwa perbuatan yang berupa pengingkaran terhadap norma masyarakat (yang tidak dibenarkan oleh masyarakat) adalah sesuatu yang tidak mutlak; bahwa individu yang melakukan perbuatan itu tak lain daripada seorang manusia juga, yang sebagai makhluk yang hidup bermasyarakat, dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan itikad baik dan dengan potensi-potensi penyesuaian terhadap persoalan-persoalan/kebutuhan-kebutuhan yang dihadapinya di dalam kesatuan hubungan (integriteit) kehidupannya dan penghidupannya; bahwa pengingkaranterhadap tata cara hidup yang berlaku dalam lingkungan kesatuan hubungan kehidupan dan penghidupannya itu adalah caranya sendiri menyesuaikan dirinya sebagai manusia pula, dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup yang timbul karena kompleksnya kehidupan dan penghidupan yang berlangsung dalam kesatuan hubungan kehidupannya dan penghidupannya yang kian makin meningkat; bahwa ia sesungguhnya tidak suka ketinggalan dalam mengikuti derap kehidupan dari kesatuan hubungan itu, akan tetapi karena ia tertinggal dan ditinggalkan dalam mengikuti derap kehidupan dan penghidupan itu lalu ia menyesuaikan diri iru terletak pula pada masyarakat sendiri, karena tertinggalnya dan ditinggalkannya individu yang bersangkutan dalam mengikuti derap kehidupan masyarakat itu yang penuh dengan kompleksitas.

Dikatakan selanjutnya dalam prasaran pada Konperensi Lembang bahwa ketidakmutlakan dari sesuatu keadaan adalah suatu hal yang benar pula bagi tiap-tiap elemen lainnya yang tersangkut dalam proses Pemasyarakatan, seperti fihak yang menjadi korban, fihak yang bersangkutan dengan penangkapannya (Polisi), serta pengusutan perkaranya (Jaksa) dan fihak-fihak lain (Hakim dann lain-lain). fihak-fihak yang bersangkutan ini, baik yang langsung maupun tidak langsung, adalah semua terdiri dari manusia-manusia, jadi juga yang mempunyai itikad baik sebagai karunia Tuhan.

Selanjutnya dinyatakan dalam prasaran bahwa merekapun sebagai manusia ingin hidup dalam perdamaian dengan sesama manusianya dan dalam mempertahankan integriteit (kesatuan hubungan) kehidupan dan penghidupannya, sebagai manusia pula, mereka tidak ingkar untuk memberikan maaf kepada sesamanya pada waktunya. Dikatakan selanjutnya dalam prasaran bahwa pemulihan kesatuan hubungan hanya dapat dicapai melalui suatu proses, yakni proses kegotongroyongan (yang merupaka ciri khas dari kehidupan ber Pancasila). Proses inilah yang harus diutamakan dan bukan programnya. Program hanya merupakan penunjang dari proses. Proses ini diantarkan oleh keputusan Hakim, yang juga dianggap mewakili masyarakat. Dikatakan pula dalam prasaran bahwa hakim itupun manusia dengan sifat-sifat kemanusiaannya yang terbatas, dan karena kemampuan dari Hakim, sebagai seorang manusia itu, terbatas pula, maka apa yang telah ditentukan oleh Hakim dalam keputusannya tidak mutlak harus berlaku secara terus menerus menurut sifat lamanya yang semula. Keputusan Hakim hanya memberi gambaran yang singkat tentang sifat dan lamanya proses pada waktu permulaan akan tetapi tidak berisi gambaran-gambaran tentang perkembangan-perkembangan selanjutnya (yang tidak sama bagi tiap-tiap terpidana) yakni sesudahnya keputusan hakim dijatuhkan dan dijalankan. Karena itu dalam prasaran Lembang dikatakan bahwa didalam proses itu ada pula suatu sikap, dan sikap dari proses itulah yang harus selalu diselami dan disynchronisir melalui penyematan-penyematan dari semua elemen yang terlibat dalam proses setiap waktu untuk keperluan penentuan sikap dari proses selanjutnya.

Dari adanya gambaran tentang sikap perspektif dari sikap itu dapat ditarik kesimpulan bahwa proses itu tidak dipaksanakan, melainkan menurut istilah pemrasaran pada Konperensi Lembang pula bersifat “Self propelling”.
Selanjutnya dikatakan bahwa proses itu dapat berjalan cepat atau lambat dan kecepatan dan kelambatan itu tergantung kepada kegairahan kegotongroyongan dari semua elemen yang terlibat, jadi bukan saja elemen pegawai dan terpidana, melainkan juga elemen masyarakat.
Dalam pembahasan tentang prasaran tentang Sistem Pemasyarakatan ini, yang kemudian disetujui oleh konperensi secara aklamasi itu, oleh salah seorang peserta (Sujono dari Irian Barat) dipertanyakan apakah Sistem Pemasyarakatan sebagai proses tidak sama dengan sistem klasifikasi sebagai proses, sebagai diartikan di Amerika Serikat ? yang oleh pemrasaran (Bahrudi Suryobroto) dijawab “tidak sama”, karena sistem klasifikasi sebagai proses tidak mengikutsertakan secara aktif dan positif elemen masyarakat, sedang yang menjadi fokus pada sistem klasifikasi adalah individu terpidana, berlainan dengan proses berdasarkan Sistem Pemasyarakatan yang fokusnya ditujukan kepada kesatuan hubungan yang terjalin menurut kodrat Tuhan antara individu dan masyarakat serta alamnya, dibawah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Disini letaknya ke Pancasilaan dari Konsepsi Pemasyarakatan, hal mana ditregaskan pula oleh pemrasaran pula dalam Musyawarah Kerja Karyawan Departemen Kehakiman paada tanggal 9 Desember 1966 tentang “Fungsi Pemasyarakatan dalam Negara Pancasila” antara lain sebagai berikut :
“Pemasyarakatan menganggap seorang manusia itu sebagai machluk Tuhan, yang merupakan dan berada dalam suatu kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan, terjalin antara manusia itu sendiri sebagai individu dan pribadinya sendiri, sebagai individu manusia dan manusia individu lainnya, antara individu manusia dan masyarakatnya, antara indivudu manusia dan alamnya, antara manusia dan khaliknya, Tuhan Seru Sekalian Alam”.
(Bahrudin Suryobroto : “Fungsi Pemasyarakatan dalam Negara Pancasila”, halaman 11; brosur Percetakan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung 1966).

Pemasyarakatan dalam falsafahnya : Kesatuan Hubungan berdasarkan Pancasila; dalam perwujudannya : melalui kegotongroyongan yang juga berdasarkan Pancasila.

Kalau di Indonesia konsep baru dibidang perlakuan terhadap pelanggar hukum ini timbul pada tahun 1964, maka di lain negara, antara lain di Amerika Serikat konsep yang serupa dalam bidang Korreksi timbul di sekitar tahun 1967, antara lain sebagaimana dapat dibaca dalam statement dari “President’s Commission on Law Enforcement and Administration of Justice” melalui “Task Force Report = Correction “nya” yang berbunyi sebagai berikut :
“The general underlying premise for the new directions in corrections is that crime and delinquency are symptoms of failures and disorganization of the community as well as of individual Offenders”
“The task of corrections there fore includes building or rebuilding solid ties between offenders into community life-rertoring familyties, obtaining employment and education, securing in the larger sense a place for the offender in the routine functioning of sosiety (US. Government Printing Office, Washington : 1967).
(yang menjadi landasan pada umumnya bagi adanya arah baru dibidang korreksi ialah bahwa kejahatan dan kenakalan adalah gejala-gejala dari kegagalan-kegagalan dan disorganisasi dari keompok-kelompok masyarakat dan juga dari individu-individu pelanggar hukum.....”
“Tugas korreksi karenanya mencakup : menciptakan atau menciptakan kembali pertalian yang kokoh antara pelanggar hukum dan masyarakat, pembauran pengintegrasian atau pembauran kembali pelanggar hukum dalam kehidupan masyarakat sambil memulihkan pertalian keluarga, mendapatkan pekerjaan dan pendidikan, secara luas menjaminkan tempat untuk pelanggar hukum dalam derap langkah kehidupan sehari-hari dari masyarakat”) (terjemahan bebas).

“Task Force Correction adalah salah satu diantara sekian banyaknya “task force-task force” yang merupakan bagian-bagian dari Presidents Commision on Law Enforcement and Administration of Justice antara lain meliputi: Police, Courts, Assesment of the crime problem, selain dari itu ada pula working groups yang mengadakan penelitian-penelitian khusus mengenai : “organize crime”, “Juvenile Deliquency”, dan sebagainya. Laporan induk dari Presidents Commision ini diberi nama : “the Chalenge of Crime in a free society” (1967). Presidents Commision dibentuk pada tanggal 23 Juli 1965 oleh Presiden Amerika Serikat Lyndon B Johnson dan terdiri dari Ketua dan 18 orang Commisioners lainnya, 63 anggota staf, 175 konsultan-konsultan dan beratus-ratus advisor-advisor, semua terdiri dari ahli-ahli terkemuka dari seluruh Amerika Serikat. “Executive Director” dari Staff adalah James Vorenburg, Profesor pada Havrd Law School. Tugas yang diberikan kepada Comisi ialah: untuk mengadakan “inquiri” terhadap sebab-sebab kejahatan dan kenakalan dan melaporkannya kepada presiden , pada permulaan 1867, disertai dengan rekomendasi-rekomendasi guna pencegahan kejahatan dan kenakalan serta memperbaiki “law-enforcement” dan tata peradilan pidana. Dalam rangkuman (summary) dari laporannya yang tercantum dalam “the challenge of crime in a free society” halaman V antara lain dinyatakan sebagai berikut : “but the recomendations are more than just a list of new procedures, new tactics, and new techniques. They are a call for a revolution in the way America thinks about crime” (garis bawah penulis).

Akan tetapi rekomendasi-rekomendasi itu lebih dari pada sekedar daftar tentang prosedur-prosedur yang baru, taktik-taktik yang baru, teknik-teknik yang baru. Rekomendasi-rekomendasi itu merupakan suatu panggilan untuk suatu revolusi dalam acara Amerika berfikir tentang kejahatan (terjemahan bebas).
Di bidang “correction”, “new procedures” dan sebagainya yang juga merupakan “a call for a revolution” dalam hal ini “in the way America thinks about correction” nampak dalam bentuk statement yang resmi pula, yang bunyinya telah dijelaskan di muka. Dalam laporan task force correction itu pula dapat dibaca adanya pernyataan tentang timbulnya era baru (new era) di bidang “correction” (task force report “correction” : “directions for the future” halaman 6).

Walaupun dalam aspek dari pandangan terhadap pelanggar hukum yang terdapat di Indonesia sejak 1964 menunjukkan adanya persamaan dengan yang terdapat di luar negeri di sekitar tahun 1967 (tiga tahun kemudian), namun latar belakang dari timbulnya pandangan itu tidak sama. Di Indonesia pandangan terhadap pelanggar hukum diilhami oleh falsafah hidup pancasila serta pengalaman-pengalaman yg lama dari para praktisi di bidang korreksi, sedang di luar negeri antara lain di Amerika Serikat didapat melalui analisa terhadap hasil-hasil penelitian yang intensif dan extensif yang sebagian besar dilakukan oleh para ahli, para sarjana, dan para cerdik pandai lainnya di bidang kriminologi, sociology, penology, pekerjaan sosial, hukum dan lain-lain.

Dengan adanya titik balik pandangan terhadap pelanggaran hukum dan pelakunya serta cara-cara memperlakukan para pelanggar hukum ( sistem perlakuannya) dan dengan mengambil sebagai pangkal tolak tanggal dikeluarkannya amanat Presiden Republik Indonesia pada Konferensi Lembang, maka konferensi sepakat untuk menyatakan tanggal 27 April 1964 sebagai Hari Pemasyarakatan I dan selanjutnya tiap-tiap tanggal 27 April sebagai Hari Pemasyarakatan (jadi bukan hari lahirnya Pemasyarakatan).

Dalam pembahasan tentang “pelaksanaan tehnis Pemasyarakatan” telah dimufakati pula :

a. tentang Direktorat Pemasyarakatan yang merupakan unit pelaksana utama di bawah Departemen Kehakiman.

b. tentang unit-unit pelaksana di lapangan yang diberi nama “Lembaga-lembaga Pemasyarakatan”. Yang dinamai “Lembaga Pemasyarakatan” ukanlan bangunan-bangunan yang dulu disebut “Rumah Penjara”, melainkan unit usahanya, yang dapat dilengkapi dengan bangunan–bangunan sebagai alat Pemasyarakatan menurut kebutuhan.

c. tentang pembentukan Dewan Pembina Pemasyarakatan baik di pusat maupun tempat-tempat Unit Pelaksana di Daerah. Dewan Pembina Pemasyarakatan ini mula-mula diberi nama B.I.P.U.T.P. (Badan Induk Pengatur Usaha Tehnis Pemasyarakatan).

Mengenai prasaran tentang “Perusahaan Lembaga Pemasyarakatan” yang dibawakan oleh Drs. Saroso, Kepala Jawatan Kepanjaraan, yang dibahas terutama ialah : Tujuan dari perusahaan, Bentuk Hukum (status) Perusahaan dan Integrasi Perusahaan dalam Pembangunan Nasional.

Tentang tujuan perusahaan dikemukakan bahwa tujuan Perusahaan Lembaga ialah : Mendidik, Membimbing dan menyiapkan kembali ke masyarakat para narapidana dengan menyatukan karyanya dalam pembangunan nasional, guna mencapai masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur berkepribadian Pancasila.

Tentang integrasi perusahaan dalam Pembangunan Nasional dikemukakan hendaknya direalisir suatu kerjasama yang lebih intensif antara Departemen Kehakiman cq. Direktorat Pemasyarakatan dengan departemen-departemen atau instansi-instansi lainnya yang mempunyai wewenang dalam hal produksi maupun distribusi, atas dasar kepentingan bersama dalam membantu terlaksananya program pemerintah pada umumnya dan program sandang pangan pada khususnya.

Beberapa pandangan telah dikemukakan oleh peserta konperensi yang teritama berkisar antara masalah pengkaryaan dan perusahaan, yang seringkali dicampuradukkan.

Pembahasan mengenai “Perusahaan Lembaga Pemasyarakatan” ini tidak dapat berlangsung secara sempurna karena di tengah-tengah jalan berlangsungnya pembahasan, pemrasaran jatuh sakit, dan pimpinan konperensi dilanjutkan oleh Wakil Kepala Jawatan (Pemasaran Pertama) sampai akhir. Namun demikian setelah pembahasan dilanjutkan terdapat kata sepakat untuk menyetujui saran-saran tentang “Perusahaan Lembaga” dengan amandemen.

Dalam pembahasan selanjutnya yang menyangkut usul-usul dan saran-saran serta buah-buah fikiran peserta, disepakati supaya dapat didirikannya Akademi Ilmu Pemasyarakatan selekas mungkin dalam rangka missi pemasyarakatan seterusnya.

Pada tanggal 7 Mei 1964 Konferensi Dinas Kepenjaraan/ Pemasyarakatan yang amat bersejarah ini ditutup oleh Wakil Kepala Jawatan (Kepala Jawatan masih tetap berhalangan sakit), dengan dihadiri oleh Menteri Kehakiman Astrawinata, SH. dan Pembantu Menteri Kehakiman Urusan Tehnis, Imam Barjo, SH.
ub periode kedua

Pada permulaan sub periode kedua dari periode Pemasyaraktan kesatu, selain Konferensi Dinas Pemasyarakatan di Lembang, tidak terjadi hal-hal yang lainnya yang patut dicatat sebagai peristiwa sejarah. Selama Kepala Jawatan berhalangan karena sakit, pimpinan dilakukan oleh wakilnya. Keadaan ini berlangsung selama kurang lebih dua bulan.

Pada tanggal 17 Juni 1964 oleh Wakil Kepala Direktorat dikeluarkan instruksi tentang perubahan nama kantor-kantor dan kesatuan-kesatuan dalam lingkungan Direktorat dengan memakai “Pemasyarakatan” sebagai pengganti dari “Kepenjaraan” (surat Kantor Besar Direktorat Pemasyarakatan No. J.H.6.8./506).

Pada tanggal 17 Juni 1964 dikeluarkan pula surat edaran oleh Wakil Kepala Direktorat Pemasyarakatan (No. J.H.1./755) tentang pelaksanaan instruksi Menteri Kehakiman tanggal 11 Mei 1964 No. J.C.5./19/18 tahun 1964 yang berisi penolakan dan pengeluaran terhadap orang-orang yang dimasukkan dalam Lembaga Pemasyarakatan “tanpa surat yang sah”.

Pada tanggal 1 Juli 1964 dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 22 Juni 1964 No. J.P.3/146/11 ditetapkan sebagai Kepala Direktorat Pemasyarakatan Bahrudin Suryobroto yang menggantikan Kepala Direktorat Pemasyarakatan yang lama Drs. Saroso. Drs. Saroso pada tanggal yang sama ditetapkan pula sebagai Direktur/Ketua Akademi Pemasyarakatan (Srt. Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 11 Juli 1964 No. J.P.1/14/9).

Dengan adanya surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 15 Juli 1964 No. J.S.4/12/21, yang merupakan penyempurnaan terhadap struktur organisasi Departemen Kehakiman yang telah ditetapkan sebelumnya dengan Surat Keputusan Menteri tanggal 12 Februari 1964 No. J.S.4/4/4, Kepala Direktorat Pemasyarakatan berada di tempat echelon yang kedua, sebagai pemimpin pelaksanaan policy Menteri di bidang Pemasyarakatan dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kehakiman.

Dengan adanya struktur organisasi yang baru ini, lembaga “Pengawas Umum” di Kantor Pusat Direktorat Pemasyarakatan disempurnakan antara lain diadakan fungsi “Pengawas Umum” untuk urusan umum (General Services), “Pengawas Umum” urusan Pemasyarakatan (correctional services) dan “Pengawas Umum” urusan produksi (production enterprises termasuk employment of prisoners). Yang penting untuk diperhatikan ialah adanya dua asisten Pengawas Umum untuk urusan Pemasyarakatan : asisten Pengawas Umum Pemasyarakatan bidang pembinaan pelanggar hukum yang sifatnya “institusional”, dan asisten Pengawas Umum Pemasyarakatan bidang pembinan pelanggar hukum yang sifatnya “non institusional” merangkap pembinaan khusus untuk anak-anak dan wanita.

Mulai tanggal 15 Juli 1964 nama Kantor Besar Direktorat Pemasyarakatan diganti dengan Kantor Pusat Direktorat Pemasyarakatan.

Pada 17 Desember 1964 telah tersusun oleh Biro Pusat Statistik dengan bekerja sama dengan bagian statistik dari Kantor Pusat Direktorat Pemasyarakatan dan Bagian Hubungan Masyarakat dari Kantor Pusat itu buku statistik, yang memuat untuk pertama kali sejak dibukanya Biro Pusat Statistik RI pada tahun 1950, data-data dan angka-angka statistik dari tahun 1963 dan permulaan tahun 1964.

Untuk tahun 1964 telah disusun pula progress report Direktorat Pemasyarakatan; progress report ini disusun di Kantor Pusat Direktorat dengan mempergunakan data-data yang diperoleh dari laporan-laporan daerah, diperinci untuk kesibukan-kesibukan yang pencatatannya terbagi menurut organisasi yang baru ini terdapat bagian-bagian yang baru dan seksi-seksi yang baru : antara lain bagian hubungan masyarakat dan penerangan, bagian kesejahteraan pegawai, seksi khusus surat-menyurat (rata-rata 350 surat yang harus ditik setiap hari), Seksi Dokumentasi, Research dan Statistik, Bagian Pendidikan Pegawai, Seksi Pemeliharaan Bangunan, Seksi Konstruksi dan Design Bangunan, Seksi Kesehatan, Bagian Keamanan Lembaga-Lembaga, Bagian Bimbingan Sosial dan Agama untuk orang-orang terpenjara, Bagian Pemasyarakatan Khusus Wanita, Pemuda dan Dewasa Muda, Bagian Pertanian, dan lain-lain.

Tercatat jumlah pegawai pada akhir tahun 1964 sebanyak 12.951 orang. Jumlah pegawai yang diberikan tugas belajar pada permulaan tahun 1964 sebanyak 18 orang, dan pada akhir tahun 1964 sebanyak 62 orang.

Tugas belajar berupa mengikuti kuliah-kuliah secara terus menerus di Fakultas Hukum, Ekonomi, IKIP, Fakultas Paedagogik, Psychologi, Akademi Pekerjaan Sosial, Ketatanegaraan/Niaga, Ilmu Statistik, Tekstil, Ilmu Kepegawaian, Sekolah Tinggi Olah Raga, Fakultas Syari’ah IAIN dan Akademi Ilmu Pemasyarakatan, sampai dengan tingkat Baccaloriat, akan tetapi sesudah tanggal 1 Juli 1964 banyak diantara mereka yang diberi tugas belajar diizinkan untuk meneruskan sampai tingkat Sarjana.

Selanjutnya dibidang pendidikan kepegawaian diusahakan keseragaman dalam probationary-training.

Tercatat pada akhir tahun 1964 pembukaan probationary training untuk pegawai baru golongan rendah di Medan, Semarang dan Jakarta sebanyak 160 orang.

Dibidang pembinaan terpidana diadakan penyederhanaan dalam pengusulan lepas bersyarat, terutama yang menyangkut bidang administratifnya, karena pengusulan untuk lepas bersyarat dari daerah sangat langka.

Dengan diproklamirkannya oleh Presiden Sukarno pada tanggal 31 Desember 1964 bahwa Indonesia sudah Bebas Buta Huruf, maka untuk tahun 1965 tidak lagi diadakan kursus pemberantasan Buta Huruf melainkan KPSD (Kursus Persamaan Sekolah Dasar).

Dibagian Produksi tercatat kegiatan-kegiatan yang meningkat dibidang pertanian, terutama mengenai program penanaman jagung : untuk daerah Bogor tersedia 100 Ha tanah, untuk Nusakambangan 800 – 1000 Ha, untuk daerah Priangan 60 Ha dan dilain-lain lembaga seperti Tangerang, daerah Semarang (Bleder, Ambarawa, Kendal, dsb.), Sukamiskin dan Purwakarta.
Dikepulauan Riau terdapat pula pembukaan tanah untuk pertanian dengan luar proyek seluruhnya 600 Ha (antara lain Gunung Bintan).

Selain proyek-proyek pertanian biasa, tercatat pula adanya proyek transmigrasi di Kalimantan Barat, kali ini bukan lagi di “Sungai Durian” melainkan di “Air Hitam”. Gelombang pertama yang dikirim ke Kalimantan berjumlah 532 orang terpidana dengan mempergunakan kapal khusus dari Tanjung Priok, Jakarta. Ikut serta dalam rombongan terpidana ini suatu team-survey dari Lembaga Kriminologi, Fakultas hukum dan Ilmu Pengetahuan Pemasyarakatan, Universitas Indonesia dibawah pimpinan Marjono Reksodiputro, SH. (kesemuanya dari anggota-anggota team itu diberi pakaian seragam Petugas Pemasyarakatan). Team survey ini tinggal di proyek transmigrasi “Air Hitam” dan “Punggur” dekat Pontianak selama beberapa waktu.

Team survey ini bermaksud untuk mengikuti dari dekat kesibukan-kesibukan sehari-hari yang berhubungan dengan perlakuan terpidana dalam rangka pelaksanaan program-program pemasyarakatan. Laporan team yang serba lengkap diberikan pada bulan April 1965.

Peristiwa yang cukup menarik yang terjadi pada sub-periode kedua dari periode pemasyarakatan kesatu ini ialah dikeluarkannya Penetapan Presiden Republik Indonesia no. 4 tahun 1964 tentang “Kewajiban Kerja Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatannya bagi Terpidana karena melakukan Tindak Pidana yangmerupakan Kejahatan”.

Kewajiban Kerja Bakti ini ditentukan oleh Hakim dalam keputusannya dan dapat diberikan kepada pelaku kejahatan yang telah dikenakan pidana hilang kemerdekaan.

Dalam konsiderans dari penetapan Presiden No. 4 tahun 1964 itu antara lain dicantumkan : “bahwa pengaturan ini adalah dalam rangka pengamanan usaha-usaha mentjapai tujuan revolusi.......”

Kerja Bakti yang dimaksud dilaksanakan pada proyek-proyek yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman, dengan memperhatikan saran-saran dari Menteri-Menteri yang mempunyai urusan dalam hubungan proyek-proyek tersebut.

Peraturan pelaksanaan dari penetapan Presiden No. 4 tahun 1964 ini, yang dibuat pada tanggal 24 Agustus 1964 dan dimuat di Lembaran Negara tahun 1964 no. 73, pernah direncanakan di Departemen Kehakiman akan tetapi tidak sampai selesai.

Akhir tahun 1964 ditandai oleh adanya situasi politik yang memanas, antara lain sehubungan dengan adanya konfrontasi dengan negara tetangga Malaysia (Dwi Komando Rakyat = Dwikora). Kepada seluruh departemen-departemen diinstruksikan peningkatan kewaspadaan nasional dan pada tanggal 5 September 1964 semua cuti yang sedang dijalankan dicabut.

Dalam kesibukan meningkatkan kewaspadaan nasional, Direktorat Pemasyarakatan tidak kalah pula sibuknya dengan menghadapi rongrongan-rongrongan yang berasal dari dalam lingkungannya sendiri, yakni dari Sarekat Buruh Pemasyarakatan. Telah sejak zaman Mr. Rusbandi memegang pimpinan Jawatan, rongrongan terhadap Jawatan oleh Sarekat Buruh Kepenjaraan (yang kemudian berubah nama menjadi Sarekat Buruh Pemasyarakatan) tidak henti-hentinya dilakukan.

Rongrongan ini memuncak menjadi oposisi terbuka mulai akhir tahun 1964, dimana Sarekat Buruh Pemasyarakatan sering mengajukan keluhan kepada Menteri Kehakiman tentang policy yang dijalankan oleh Kepala Direktorat Pemasyarakatan, lebih-lebih setelah di Direktorat Pemasyarakatan terbentuk Kesatuan Buruh Marhaenis, yang sebelumnya bernama Persatuan Pegawai Kepenjaraan Republik Indonesia (diubah menjadi Persatuan Karyawan Direktorat Pemasyarakatan).

Pada kongresnya yang diadakan di Nusakambangan pada bulan Juni 1965 Sarekat Buruh Pemasyarakatan bermufakat untuk mengadakan konsepsi tandingan tentang pemasyarakatan, konsepsi tandingan tersebut menitikberatkan kepada “pemberian pekerjaan kepada terpidana”.
Dalam kongresnya ini pula Sarekat Buruh Pemasyarakatan bersepakat untuk mengusulkan Wakil Ketua Umumnya sebagai Wakil Kepala Direktorat Pemasyarakatan, usul mana disetujui oleh Menteri Kehakiman (namun belum terlaksana). Wakil Ketua Umum Sarekat Buruh Pemasyarakatan ini, kebetulan juga Kepala Wilayah Pemasyarakatan Irian Jaya (Sujono R.M).

Sarekat Buruh Pemasyarakatan yang tergabung dalam Vak Sentral SOBSI adalah salah satu Sarekat Buruh yang pada peristiwa berdarah 30 September 1965 terlibat secara langsung.
Tidak kurang dari 1740 orang anggota yang dikenakan tindakan pembersihan (dipecat/diskors) seketika.
Diantara mereka terdapat pegawai-pegawai yang menduduki jabatan yang penting di Direktorat Pemasyarakatan.

Dapat digambarkan betapa sulitnya Direktorat Pemasyarakatan berusaha untuk mengadakan pembersihan terhadap tubuhnya yang telah ternoda oleh keterlibatan Sarekat Buruh Pemasyarakatan itu dalam gerakan G.30.S/PKI.

Sekalipun demikian usaha-usaha untuk terus survive sebagai Jawatan yang sedang kiprah dengan sistem pemasyarakatannya terus dilakukan. Dalam periode ini terlihat adanya pendirian tempat-tempat ibadah di dalam lingkungan Lembaga-Lembaga Pemasyarakatan.

Dalam periode ini bangunan Lembaga Pemasyarakatan Salemba dipinjam oleh penguasa militer untuk khusus dijadikan tempat tahanan politik bagi Jakarta Raya, sedang beberapa Lembaga Pemasyarakatan lainnya seperti Nusakambangan, Pekalongan, Ambarawa, Surabaya, Pamekasan, dan lain-lain ditunjuk untuk menyediakan fasilitas-fasilitas khusus untuk menampung para tahanan politik dari Gerakan 30 September/PKI (G.30.S/PKI).
Perlu dicatat bahwa pada pertengahan periode ini (Juni 1965) Lembaga Pemasyarakatan Glodok atas persetujuan Presiden R.I dihapuskan dan diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan yang baru, yang direncanakan pendiriannya di Tangerang. Lokasi bangunan bekas Lembaga Pemasyarakatan Glodok direncanakan untuk pendirian “Shopping Center” Glodok Permai.

Pembiayaan untuk pendirian Lembaga Pemasyarakatan yang baru dan modern di Tangerang ditanggung seluruhnya oleh PT. Glodok Permai.
BAB II

PERIODE PEMASYARAKATAN KEDUA
(1966 – 1975)
(PERIODE BINA TUNA WARGA)


Ditengah-tengah kesibukan Direktorat Pemasyarakatan membersihkan tubuhnya dari noda-noda yang ditinggalkan oleh anasir-anasir penentang dan penghalang Konsepsi Pemasyarakatan yang menjelma sebagai Sarekat Buruh Pemasyarakatan, terjadilah perubahan-perubahan yang fundamental dalam struktur organisasi departemen-departemen dalam slagorde Kabinet Ampera menuju pembangunan di segala bidang.

Dengan Keputusan Presidium Kabinet tanggal 3 Nopember 1966 no. 75/U/Kep/11/1966, antara lain ditetapkan Struktur Organisasi dari Departemen yang didalamnya terdapat institut Direktur Jenderal Departemen yang membawahi Direktur sebagai Kepala/Unsur Pelaksana dari sebagian tugas Direktorat Jenderal Departemen.

Adanya struktur organisasi yang baru dari departemen ini bagi Direktorat Pemasyarakatan yang lama cukup menimbulkan dilema : Kalau Direktorat Pemasyarakatanyang lama dengan seluruh slagordenya tetap berada ditempat echelon kedua seperti semula maka Direktorat Pemasyarakatan yang lama akan berubah nama menjadi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dengan konsekuensi predikat “pemasyarakatan” hanya dipergunakan dibelakang Direktorat Jenderal, akan tetapi kalau predikat “pemasyarakatan” juga tetap dipakai dibelakang sebuah direktorat, seperti halnya pada organisasi yang lama, maka ada kemungkinan Direktorat Pemasyarakatan yang baru ini merupakan penyempitan dari yang dulu dinamakan Direktorat Pemasyarakatan dan dalam kesempitan ini turun ke echelon ketiga. Dengan adanya situasi dilematis ini yang menjadi persoalan pokok tentu menyangkut posisi dari Direktur Jenderal, dan masalah posisi inilah yang pada permulaan periode pemasyarakatan kedua menimbulkan keresahan-keresahan dilingkungan organisasi pemasyarakatan khususnya. Keresahan-keresahan ini pulalah yang nampaknya menjadi sebab mengapa Direktur Jenderal Pemasyarakatan R.A. Kusnun, SH yang oleh Presidium Kabinet telah syah diangkat sebagai Direktur Jenderal Pemasyarakatan sejak Agustus 1966, mengambil kebijaksanaan untuk berkantor di jalan Veteran No. 11 (Kantor Pusat Direktorat Pemasya baru pada tanggal rakatan yang lama) baru pada tanggal 5 Desember 1966 (Surat Pengumuman Dit.Jen.Pas tanggal 30 Desember 1966 no. K.P.1.11/11/44) dan setelah Menteri Kehakiman mengambil kebijaksanaan pula untuk menunjuk pejabat-pejabat sementara Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman, Direktur Jenderal Pembinaan Hukum dan Badan-Badan Peradilan, dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam hal fungsionaris-fungsionarisnya belakangan. (SK. Menteri Kehakiman tanggal 12 Desember 1966 no. J.P.1/20/15).

Dengan adanya struktur organisasi yang baru dibidang pemasyarakatan, maka dapat dikatakan bahwa organisasi dibidang pemasyarakatan dapat mempunyai ruang lingkup pengertian yang luas dan ruang lingkup pengertian yang sempit.

Dalam ruang lingkup pengertiannya yang luas organisasi pemasyarakatan (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) meliputi organisasi pemasyarakatan dalam ruang lingkup pengertian yang sempit (Direktorat Pemasyarakatan) dan Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Bispa). Dilihat dari segi perspektifnya maka dapat dikatakan bahwa organisasi pemasyarakatan dalam arti luas (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) menampakkan perspektif-perspektif yang tidak berbeda dengan apa yang pada zaman pra-pemasyarakatan dikenal sebagai “Gevangeniswezen, Tucht-Opvuding en Reclasseering. (lihat bagian kesatu Bab III, Sejarah Pemasyarakatan), atau dengan apa yang pada zaman Kepenjaraan R.I dikenal dengan nama “Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering”. (lihat bagian kae II Bab II, Sejarah Pemasyarakatan), yang masing-masing terdiri dari “Gevangeniswezen” atau Urusan Kepenjaraan (Direktorat Pemasyarakatan) dan Tucht-Opvuding en Reclasseering” atau pendidikan Paksa dan Reklassering (Direktorat Bispa).

Didalam sejarah pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan perspektif organisasi semacam diatas dalam aspej-aspek operasionalnya selalu menunjukkan kecenderungan terjadinya fragmentasi dalam sistem perlakuan terhadap terpidana. Sistem perlakuan yang fragmentaris ini dalam ilmu penologi terkenal sebagai salah satu penyebab terjadinya institusionalisasi (pelembagaan) dari pola-pola perlakuan yang tradisional yang cenderung untuk menjadi kebiasaan-kebiasaan yang sedikit banyak bersifat ritualistis. Sehubungan dengan keadaan ini titik berat perlakuan terhadap pelanggar hukum lebih condong kepada perlakuan yang bersifat kastodial (custodial) dari pada societal.

Kecenderungan untuk terjdainya fragmentasi dalam sistem perlakuan terhadap pelanggar hukum yang disebabkan oleh struktur organisasi dengan perspektif tradisional dapat disaksikan pula dalam periode ini dengan dirumahnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menjadi Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga pada tanggal 28 April 1969 (Keputusan Presiden R.I no. 39 tahun 1969). Istilah “Tuna Warga”, kecuali dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak relevant dengan prinsip-prinsip pemasyarakatan, secara historis dapat ditafsirkan analog dengan “loss of citizenship” yang pada abad yang jauh sekali telah silam pernah diperlakukan terhadap warga negara kerajaan Romawi dari golongan rendah (personae humiles) sebagai akibat sanksi pidana “servipunae” yang meredusir status kewarganegaraannya menjadi status budak (stateless).

Selain daripada perubahan yang menyangkut struktur organisasi, langkah pertama yang diambil pada permulaan periode ini ialah dibentuknya sebuah Panitia Kerja yang ditugaskan untuk menyusun Rencana Undang-Undang Pokok Pemasyarakatan.

Panitia Kerja ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 16 Februari 1967 no. J.S.1/1/25 diketuai oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan sebagai anggotanyya ditunjuk beberapa tokoh terkemuka dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan serta beberapa ilmuwan antara lain dari Universitas Indonesia (psychologi, pekerjaan sosial, psychiatri, hukum, kriminologi) setelah menyusun beberpa kali mengadakan rapat, panitia kerja ini berhasil menyusun sebuah naskah rencana Undang-Undang Pokok Pemasyarakatan, namun kelanjutannya tidak ada.

Pada bulan Agustus 1968 Direktur Jenderal Pemasyarakatan menghadiri Konferensi para ahli (yang ke II) dibidang “Prevention of Crime and Treatmen of Offenders” yang diselenggarakan oleh PBB dari tanggal 6 s/d 16 Agustus 1968 di Genewa (Swiss).

Direktur Jenderal Pemasyarakatan, R.A. Kusnun, SH ditunjuk sebagai Ketua Delegasi Indonesia dan anggota-anggota delegasi terdiri dari Prof. R. Subijono, SH dan Paul Mudigdo, SH. Dalam Konferensi ini dikemukakan “Implementation of The Standard Minimum Rule For the Treatment of Prisoners” yang merupakan resume dari hasil-hasil pengalaman-pengalaman dibidang korreksi.

Resume ini disusun oleh Sekretariat PBB “Implementasi Standard Minimum Rule” ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan diterbitkan pada tanggal 27 Aapril 1969 oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam rangka mengisi kekosongan dalam penerbitan Mmajalah Kepenjaraan yang sejak tahun 1964 belum dapat diterbitkan lagi karena kekurangan biaya.

Dalam periode ini Menteri Kehakiman mengambil kebijaksanaan untuk memanfaatkan institut “pre-release treatment” dalam rangka pemberian grasi-imbangan. Grasi imbangan ini ex-officio diusulkan oleh Menteri Kehakiman kepada Presiden, antara lain dalam hal yang bersangkutan diputus perkaranya berdasarkan hukum/undang-undang, namun karena perubahan keadaan putusan itu kemudian dirasakan kurang adil. Diantara mereka yang diusulkan untuk mendapatkan grasi imbangan ini ialah yang dikenakan pidana karena tindak pidana politik atau yang berlatar belakang politik seperti : tindak pidana melawan PKI, Peristiwa 10 Mei 1963 (yang juga disebut peristiwa rasialis), tindak pidana yang dianggap berlawanan dengan konfrontasi R.I – Malaysia. “pre-release treatmen” dalam hal ini dikenakan kepada mereka yang telah diusulkan grasinya namun masih menunggu Keputusan Presiden.

Dalam ilmu penologi/correction pembebasan semacam ini lebih dikenal dengan “conditional release”, karena “treatmen” dalam ari ‘pembinaan” tidak dilakukan terhadap mereka.

Pada pertengahan tahun 1969 jumlah tahanan G.30.S/PKI tercatat sebanyak ± 20.000 orang tersebar di 115 buah Lembaga Pemasyarakatan.

Sama halnya dengan periode pemasyarakatan kesatu, dibidang produksi yang diutamakan adalah pertanian.

Yang perlu dicatat dalam periode pemasyarakatan kedua ini ialah pendirian Kantor-Kantor Daerah Bispa yang sampai akhir tahun 1969 direncanakan 20 buah dan untuk keperluan-keperluan tersebut telah pula diadakan Kursus Bispa sejak pertangahan tahun 1968. kursus ini mendidik secara khusus 36 orang lulusan Sekolah Pendidikan Sosial Tingkat Atas (SPSA).

Dalam periode ini pula telah dikirim untuk tugas belajar ke Australia dua orang pejabat teras pemasyarakatan untuk memperdalam pengetahuan tentang “correctional system” di Australia. Kedua orang pejabat itu adalah drs. Sugondo dan Drs. Sanusi Has, masing-masing Direktur Daerah Pemasyarakatan.

Pada tanggal 1 Aapril 1969 dimulai Pelita I. Dalam Pembangunan Lima Tahun ke I antara lain ditetapkan tentang penyempurnaan sistem pemasyarakatan.

Dalam bulan April 1969 itu juga, tepatnya pada tanggal 28 April 1969 dengan Surat Keputusan Presiden R.I no. 39 tahun 1969 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dirubah namanya sehingga menjadi Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga (pasal 1 ayat (2) a).

Pada awal tahun 1970 diadakan upgrading/latihan bagi 40 orang Direktur Daerah Pemasyarakatan/Lembaga Pemasyarakatan Khusus Upgrading ini diadakan di Jakarta untuk selama ± 30 hari; latihan yang serupa diberikan pula untuk para pemimpin-pemimpin Lembaga Pemasyarakatan; latihan untuk pemimpin-pemimpin lembaga ini dipusatkan di Bandung, Semarang dan Malang.

Pada pertengahan tahun 1970 tercatat adanya beberapa kejadian di daerah (Lampung, Medan, Surabaya, Padang) yang bersangkutan dengan pemberian kelonggaran kepada terpidana, antara lain perampokan diluar lembaga oleh terpidana yang sedang menjalani pidananya (Lampung), perkosaan diluar lembaga oleh terpidana di Solok Sumatera Barat (Harian Kompas 7 Oktober ’70; Bertopeng tjelana kolor”), perampokan diluar lembaga oleh terpidana yang sedang cuti diwilayah Pemasyarakatan Jawa Timur, dan adanya beberapa orang terpidana diluar lembaga padahal mereka baru saja dijatuhi pidana karena penyelundupan (Tanjung Balai, Sumatera Utara).

Berita-berita tentang kejadian-kejadian diatas berasal dari Kepolisian (antara lain dari Deputy Urusan Operasi Kepala Kepolisian R.I) dan dari Jaksa Agung. Dengan adanya kejadian-kejadian yang tak diinginkan ini Direktur Jenderal Bina Tuna Warga, setelah mengadakan penindakan seperlunya terhadap petugas yang bersangkutan, memerintahkan kepada Kepala Direktorat Pemasyarakatan untuk mengadakan penertiban terhadap pelaksanaan program assimilasi.

Pada bulan Desember 1970 terbit kembali Majalah Kepenjaraan (yang pada periode pemasyarakatan kesatu telah diganti nama Majalah Pemasyarakatan dan baru berbentuk brosur-brosur pemberitaan), kali ini dengan nama : Majalah Bina Tuna Warga.

Tahun 1971 berikutnya oleh direktur Jenderal Bina Tuna Warga disebut tahun evaluasi dan korreksi.

Sehubungan dengan evaluasi sistem pemasyarakatan perlu dicatat bahwa jauh sebelumnya, yakni pada tahun 1969 sebuah team survey Fakultas Hukum Universitas Pajajaran dengan bekerjasama dengan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah mengadakan penelitian evaluatif terhadap pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

Dalam hubungannya dengan evaluasi terhadap ketatalaksanaan dibidang pemasyarakatan dalam rangka rendana pembangunan lima tahun pertama, Direktur Direktorat Pemasyarakatan telah pula mengajukan sumbangan fikirannya kepada Direktur Jenderal Bina Tuna Warga dimana antara lain tercatat tentang evaluasi dan konstatasi keadaan pada pertengahan periode pemasyarakatan kedua ini yakni : (a) tentang tidak adanya “unity of command” dalam ketatalaksanaan, (b) tentang terdapatnya penyelewengan-penyelewengan penyalahgunaan wewenang antara lain disebabkan karena kaburnya gambaran mengenai “chain of command” dan karena kaburnya gambaran mengenai “chain of command” dan karena kaburnya “division of labour”, (c) kurangnya pengertian tentang tugas yang sebenarnya. Data-data yang oleh Direktur Direktorat Pemasyarakatan dikemukakan ialah antara lain : (1) Perkelahian diantara penghuni lembaga, (2) Pemberian keleluasaan yang berlebih-lebihan kepada penghuni, (3) Pengangguran penghuni, (4) Perjudian, (5) Kepadatan isi lembaga, (6) Macetnya perusahaan-perusahaan besar, 97) Sikap dan pernyataan yang tidak simpatik dari masyarakat, (8) Apatisme dikalangan petugas, dan lain-lain.
Dalam pesan-pesannya sehubungan dengan Hari Pemasyarakatan ke-8 Direktur Jenderal Bina Tuna Warga menekankan kepada perlunya evaluasi dan korreksi terhadap apa yang telah dilakukan dalam tahun-tahun yang telah lalu.

Dari tanggal 26 s/d 30 September 1971 di Bandung diselenggarakan sebuah Workshop tentang Pemasyarakatan. Workshop ini diselengarakan atas kerjasama Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dan Universitas “Pajajaran” di Bandung.

Workshop ini selain dihadiri oleh pejabat-pejabat Pemasyarakatan/ Bina Tuna Warga dan peserta-peserta dari Fakultas Hukum Universitas Pajajaran serta dari Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, juga dihadiri oleh utusan-utusan dari Sekolah Staf komando Kepolisian Bandung, dari Departemen Sosial, dari Pengadilan-Pengadilan, dari Lembaga Kriminologi-universitas Indonesia, dari Departemen Tenaga Kerja, dari Lembaga Administrasi Negara, dari Fakultas Hukum Satya Watjana Salatiga, dari Fakultas Hukum Andalas dan dari Badan Reklassering Praja Raharja Bandung dan lain-lain.

Prasaran-prasaran diberikan oleh Bahrudin Suryobroto tentang “PeLaksanaan System Pemasyarakatan”, oleh Waliman Hendrosusilo tentang “Pembinaan Tuna Warga diluar Lembaga”, oleh Ny. J. Mandagi, SH tentang “Prevensi dan Repressi terhadap anak nakal” oleh Drs. Saroso tentang “Pendidikan dan Pengembangan Personil”, kemungkinan pemberantasannya di Indonesia”.

Pada bulan Agustus 1973, dalam rangka usaha penyusunan rencana Undang-Undang Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, dengan disponsori oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional diadakan pula Lokakarya mengenai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak.

Periode Pemasyarakatan kedua ini lebih menampakkan adanya “trial and error” dibidang pemasyarakatan, suatu gejala yang lazim terjadi pada permulaan beralihnya situasi lama ke situasi baru. Hal ini terbukti antara lain dengan kembalinya penggunaan nama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam periode pemasyarakatan ketiga, yang dimulai dengan Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan.

Dalam berlangsungnya periode Pemasyarakatan kedua ini terjadi pula beberapa mutasi penting dikalangan pimpinan teras dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga. Pertama dengan mengundurkannya Direktur Direktorat Pemasyarakatan dari jabatannya dengan hak pensiun pada tahun 1972, yang disusul kemudian oleh rekannya dari Direktorat Bispa, juga dengan hak pensiun pada tahun 1974. Jabatan Direktur Direktorat Pemasyarakatan untuk sementara dirangkap oleh Direktur Bina Tuna Warga, kemudian diambil alihkan kepada direktur Direktorat Bispa Waliman Hendrosusilo, sedang jabatan Direktur Direktorat Bispa dipegang oleh pejabat baru Drs. Sugondo yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Wilayah Pemasyarakatan Jawa Timur.

Dengan pengunduran Direktur Direktorat Pemasyarakatan Waliman Hendrosusilo dari jabatannyya dengan hak pensiun, drs Sugondo diangkat menjadi Direktur Direktorat Bispa diangkat Drs. Hasan Utoyo, SH.
BAB III

PERIODE PEMASYARAKATAN KETIGA
(1975 – 1981)
(KEMBALI KE PEMASYARAKATAN)


Seperti telah disinggung pada akhir uraian bab II Periode Pemasyarakatan Ketiga ini dimulai dengan adanya Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan yang berlangsung dari tanggal 20 s/d 22 Maret 1975. dalam Lokakarya tersebut antara lain dibahas tentang : Sarana-sarana Peraturan Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya sebagai landasan struktural yang dapat dijadikan dasar bagi segi-segi operasional Pemasyarakatan, Sarana Personalia, Sarana Keuangan dan Sarana Fisik.

Dalam Lokakarya tersebut diambil kesimpulan, bahwa hal-hal tersebut jauh belum memadai. Lokakarya ini berhasil membuahkan “Kerangka dasar manual pembinaan” bagi terpidana, sebagai modal untuk diadakan langkah-langkah lebih lanjut guna penyempurnaan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

Dalam periode pemasyarakatan ketiga ini Direktur Jenderal Bina Tuna Warga adalah Ibnu Susanto, SH yang dulu pernah menjadi Kepala Direktorat Badan-Badan Pengadilan dan kemudian pernah menjadi Sekretaris Koordinator Lembaga Pembinaan Hukum Nasional. Dengan diangkatnya Ibnu Susanto, SH, sebagai Direktur Jenderal Bina Tuna Warga, untuk kedua kalinya bidang korreksi di Indonesia dikepalai oleh pejabat yang bukan berasal dari kalangan korreksi, yang pertama kalainya sewaktu Mr. Rusbandi menjadi Kepala Jawatan Kepenjaraan.

Salah satu langkah yang konkrit yang patut dicatat dan yang terjadi pada permulaan periode ini ialah penyusunan manual-manual yang diperlukan dalam rangka realisasi perlakuan terpidana berdasarkan konsepsi pemasyarakatan.

Sambil menunggu pembentukan Undang-Undang Pokok Pemasyarakatan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Manual-manual ini adalah hasil lanjut dari terselenggaranya Rapat Kerja Terbatas Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga pada tanggal 24 April 1976 di Jakarta. Rapat Kerja Terbatas ini merupakan follow-up dari Lokakarya Evaluasi sistem Pemasyarakatan yang diadakan pada bulan Maret 1975. selain pidato sambutan Direktur Jenderal Bina Tuna Warga dan Pidato Pengarahan Menteri Kehakiman Prof. Dr. Mochtar Kusiemaatmaja, SH yang diberikan pada pembukaan Rapat Kerja Terbatas itu, yang menarik perhatian untuk dicatat ialah Keputusan Rapat Kerja tentang Penyempurnaan Sistem Pemasyarakatan yakni yang mengusulkan agar istilah Bina Tuna Warga dirubah menjadi Pemasyarakatan. Rapat Kerja Terbatas yang dihadiri oleh ahli-ahli yang terdiri dari teoritisi dan ahli-ahli praktek, walaupun audiensinya tidak seramai dengan yang terdapat pada Lokakarya Sistem Pemasyarakatan di Bandung pada tahun 1971, patut dicatat dalam sejarah Pemasyarakatan sebagai suatu kejadian yang berhasil meletakkan sendi-sendi operasional, sedikitnya pola-pola operasional, dalam usaha realisasi dan penyempurnaan sistem pemasyarakatan.

Manual-manual yang telah tersusun sesudah Rapat Kerja Terbatas ini antara lain ialah : Manual tentang Pembinaan Dalam Lembaga, Manual tentang Pembinaan Luar Lembaga, Annex-Manuals Pembinaan Tuna Warga berdasarkan Sistem Pemasyarakatan yang berisi model-model formulir, registern dan lain-lain, dan Manual tentang Pembinaan Sarana Sistem Pemasyarakatan. Manual-manual yang bersangkutan dengan pembinaan terpidana ini telah pula diujicoba di beberapa Lembaga Pemasyarakatan oleh team dari Universitas Pajajaran.

Peristiwa yang penting yang terjadi dibidang Struktur Organisasi dalam periode ini ialah dikembalikannya nama/sebutan “Bina Tuna Warga” kepada namanya yang semula yakni “Pemasyarakatan”.

Perubahan ini terjadi dengan adanya Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 47 tahun 1979. Bersamaan dengan itu berubah pula nama Direktorat Pemasyarakatan menjadi Direktorat Pembinaan Dalam Lembaga, sedang Direktorat Bispa menjadi Direktorat Pembinaan Luar Lembaga.

Walaupun kejadian ini baru menyangkut masalah pemberian nama, namun tidak dapat disangkal bahwa dibalik pemberian nama ini tersimpul suatu latar belakang pemikiran tertentu yang banyak hubungannya dengan tujuan yang hendak dicapai. Dengan adanya perubahan nama ini terbuka kesempatan untuk meniadakan kecenderungan-kecenderungan (setidak-tidaknya mengurangi kecenderungan-kecenderungan) timbulnya fragmentasi dalam sistem pembinaan, dan dengan demikian juga mengurangi atau mencegah timbulnya apa yang dibidang organisasi korreksional disebut “emotional separation”.

Menurut beberapa pendapat dari orang terkemuka dibidang korreksi dinyatakan bahwa :

“As human resource agencies, corrections must make a special effeort to integrate various functional specialities into an organization team that holds mutual objectives vis-a-vis the client not only among its mebers but also between mebers and the organization”.
(dikutip dari : “Planning for the Future of Corrections”; Corrections : NACC JSQ : 1973). (sebagai badan-badan sumber kemanusiaan, usaha-usaha korreksi harus berikhtiar secara khusus untuk mengintegrasikan kekhususan-kekhususan yang fungsional dalam suatu team organisasi yang mempunyai tujuan bersama terhadap kliennya, tidak hanya diantara anggota-anggotanya, melainkan juga diantara anggota-anggota dan organisasi itu sendiri).

Kiranya organisasi semacam itu pula yang dimaksudkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan sewaktu mengucapkan pidato sambutannya pada peresmian penandatanganan kerjasama antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Universitas Indonesia pada tanggal 18 Desember 1980, dimana antara lain dikemukakan keinginnannya untuk menjadikan Lembaga Pemasyarakatan sebagai suatu lembaga dengan pola organisasi yang adaptif.

Dalam periode pemasyarakatan ketiga ini tercatat pula mutasi-mutasi penting diantara “top-level managers” : Sekretaris Direktorat Jenderal Sugito Dwijoseputro, SH yang tadinya mengganti Ahmad Arif, SH (yang pada periode Pemasyarakatan kedua adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga), tiba masanya untuk berpensiun. Sebagai penggantinya diangkat Drs. Sugondo, sedang sebagai Kepala Direktorat Pembinaan Dalam Lembaga diangkat Kusno Wibowo, yang tadinya Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga Jawa Tengah.

Dibidang pembangunan tercatat : (1) adanya pendirian Lembaga-Lembaga Pemasyarakatan yang baru seperti di Tangerang dan di Lamongan, (2) adanya penambahan-penambahan Lembaga Pemasyarakatan untuk Pemuda di Pekalongan dan untuk Anak-Anak Negara di Kutoarjo dengan merubah status dari Lembaga-Lembaga Pemasyarakatan setempat, (3) Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara di Kotabumi, Tanjungkarang, (4) Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan di Dabo Singkep (Tanjung Pinang), (5) adanya peningkatan dibidang usaha pertanian diberbagai tempat, (6) dan pada umumnya adanya peningkatan pembinaan terhadap para terpidana dan penertibannya melalui instruksi-instruksi, surat-surat edaran dan penentuan pola-pola pembinaan bagi proses-proses pembinaan tertentu.

Dalam periode ini pula telah berhasil disusun sebuah progress report mengenai aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan dalam tahun 1978/1979. progress report ini secara terperinci memberikan gambaran tentang hasil-hasil yang bertalian dengan pembinaan dalam lembaga.

Mengenai pembinaan diluar lembaga patut dicatat adanya meningkatan usaha pula, antara lain penambahan pendirian beberapa unit Bispa, Kursus-kursus Upgrading petugas Bispa, Kursus-kursus bispa untuk petugas baru.

Yang patut dicatat sehubungan dengan policy pemasyarakatan dalam periode ini dalah perluasan pemberian kelonggaran kepada mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi untuk mengadakan penelitian dalam Lembaga-Lembaga Pemasyarakatan, baik untuk keperluan penulisan skripsi maupun untuk keperluan peningkatan pengetahuan tentang Pemasyarakatan.

Kejadian yang patut pula dicatat disini ialah, bahwa pada waktu berlangsungnya Seminar Kkriminologi kedua untuk seluruh Indonesia di Universitas Diponegoro, Semarang dari tanggal 19 s/d 21 Maret 1980, pembawa makalah tentang pemasyarakatan adalah utusan-utusan dari Universitas-Universitas (UI dan UNPAD), berlainan dengan pada waktu-waktu yang telah silam, yang membawa makalahnya terdiri dari pejabat-pejabat Pemasyarakatan. Suatu bukti bahwa bidang Pemasyarakatan mulai banyak menarik perhatian teoritis. Dalam hubungan ini pula dapat dicatat bahwa sejak akhir tahun 1980, atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Universitas Indonesia telah dibuka kursus pengetahuan hukum bagi terpidana dan juga bagi petugas di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Kursus ini dalam pembukaannya dihadiri pula oleh Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Mahar Marjono, yang juga memberi sambutan pada pembukaan kursus tersebut. Suatu peristiwa dalam sejarah Pemasyarakatan (juga dalam dunia korreksi) yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kursus pengetahuan hukum bagi terpidana dan petugas pemasyarakatan di lembaga ini diadakan dalam rangka realisasi proyek “Penyantunan dan Bantuan Hukum bagi orang-orang terpenjara” (“Prisoners’ Aid Society”) yang merupakan sub proyek dari Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia (PPBHI) dari Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia. Tenaga pengajar untuk kursus ini terdiri dari sukarelawan (Dosen) dari UI, dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Jakarta Raya serta dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
Dalam periode ini pula nampak adanya peningkatan kegiatan kerjasama dengan Akademi Ilmu Pemasyarakatan, terutama yang bersangkutan dengan kuliah kerja Mahasiswa AKIP.

Kegiatan kerjasama ini antara lain berupa kontak langsung antara Direktur AKIP beserta staf pengajarnya dengan unsur-unsur pimpinan Pemasyarakatan di daerah, sebelum Kuliah Kerja dimulai. Kontak langsung ini dimanfaatkan untuk memberi ceramah dan penjelasan tentang segala sesuatu yang merupakan “applied penology” (ilmu penologi/pemasyarakatan yang diterapkan).

Dicatat dalam periode ini, selain adanya peningkatan frequensi hubungan dengan masyarakat, juga kontak berkala dengan dunia internasional antara lain keikutsertaan dalam kongres-kongres PBB, Konferensi-Konferensi Regional PBB dan seminar-seminar yang bertalian dengan “Prevention of Crime and Treatment of offenders” (terakhir Kongres PBB di Caracas, Venezuela, pada tahun 1980, yang dihadiri oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan).

Pada akhir tahun 1980 telah diresmikan pula pembukaan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang baru di Jalan Veteran 11.

Pada akhir tahun itu pula dimulai dengan penghapusan dan pembongkaran Lembaga Pemasyarakatan Bukit Duri.

Periode Pemasyarakatan ketiga ini, walaupun telah mencatat kemajuan-kemajuan diberbagai usaha, tidak luput pula dari adanya kejadian-kejadian yang menimbulkan keresahan-keresahan. Sebagian dari keresahan-keresahan ini ditimbulkan karena adanya beberapa kekeriruan dikalangan pemasyarakatan sendiri, akan tetapi sebagian lagi ditimbulkan karena adanya kekeliruan pada komponen-komponen lainnya dari tata peradilan pidana. Peristiwa pelarian Kusni Kasdut, seorang terpidana mati yang sedang menunggu keputusan atas permohonan grasinya, yang kemudian dapat ditangkap kembali dan akhirnya menjalankan pidana matinya, peristiwa pelarian tanpa bekas dari seorang tahanan bangsa asing dari Lembaga Pemasyarakatan Denpasar yang ditahan oleh Kejaksaan Negeri karena penyelundupan ganja, peristiwa Sengkon dan Karta, yang menjalankan pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, dan kemudian ternyata tidak bersalah, adalah beberapa diantara kejadian yang mempunyai latar belakang yang komplex yang sedikit banyak merupakan faktor-faktor yang tidak mendukung proses perkembangan citra pemasyarakatan yang dicita-citakan. Huru hara yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Pamekasan dan Madiun merupakan indikasi bahwa organisasi intern lembaga masih perlu diatur sehingga benar-benar “goal oriented”.

Periode pemasyarakatan ketiga ini masih terus berlangsung. Dengan adanya titik permulaan yang menunjukkan adanya usaha defragmentasi dibidang pembinaan pelanggar hukum melalui struktur organisasi yang “goal oriented”, telah nampak adanya kecenderungan dalam sistem perlakuan terhadap pelanggar hukum untuk melepaskan diri dari landasan tradisionalnya yang kastodial untuk kemudian dapat menuju orbit peredarannya yang societal, sebagaimana juga diharapkan dalam berlangsungnya Pelita ke III.

Penempatan Pemasyarakatan dalam orbit peredarannya yang societal ini tidak pula dapat terlaksana, kalau hanya ditangani oleh “policy makers”, “theoritisi”, “engineers” dan “technisi-technisi” dari pemasyarakatan, akan tetapi tergantung pula dari partisipasi dan kesadaran hukum masyarakat dan terutama dari struktur dari hukum pidana dan tata peradilan pidana dengan komponen-komponennya.
POSTSCRIPTUM


Pada saat-saat diakhirinya penyusunan sejarah ini terjadi lagi penggantian pucuk pimpinan Jawatan. Jabatan Direktur Jenderal Pemasyarakatan pada tanggal 27 Juli 1981 diserahterimakan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang lama Ibnu Susanto, SH kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang baru Ahmad Arif, SH, MPA yang pada periode Pemasyarakatan 1967 – 1975 pernah pula menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga.

Dengan adanya penggantian Direktur Jenderal ini, maka sejak Proklamasi Kemerdekaan R.I 17 Agustus 1945 telah terjadi delapan kali penggantian Kepala Jawatan, dan dengan adanya penggantian pucuk pimpinan Jawatan ini tiba pula periode baru dalam sejarah Pemasyarakatan.

Banyak sekali dapat ditarik pelajaran sejarah dari periode-periode yang telah lalu, baik dari periode-periode pra-Proklamasi Kemerdekaan maupun periode-periode sesudahnya.

Periode yang sedang mulai berlangsung sekarang ini adalah hari esaoknya hari kemarin, dan akan pula merupakan hari kemarinnya hari esok.

Pada dewasa ini kita berada pada titik pertemuan antara hari kemarin dan hari esok, dan titik pertemuan ini bertepatan pulla dengan adanya gejala-gejala pergeseran pendapat baru dibidang korreksi, yang sebetulnya telah mulai nampak sejak pertengahan tahun 1970-an.

Pergeseran pendapat yang baru ini terdapat antara mereka yang menganut aliran “pemberian pembinaan” (treatmen approach) dan mereka yang menganut aliran “pemberian hukuman (punishment approach).

Sejarah berulang ! kalau dulu pergeseran pendapat terjadi antara penganut aliran “pemberian hukuman” versus aliran “pemberian pembinaan”, maka yang terjadi sejak pertangahan 1970-an adalah sebaliknya.
“The pendulum began to swing back toward a more punishment oriented philosophy” (pendulum jam mulai berayun kembali menuju falsafah yang berorientasi kepada pemberian hukuman), demikian digambarkan oleh Professor Louis P. Carney : “Introduction to Correctional Science”, 1979, halaman 15), dan karena aliran baru yang timbul ini banyak sekali persamaannya dengan aliran “Klassik” yang terdapat pada abad XVIII, Carney cenderung untuk menamakannya “aliran Klassik baru”.

Argumentasi yang dikemukakan oleh “aliran yang baru” ini tentang pola pemikirannya yang berorientasi kepada “pemberian hukuman”, ialah karena, menurut para penganutnya, konsep rehabilitasi dari pola pembinaan lebih banyak mengandung rhetorica daripada keberhasilan. Terkenal diantara penganut dari aliran “pemberian hukuman” (punishment) ini antara lain Dr. Robert Martinson, James Q, Wilson, Ernest van den Haag dan David Fogel, yang keempat-empatnya pernah mengeluarkan buku, yang pada pokoknya mengadakan oposisi terhadap aliran yang menganut “pemberian pembinaan” (treatment).

Sebaliknya aliran yang menganut konsep “pemberian pembinaan” mempertahankan pendirinannya. Kegagalan-kegagalan dan kekurangan-kekurangan menurut penganut aliran ini terletak pada tata cara pelaksanaannya bukan terletak pada falsafahnya, yang sebenarnya tidak pernah diberi kesempatan yang wajar untuk menunjukkan dan membuktikan kebenarannya.

Dilihat dari segi adanya dua falsafah yang dipertentangkan itu, yang sebenarnya sejak dulu tak pernah kunjung padam sama sekali dibidang korreksi, dapat dikatakan bahwa kedua aliran itu masing-masing mempunyai titik extremitasnya yakni : disatu fihak dalam hal penganut dari aliran “pemberian pembinaan” sama sekali mengingkari perlunya “pemberian hukuman” dilain fihak dalam hal penganut dari aliran “pemberianhukuman” sama sekali mengingkari perlunya “pemberian pembinaan”.

Penganut aliran “pemberian hukuman” antara lain menginginkan dihapuskannya pemberian “parole” (IV di Indonesia) dan pemberian remisi (potong masa pidana).

Adanya dua faham yang bertentangan dibidang korreksi, dewasa ini mengundang pertanyaan bagi kita di Indonesia; Bagaimana tentang Pemasyarakatan dan masa depannya ? Secara singkat pertanyaan ini dapat dijawab : Pemasyarakatan berada diantara kedua extremitas itu. Hai ini dapat diterangkan sebagai berikut :
Pemasyarakatan dalam kehadirannya sebagai suatu tata perlakuan terhadap pelanggar hukum konsisten dengan cara bangsa Indonesia memandang seorang manusia (termasuk yang melanggar hukum), yakni berdasarkan kacamata dan jiwa Pancasila.
Dalam Konperensi Lembang (27 April 1964) dinyatakan bahwa Pemasyarakatan adalah pula suatu proses yang didahului oleh keputusan Hakim. Proses itu dapat berjalan cepat atau lambat, tergantung dari taraf kegairahan kegotongroyongan antara terpidana, petugas dan masyarakat. Yang dituju oleh proses ialah : pulihnya kesatuan hubungan yang hakiki antara manusia dan manusia lainnya (masyarakat), dibawah Daulat Tuhan Yang Maha Esa. Pulihnya kesatuan hubungan itu tercapai kalau sesuatu titik tertentu dalam proses telah tercapai.
Titik tertentu itu, adalah titik dari proses yang menunjukkan adanya sikap yang positif dari proses yang didukung oleh kepositifan dari terpidana, kepositifan dari petugas dan kepositifan masyarakat. Titik positif ini adalah titik perdamaian pula, dan prosesnya mrerupakan pendamaian.
Dilihat dari segi vonnis hakim yang menentukan jenis dan lama pidana, maka dalam proses, vonnis itu berarti ditutupnya masa lampau dan diprediksikannya masa depan (diramalkannya masa depan).

Kewajiban utama dari pemasyarakatan adalah melaksanakan apa yang telah diprediksikan oleh Hakim, yang kebanyakan didasarkan atas keadaan masa lampau. Hal ini dapat dilihat dari jenis dan lamanya pidana dari suatu vonnis. Dengan lain perkataan dapat dinyatakan bahwa masa depan dari suatu vonnis tidak dapat lepas sama sekali dari masa lampau (perkara) yang telah ditutupnya.
Masa depan vonnis terutama menjadi tanggung jawab Pemasyarakatan dan karena masa depan vonnis itu tidak terlepas dari masa lampaunya maka tugas dari Pemasyarakatan dalam melaksanakan masa depan dari vonnis tidak pula dapat terlepas dari masa lampaunya.

Dengan lain perkataan, dalam melaksanakan masa depan dari vonnis terjadin unsur-unsur “pemberian pembinaan” dan “pemberian pidana”. Dikatakan bahwa tujuan dari “pemberian pidana” (causa finalis dari “pemberian pidana”) adalah “Herstel der Rechtsorde”. Dilihat dari segi posisi Pemasyarakatan pengertian “Rechtsorde” ini ada dua :
Pertama “Rechtsorde” sebagai “Tertib Hukum”, dan
Kedua “Rechtsorde” sebagai “Kesatuan Hubungan Hukum”.
Dalam hal yang pertama, yakni “Tertib Hukum”, terdapat kecenderungan untuk menempatkan seorang pelanggar hukum dalam posisi yang berada diluar sistem nilai yang berlaku dimasyarakat. Dalam hal yang kedua yakni “Kesatuan Hubungan Hukum”, seorang pelanggar hukum berada dalam posisi yang khusus, akan tetapi tidak diluar sistem nilai yang berlaku dimasyarakat.
(Masyarakat sebagai kesatuan hubungan hakiki antar manusia yang teratur atas hukum) (Kesatuan Hubungan Hukum).
Pulihnya kesatuan hubungan hukum (hukum) antar pelanggar hukum terpidana dan masyarakatnya lebih mudah diusahakan kalau pelanggar hukum yang bersangkutan tetap berada dalam hubungannya dengan sistem nilai yang berlaku dimasyarakat dan tidak dikeluarkan dari sistem nilai itu. Inilah yang merupakan citra pemasyarakatan, yang menganggap bahwa kesatuan hubungan hukum itu mengalami keretakan/ gangguan, karena salah satu anggauta masyarakat melakukan suatu perbuatan tercela, dan bukan suatu pemutusan dari kesatuan hubungan itu, karena salah satu anggauta masyarakat merusak kesatuan hubungan hukum karena perbuatannya yang tercela.
Namun pemulihan kesatuan hubungan itu memakan waktu, dan “waktu” itu ada yang berjalan dengan cepat dan ada yang berjalan dengan lambat, tergantung dari faktor-faktor yang terlibat dalam proses pemulihan kesatuan hubungan itu.
Faktor-faktor itu secara garis besarnya berkisar diantara faktor “pemberian hukuman” (punishment) dan faktor “pemberian pembinaan” (treatment). Dengan lain perkataan : didalam suatu “pemberian hukuman” tersimpul pula suatu “pemberian pembinaan” dan didalam suatu “pemberian pembinaan” tersimpul pula suatu “pemberian hukuman”.
“Pemberian hukuman yang tidak mengandung unsur “pemberian pembinaan” adalah suatu extremitas, begitupun sebaliknya.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa titik berat dari proses Pemasyarakatan bergeser antara “pemberian hukuman” dan “pemberian pembinaan”. Adakalanya titik berat dari proses itu lebih condong kearah “pemberian hukuman” dan adakalanya lebih condong kearah “pemberian pembinaan”, akan tetapi tidak pernah meninggalkan salah satu diantara yang dua itu. Pemasyarakatan mungkin pada dewasa ini masih lebih banyak merupakan cita-cita daripada kenyataan akan tetapi bukan suatu rhetorika dan bukan pula suatu mythos.
Cita-cita membuat kita mengetahui kemana kita akan pergi, dan kalau sudah diketahui kemana tujuan kita pergi kita harus menentukan bagaimana caranya yang benar dan syah untuk sampai kepada tujuan yang hendak dicapai (yang dicita-citakan itu).
Rencana-rencana Pembangunan Lima Tahun telah memberi tahu cara-cara untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Yang menjadi kewajiban sekarang adalah pelaksanaan dari cara mencapai tujuan. Dalam pelaksanaan inilah banyak sekali faktor-faktor penghambat yang harus diatasi.

Perilaku-perilaku yang berasal dari masa lampau yang telah melembaga (institutionalized), yang banyak sekali diantaranya tetap beralih menempati status yang ritualistis, sehingga seolah-olah dianggap “kramat” dan sukar untuk dilepaskan; fragmentasi dalam tata peradilan pidana yang berkecenderungan untuk menetap dan bertahan; hukum pidana baik substantif maupun prosedural yang menampakkan citra iktikad yang punitif (punitive intend); kesadaran hukum yang berorientasi kepada corpus Juris Barat yang merupakan produk dari alam fikiran liberal abad XVIII, semuanya merupakan tantangan syndromis yang harus dihadapi dengan tabah, tawakal, penuh optimisme dan dengan semangat gotong royong yang tak kunjung padam, demi tercapainya kesatuan hubungan hidup- kehidupan-penghidupan (kesatuan hubungan hukum) berdasarkan Pancasila, “Rechtsorde” Pancasila.

Tepat sekali apa yang digambarkan oleh Menteri Kehakiman Ali Said, SH dalam sambutannya pada peringatan Hari Pemasyarakatan yang XVIII tanggal 27 April 1981 di Bandung, bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi oleh instansi Pemasyarakatan adalah setinggi gunung dan seringkali bersifat kejam, mencekam perasaan.

Kepada generasi peneruslah terletak tanggung jawab yang besar diatas pundaknya untuk menjadikan cita-cita pemasyarakatan sebagai suatu spesialisme, sebagai suatu peng-ejawantahan dari keadilan dan pengadilan sebagaimana dicanangkan dalam Konperensi Lembang 1964, yang mencerminkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sebagai suatu refleksi dari peradaban bangsa Indonesia, yakni suatu peradaban yang berdasarkan Pancasilan dan bersendikan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
SUSUNAN TEAM PENYUSUNAN SEJARAH KEPENJARAAN
DI INDONESIA


Ketua : 1. Drs. R. Sugondo

Sekretaris : 2. Drs. Mohd. Codry Alamsyah

Anggota : 3. Romli Atmasasmita, SH.
4. Dra. C.M. Marianti, Bc.IP.
5. Harsono Adisumarto, SH.
6. Komaruddin Nurdin
7. Suhartojo, SH.
8. Dr. R.P. Sujono
9. Waliman Hendrosusilo
10. Bahrudin Suryobroto

Staf Sekretariat : 11. Nurdin Nursin
12. Lily Haryati.




PIMPINAN PROYEK
PENYEMPURNAAN PELAKSANAAN
SISTEM PEMASYARAKATAN

ttd

(Drs. R. Sugondo)
NIP. 040031494
DAFTAR BACAAN


A. Dokumen-dokumen

Bagian kesatu

Hoofdkantoor van het Gevangeniswezen (Departement van Justitie) : “Verslag over de Hervorningen v/h Gevangeniswezen in Nederlandsch-Indie 1916 – 1920”;
Centrale Gevangenis Pekalongan (1926).
…………… “Verslag over de Hervoningen v/h Gevangeniswezen in Ned. Indie 1921 – 1925’.
Centrale Gevangenis Pekalongan (1926).
…………… “Verslag v/h Gevangeniswezen 1926”.
Strafgevangenis Pekalongan (1927).
…………… “Verslag v/h Gevangeniswezen 1928”.
Deel I Verslag; Strafgevangenis Pekalongan (1930).
…………… “Verslag v/h Gevangeniswezen 1928”.
Deel II : Reclasseering : Strafgevangenis Pekalongan (1930).
Koninklijk Besluit 15 Oct. 1915 No. 33 Stbld. 1915-723 jis 1917-497,645 : “Wetbuk van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie” (Iwg 1 Jan. 1918).
“Nota Inzake de verbetering van het Gevangeniswezen” 10 September 1921 (Hijmans); Bijlage verslag Gevangeniswezen 1926.
“Ontwerp Wetbuk van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsc-Indie met Memorie van Tulichting” (Samengesteld op last van Zijne Excellentie den Minister van Kolonien).
Ordonnatie 10 Dec. 1917; Stbld. 1917-708 : “Gestichten Reglement”
Ordonnatie 21 Dec. 1917; Stbld. 1917-741 : “Dwang-Opvuding Regeling”
Ordonnatie 27 Dec. 1917; Stbld. 1917-749 : “Ordonnantie op de Voorwaardelijke Vrijheidstelling”
Ordonnatie 6 Nov. 1926; Stbld. 1926-487 : “Uitvurings ordonnantie Voorwaardelijke Veroordeeling”
“Tulichting het Ontwerp Wetbuk van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie”.


Bagian kedua

Jawatan Kepenjaraan Republik Indonesia : surat-surat edaran sebelum 19 Dec. 1948; Kantor Besar Kepenjaraan R.I Jogjakarta, Juni 1950.
……………, Pidato Kepala Jawatan Kepenjaraan dalam Konperensi Dinas Jawatan di Nusakambangan 12-15 November 1951; Dikutip oleh R.A. Kusnun dalam “Politiek Penjara” Pengurus Besar Sarekat Sekerja Kepenjaraan, Jogjakarta 1952.
……………; Pernyataan bersama Kementerian Sosial, Jawatan Kepenjaraan Pendidikan Paksa dan Reklassering, Jawatan Pendidikan Masjarakat, Jawatan Penempatan Tenaga, Jawatan Penerangan Agama 6 Febr. 1956; Majallah Kepenjaraan th. 2 No. 1 Aug. 1956.
……………; Pidato Pengarahan Kepala Jawatan Kepenjaraan pada Konperensi Sarangan 21 Juli 1956.
(Pedoman Kerja Bagi Kepenjaraan); Majallah Kepenjaraan th. 2 No. 4 Juli 1958.
……………; Prae-advies Bahrudin Suryobroto pada Konperensi Jawatan Kepenjaraan di Sarangan; Majallah Kepenjaraan Th. 2 No. 2 Januari 1957.
……………; Surat-surat edaran/Keputusan Kepala Jawatan Kepenjaraan, Penidikan Paksa dan Reklassering, Jakart, tahun 1950-1960; 1960-1963.
“Pidato Menteri Kehakimn Saharjo, SH pada peresmian Gedung RPN Blitar” : Majallah Kepenjaran tahun 4 No. 1 April 1962.
United Nations “Congress on The Prevention of Crime and the Treatmen of Offenders” : “Integration of Prison Labour with the National Econoy, Including the Remuneration of Prisoners”; UN Economic & Soc. Affairs New York 1960.
……………; “Pre-Release Treatment and Aftercare as well as assistance to Dependants of Prisoners” (I & II); UN Ec.& Soc.Aff. New York 1960.
……………; “New Forms of Juvenile Delinquency, Their Origin, Prevention and Treatmen” (I & II) UN Ec.& Soc.Aff. New York 1960.
……………; “Prevention of Types of Criminality Resulting from Social Changes and Accompanying Economic Developments I Less Developed Countries (I & II)”; UN.Ec.& Soc.Aff. New York 1960.


Bagian ketiga

Direktorat Pemasyarakatan : “Berkas Laporan Hasil Konperensi Lembang Bandung 27 April 1964”; Stensilan, Mei 1964.
……………; Pelbagai surat edaran/Keputusan Kepala Drektorat Pemasyarakatan 1963-1964; 1964-1967.
……………; Progress Report/Laporan Kepala Direktorat Pemasyarakatan, April 1966.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan/Bina Tuna Warga : surat-surat edaran/Keputusan Dirjen. 167-1975; 1975-1980.
……………; Workshop/Rapat Kerja (terbatas) tentang penyusunan Manual April 1976 (laporan).
Direktur Jenderal Pemasyarakatan : Progress Report Direktorat Pembinaan Dalam Lembaga 1979.
Kehakiman, Departemen – LPHN/Universitas Pajajaran; Lapoaran Hasil Workshop Pemasyarakatan 1971.
……………; Laporan Hasil Likakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan 1975.
Kehakiman, Departemen : Laporan Departemen Kehakiman 1970 dan Pedoman Pelaksanaan Pembangunan.
Lembaga Krriminologi Universitas Indonesia : Laporan Hasil Survey di Kalimantan Barat; Marjono Reksodiputro, April 1965.
Republik Indonesi : Rencana Pembangunan Lima Tahun ke satu.
……………; Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua.
……………; Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga.
Saharjo, SH : “ Phon Beringin Pengayoman”; Pidato pada Penganugrahan Gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia 1963.
US. President’s Commission on Law Enforcement and Aadministration of Justice : “The Challenge of Crime in a free Society”; US. Government Printing Office, Washington DC 1967.
……………; Task Force Report : Corrections”; US. Government Printing Office, Washington DC 1967.


B. Buku – Buku

Allen Francis, A : “The Borderland of Criminal Justice”, Essays in Law and Criminology, University of Chicago Press 1974.
American Correctional Association : “Manual of Correctional Standards”. New York 1960 2nd Printing.
Bahrudin Suryobroto : “Penuntun Singkat untuk Ilmu Kepenjaraan Bagi Pegawai Kepenjaraan”, terjemahan dari “Verkorte Leidraad der Gevangeniskunde voor het Gevangenis personeel” LPC DM. Sukamiskin 1969, cetakan kedua.
Bailey, Kennet D. : “Methods of Social Research” The Free Press, Macmillan Publishing Co., New York 1978.
Becker, Howard. S. : “The Other Side, Perspecives on Deviance”. New York/london 1963.
……………; (ed.) “The Other Side, Perspecives on Deviance”. New York/london 1963.
Broom, Leonard & Selznick, Philip : “Sociology, a text with Adapted Reading” Harper & Row, New york 1973.
Burger, D.H & Prajudi Atmosudirjo : “Sejarah Ekonomis sosiologis Indonesia” Jilid Pertama, Pradya Paramita, Jakarta 1960.
……………; “Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia”. Jilid kedua; Pradnya Parapita, Jakarta 1970.
Carney, Luis, P. : “Introduction to Correctional Science” 2nd edit., Mc. Graw Hill. Inc, New York 1958.
Conrad, John, P. : “Crime and Its Correction”. Barkeley, University of California, 1967.
De Yong, M.Ch. : “Straffen en Helpen”,W.B. Amsterdam 1954.
Clemer, Donald : “The Prison Community”, New York 1958.
De Jongh, G.T.J. : “Bestraffen en Beshijden” Haarlem 1923.
Drapkin, Israel & Viano, Emilio C.(ed.) : Victimology”, Health & Co. Lexingkon, Massachusetto, Toronto, London, 1974.
Duffee, David : “Correctional Policy and Prison Organization”, New York, Sidney, London, Toronto, 1975.
Fiselier, Jan, Lissenberg Ellie dkk. : “Tegen de regels, een inleiding in de Criminologie”, ar Aaegi Libri, Utrecht 1977.
Goffman, Erving : “Asylums” Pinguin Books, Middlesex-England, Baltimore USA 1976.
Hallema, A. : “In en Om de Gevangenis” s’Gravengahe, 1936.
Herman, Michele G. & Haft, Marilyn G. (ed.) : “Prisoners’ Rights Sourcebook” New York 1973.
Hijmans : “Leidraad der Gevangeniskunde” (Stensilan).
Imron Rosjadi & Zain Bajeber : “RUU Hukum Acara Pidana” Jakarta 1979.
Institute of Criminal Justice and Criminology, University of Maryland, “New Approaches to Diversion and Treatment of Juvenile Offenders”, Monograph, US. Dept. of Justice, June 1973.
Kelk, Constantijn; Murings, Martin dkk. : “Recht, Macht en Manipulatie”, Utrecht, Antwerpen 1976.
Kelk, Constantijn : “Rapport Rechts psitie Gedetineerden” Ars Aequi, Utrecht 1976.
Kunihiko, A. : “Semangat Nippon” Jakarta 1944 (2604).
Kusnus, R.A. : “Politiek Penjara Nasional”, Bandung 1961.
Menninger, Karl : “The Crime of Punishment”, New York 1969.
Merton, Robert K & Nisbet, Robert A. (ed.) : “Contemporar Social Problems”, New York, Chicago, Burlingame 1961.
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim ; “Penghantar Hukum Tata Negara Indonesia”, Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH. UI Jakarta 1980.
National Advisory Commission on Criminal Justice Standards and Gooals : “Corrections”, Washington DC 1973.
President’s Commision on Law Enforcement and Administration of Justice : “The Challenge of Crime in a Free Society”, Washington DC 1967.
……………; “Task Forse Report Corrections”, Washington DC 1967.
Rambonnet, H.G. : “Het Wezen van de Straf”,’s-Hertogenbocsh 1946.
Schepper, J.M.J. : “Leidraad voor d Reclasseering in Nederlandsch-Indie”, Weltevreden 1928.
Slamet Muljana : “Perundang-undangan Majapahit”, Jakarta 1967.
Sukarno : “Dibawah Benderal Revolusi”,Jakarta, 1964.
Sutherland, Edwin. H. : “Principles of Criminology”, Philadelphia : 1939.
Sykes, Gresham, M. : “The Society of Captives”, New York, 1958.
Tappan, Paul W. : “Crime, Justice and Correctuin”, New York, Toronto, London, 1960.
Thomassen a Thuessink van der Hoop, A. & Krom, N.J. Kern, R.A. : “Geschidenis van Nederlandsch-Indie” Deel I”, Amsterdam 1938.
Winarno Surachmad : “Dasar dan Teknik Reseach”, Bandung 1975.


C. Tulisan – Tulisan
Ari”ef Gosita : “Usaha Penegakan hukum dan Victimasi Struktural” Paper, pada Seminar Krim. Ke IV, di UNDIP Semarang 1980.
Bahrudin Suryobroto : “Pemasyarakatan sebagai suatu Spesialisme di Bidang Kriminologi dalam Hubungannya dengan Kesejahteraan Sosial”, Paper Diskusi “Curriculum Development and Integration in the Fields of Criminology and Social Work”, Pusat Dokumentasi Hukum UI. Jakarta, 1977.
……………; “Psychologi dalam Corrction”, Prasarana Workshop Krim. Di UNDIP, Semarang 1974.
……………; “Penahaan Sementara (presumsi bersalah versus presumsi tak bersalah), paper, Seminar Krim IV, UNDIP, Semarang 1980.
……………; “Proses Peradilan Pidana dan Kejahatan”, paper Diskusi berkala Lembaga Krriminologi Universitas Indonesia, Jakarta 1979.
……………; “Petugas Lembaga Pemasyarakatan sebagai unsur Pelaksana dibidang Tata Peradilan Pidana”, Kertas Kerja bagi Pengarahan Kuliah Kerja Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta 1979.
Brusten, M. : “ Sociologische Aspecten van de Discretionnaire Bevugdheid van de Politie (bewerking Bert Rombouts)” dalam “Tegen de Regels” Utrecht 1977.
Carter, Robert, M. : “The Diversion of Offenders”, Federal Probation, Dec. 1972. (hal. 31 dst.).
Cohn, Alvin W. : “Training in the Criminal Justice Nonsystem”, Federal Probation, June 1974 (hal. 32 dst.).
D’Anjon, L.J.M., de Jonge G., & van der Kaarden, J.J. : “Effectiviteit van sanaties” dalam “Tegen de Regels”,Utrecht 1977.
Galanter, Marc : “The Development of the Modern Indian Legal System”, Literatur Bahan Seminar “Sociology of Law”, FIS. UI. 1981.
Ida Andariah : “Proses Pemasyarakatan Dalam Lembaga di LP Banceuy dan Pembinaan Luar Lembaga oleh Balai Bispa Kl. I Bandung”, makalah dari UNPAD dalam seminar Krim IV di UNDIP, Semarang 1980.
Kelgord, Robert. E & Norris, Robert, O : “New Directions for Corrections”, Fed. Probation, March 1972 (hal. 3 dst.).
Kelk, C. : “Het detentie-recht en de macht der feiten” dalam “Recht, Macht en Manipulatie” Utrecht/Antwerpen, 1976.
Kusriani Siswosubroto : “Verscheidene Nieuwe Benaderingen in de Kriminologie.
(Beberapa pendekatan baru dalam kriminologi)”. Tulisan Ilmiah dalam rangka pengakhiran tugas belajar di Leiden, November 1975.
Lopez-Rey, M. : “The Role of the United Nation’ Congresses on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”, Federal Probation, Sept. 1973.
Macpherson, David. P. : “Corrections and the Community”, Fed. Probation, June 1972.
Meyer, John C. Jr. : “Change and Obstacles to change in Prison Management”, Fed. Probation, June 1972
Murings, L.M. & v.d. Bunt, H. : “Etiketten Plakken” dalam “Recht”, Macht en Manipulatie”, Utrecht 1976.
Muller, H.G. : ‘Corrections and the Community, New Dimensions” Fed. Probation 1968.
Morris, Norval : “Politics and Pragmatism in Crime Control” Fed. Probation 1968
Myren, Richard. A. : “Education For Correctional Careers”, Fed. Probation 1975
Pepper, Calaude : “Prisons in Turmoil” : Fed. Probation; Dec. 1972.
Peters, A.A.G. : “Recht als vals bewustzijn”, dalam “Recht, Macht en Manipulatie” Utrecht, 1976.
Prigmore, Charles. S. & Watkins Jr, John C. : “Correctional Manpower : Are We The Society of Captives”?; Fed. Probation, Dec. 1972.
Purnianti Mangunsong : “Penegakan Hukum bagi para Tahanan Anak”, peper pada Seminar Kriminologi IV, UNDIP, Semarang, 1980
Reed, John. P. & Nance, Dale : “Society Perpetuates the Stigma of a Conviction”, Fed. Probation, June 1972.
Rosen, Lawrence : “ Law and Social Change in The New Nations” dalam “Comparative Studies in Society and History”, Princeton University 1978 (Bahan Seminar “Sociology of Law” F.I.S. – U.I. 1981)
Schuyt, C. J. M. : “Meten met Twe Maten = Redeneerpatronen en Klassejustitie” dalam “Tegen de Regels”, Utrecht, 1977.
Sellin, Thorsten : “a Look into Prison History”, Fed Probation 1967.
Sudarto : “Uraian Pokok-pokok Permasalahan Dalam Seminar Kriminologi IV”, UNDIP, Semarang, 1980.
Statsky, William P. : “Inmate Involvement in Prison Legal Services = Roles and Training Option for the Inmate as Paralegal”, ABA. Washington D.C. 1974.
Spitzer, Paul. S. : “Punishment versus Treatment?”; Fed. Probation, June 1961.
Syarifah Sabarudin : “Pola Pelaksanaan Pemasyarakatan dalam Hubungannya dengan Usaha Penagakan Hukum. Sebuah Penelitian” Makalah dari Universitas Indonesia pada Seminar Krim. IV. UNDIP Semarang 1980.
Thomas, Charles, W. : “The Correctional Institution as an Enemy of Corrections” Fed. Probation, March 1973.
Van Haaren, Th. H. : “Reclaseering in een Veranderende Samenleving” dalam “Tegen de Regels” Utrecht 1977.
Verin, J. : “Het Stereotype van de Delinquent”, dalam “Tegen de Regels” Utrecht 1977.
Waldo, Gordon. P. : “Research and Training in Corrections : The Role of the University”, Fed. Probation, June 1971.
Wilks, Judith & Martinson Robert. : “Is the Treatment of Criminal Offenders Realy Necessary?” Ded. Probation, March 1976.

=================

D. Brosur-brosur dan Lain-lain

Achmad Astrawinatara : “Pemasyarakatan dalam Revolusi Indonesia” Jakarta 1964.
Bahrudin Suryobroto : “Fungsi Pemasyarakatan dalam Negara Pancasila “ Jakarta 1965, L.P.C. Sukamiskin Bandung 1966.
Direktorat Pemasyarakatan : “Pemasyarakatan dalam rangka Nation Building dan Character Building”, L.P.C. Sukamiskin, Bandung 1964.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan : “Dari Sangkar ke Sanggar” Jakarta 1981
Lembaga Kriminologi-Universitas Indonesia : “Bantuan Hukum dan Penyantunan bagi orang-orang Terpenjara (Prisoners’ Aid society”. Buletin Bahana No. 1, th. II, Januari-Februari 1980.

Ministry of Justice Japan : “Criminal Justice in Japan” 1960
Perserikatan Bangsa-bangsa : “Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners”, Ontwerp 1955. Terjemahan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Bina Tuna Warga 1969.
The Academy for Contemporary Problems : “Toward a New Corrections Policy : Two Declarations of Principles” Ohio State University & Battele Memorial Institut, Colombus 1974.